RIAU ONLINE, PEKANBARU - Sebanyak 54 persen masyarakat tidak menggunakan hak suaranya atau golongan putih (Golput) pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Kota Pekanbaru. Hal ini menunjukkan jumlah pemilih masih lebih rendah daripada warga yang tidak memilih di Kota Pekanbaru.
Ketua TOP Riau Research Centre, Adlin, mengatakan berdasarkan hasil survei yang digelar pada periode 8 Desember sampai 15 Desember 2024, timnya menemukan bahwa tingginya angka golput dikarenakan masih banyak warga yang tidak percaya pada pejabat di lembaga politik.
"64,2 persen masyarakat tidak percaya kepada pejabat di lembaga Walikota Pekanbaru, sebanyak 49,7% persen responden tidak percaya DPRD Kota Pekanbaru. Fenomena ini menunjukkan masyarakat tidak percaya pada pejabat apalagi calon pejabat yang akan menduduki posisi politik di Kota Pekanbaru," ujarnya.
Selain itu, isu korupsi SPPD fiktif yang menerpa calon walikota menjelang Pilkada, membuat masyarakat semakin enggan datang ke TPS.
"Dalam survei ini menemukan bahwa mayoritas 95,5 persen masyarakat marah dan muak akan pejabat yang korup. Adanya dugaan keterlibatan calon walikota pada isu-isu korupsi, tentu semakin membuat pemilih menolak datang ke TPS," jelasnya.
Analisis lebih jauh dilakukan terhadap responden yang tidak memilih dalam Pilwako. Fakta menarik ditemukan bahwa mayoritas 58,8 persen mereka menyatakan helat Pilwako adalah kepentingan calon yang akan menjabat, bukan kepentingan mereka sebagai masyarakat.
"Hanya ada 29,4 persen yang menyatakan helat Pilkada adalah untuk kepentingan rakyat. Ketika ditanyakan mengapa tidak mencoblos, jawaban nya adalah tidak percaya pada calon yang ada pada kertas suara, tidak mendapat insentif dari calon, lebih memilih untuk bekerja, karena sakit, dan tidak mendapat undangan," jelasnya.
Dengan demikian ia menyimpulkan bahwa rendahnya partisipasi pemilih pada Pilwako Pekanbaru tidaklah disebabkan faktor tunggal.
"Tetapi karena banyak faktor, seperti faktor kekecewaan berupa yang dibuktikan rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pejabat public, termasuk calon walikota dan wakil walikota. Disisi lain ini juga artinya calon yang ada di kertas suara tidak mampu menjadi magnet yang kuat untuk menarik masyarakat berbondong-bondong ke TPS," pungkasnya.