RIAU ONLINE, BOGOR - Kementerian Kehutanan telah mengeluarkan daftar 436 perusahaan perkebunan sawit yang memiliki kebun tanpa izin dalam kawasan hutan. Daftar ini dimuat dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 36 tahun 2025 (Kepmenhut 36/2025), sebagai tindak lanjut Pepres No. 5 tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan (Perpres 5/2025).
Dari ratusan perusahaan perkebunan sawit tersebut, 790.474 hektar lahan di antaranya tengah berproses penyelesaian, setelah memenuhi kriteria Pasal 110A UUCK, dan seluas 317.253 hektar dinyatakan ditolak permohonan penyelesaiannya, karena tidak memenuhi kriteria Pasal 110A UUCK.
Ironisnya, perusahaan yang termasuk dalam daftar tersebut selama ini dianggap telah mematuhi prinsip dan kriteria minyak sawit berkelanjutan berdasarkan standar ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) maupun RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil). Perusahaan tersebut antara lain Sinarmas Agro, Musim Mas, Djarum, Wilmar, Duta Palma, Eagle High Plantations, Goodhope, ANJ, KLK, PTPN, First Resources, Best Agro, Austindo, Salim Ivomas, Genting, Astra Agro, Triputra, Cargill, KPN Plantations, Lonsum, Sampoerna Agro, Torganda, Citra Borneo Indah, Permata Hijau, Sinar Alam Plantations, DSN, dan Bumitama.
Lalu apa dampak atas keluarnya kebijakan ini?
Direktur Sawit Watch, Achmad Surambo, mengatakan bahwa Kepmenhut 36/2025 merupakan bagian dari proses transparansi yang dilakukan pemerintah atas penyelesaian sawit dalam kawasan hutan. Pihaknya berharap transparansi proses tidak hanya berhenti di sini, namun hingga tahap akhir penyelesaiannya.
Namun di sisi lain, menurutnya, kebijakan ini tidak secara jelas menyebutkan proses lanjutan yang akan ditempuh terutama kebun-kebun sawit yang ditolak.
“Apakah akan diambil alih dan dikelola BUMN atau akan dihutankan kembali. Jika dibiarkan tanpa pengawasan maka dikhawatirkan akan dimanfaatkan atau menjadi “bancakan” bagi kelompok tertentu yang tidak bertanggung jawab. Kami mendesak segera dilakukan penegakan hukum. Aparat penegak hukum dan Satgas Penertiban Kawasan Hutan dapat saling berkoordinasi dan menindaklanjuti dengan melakukan proses hukum pidana kehutanan terhadap perusahaan perkebunan tersebut,” kata Surambo, dalam pernyataan resmi, Minggu 16 Februari 2025.
Surambo menilai komitmen dan implementasi di tingkat lapang dalam mendorong prinsip sawit berkelanjutan dalam tata kelola perkebunan perusahaan sawit besar patut dipertanyakan.
Pasalnya, kata dia, banyak sekali grup-grup besar sawit yang tertera dalam kebijakan ini yang memiliki prinsip keberlanjutan dengan melakukan sistem sertifikasi mandatory (ISPO) maupun voluntary (RSPO) justru teridentifikasi melakukan pengelolaan kebun ilegal di kawasan hutan.
Hasil investigasi dan rekapitulasi Sawit Watch dari 15 Surat Keputusan Menteri LHK, bahwa untuk Provinsi Riau terdapat sebanyak 11 grup besar anggota RSPO, dengan total luasan mencapai 59.817,70 hektar. Sementara di Provinsi Kalteng, terdapat 10 grup besar sawit dengan total luasan mencapai 134.319,63 hektar.
“Merespon kondisi di atas, penting bagi RSPO untuk melakukan tindakan tegas atas aktivitas perkebunan sawit ilegal anggotanya di kawasan hutan misal dengan membekukan keanggotaan dan sertifikat keberlanjutan perusahaan yang membuka kawasan hutan tanpa izin tersebut,” katanya.
“Bagi Pemerintah Indonesia juga perlu melakukan audit terhadap perusahaan-perusahaan yang memiliki sertifikat ISPO,” tambah Surambo.
Sementara itu, Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (PURAKA), Ahmad Zazali, menilai bahwa tindakan Menteri Kehutanan, Raja Juliantoni, menerbitkan daftar perusahaan sawit yang ditolak penyelesaiannya tersebut, satu sisi patut diapresiasi sebagai wujud komitmen terhadap transparansi yang sempat tersumbat pada era menteri sebelumnya.
Namun di sisi lain, menurutnya, masih terdapat wilayah “abu-abu” yang belum sepenuhnya terbuka kepada publik, yaitu mengenai apakah perkebunan yang ditolak tersebut akan otomatis dimasukkan dalam skema penyelesaian Pasal 110B UUCK atau akan masuk dalam skema penguasaan kembali kawasan hutan sebagaimana Pasal 3 Perpres 5/2025 atau menggunakan pemidanaan sebagaimana Pasal 7 Perpres 5/2025.
“Lalu siapa dan bagaimana nasib pengelolaan terhadap kebun-kebun sawit tersebut selanjutnya, apakah tanaman sawit akan ditebang lalu dihutankan kembali atau akan diberikan tanggung jawab pengelolaannya kepada entitas bisnis tertentu,” kata Zali.
Penasihat Senior Indonesia Human Right Committee For Social Justice (IHCS), Gunawan, turut angkat bicara. Ia mengatakan, Perubahan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan melalui UU Cipta Kerja (UU Penetapan Perpu Cipta Kerja Menjadi UU) melalui pasal-pasal sisipan 110A dan 110B menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penyelesaian masalah perkebunan sawit dalam kawasan hutan, apakah pemidanaan atau pemutihan melalui sanksi administratif berupa pembayaran denda.
Di sisi lain, kata dia, menjadi tumpang tindih dengan mekanisme penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan, Sehingga akan berdampak buruk bagi diplomasi sawit Indonesia dan komitmen Indonesia dalam menghentikan deforestasi.
Kuasa Hukum Sawit Watch dari IHCS, John D Sinurat, menyatakan bahwa, Pasal 110B UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sedang diajukan permohonan uji materi di Mahkamah Konstitusi oleh Sawit Watch dengan kuasa hukum IHCS, naskah perbaikan gugatan telah dikirim ke MK.
“Kadi tinggal menunggu proses di MK. Permohonan uji materi ini guna memberikan jaminan kepastian hukum dan keadilan bagi petani yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hukum,” tambah John.