RIAU ONLINE - 5 Desember 2024 diperingati sebagai Hari Sinterklas yang dirayakan dengan berbagi atau saling bertukar hadiah. Tapi tahukah kamu? Ada tragedi yang tercatat dalam sejarah Indonesia pada perayaan ini, dikenal sebagai Sinterklas Hitam.
Tragedi Sinterklas Hitam menghentikan perayaan Hari Sinterklas sejak 1957. Kala itu, Presiden Soekarno mendapat serangan granat dalam kunjungannya ke sekolah milik Perguruan Cikini.
Presiden yang dikenal sebagai Bung Karno itu selamat dari peristiwa tersebut, namun marah atas penolakan Resolusi Indonesia terkait Irian Barat pada Sidang Umum PBB.
Bermula dari serangan pada 30 November 1957, Bung Karno mengalami hal buruk hingga berturut-turut. Selain penolakan atas Resolusi Indonesia terkait penyerahan Irian Barat, kemarahan pihak Indonesia juga muncul dalam berbagai bentuk.
Satu di antaranya peristiwa terbesar berhasil direkam dalam catatan Hilde Janssen dalam Tanah Air Baru, Indonesia (2016), sebagaimana dilansir dari Suara.com, Jumat, 13 Desember 2024. Saat itu para buruh sayap kiri melumpuhkan perusahaan Belanda.
Belanda pun hilang dari peredaran. Pemerintah RI kemudian melakukan nasionalisasi besar-besaran pada aset milik Belanda ketika itu.
Hari Sinterklas 5 Desember 1957, menjadi momen kedutaan dan konsulat Belanda ditutup dan rencana evakuasi kemudian dipersiapkan di berbagai lokasi. Bagi orang-orang Belanda yang masih di Indonesia, perayaan Hari Sinterklas justru menjadi pengingat peristiwa kelam di masa lalu.
Hari yang dirayakan dengan bertukar hadiah, harus dijalani dengan pemulangan besar-besar warga Belanda ke negaranya. Hari Sinterklas tahun 1957 lantas dikenang sebagai Sinterklas Hitam.
Meski mereka yang dipulangkan merupakan warga Belanda, tapi nyatanya banyak anak-anak yang lahir dari orang Belanda dan tinggal di Indonesia selama penjajahan, bahkan belum pernah tinggal di negeri asal orang tuanya.
Tragedi Sinterklas Hitam memberikan ingatan gelap bagi anak-anak yang belum memahami kondisi dunia politik kala itu. Namun ketegasan Presiden Soekarno dan sikap yang diambil Sang Proklamator mencermin bahwa dirinya benar-benar tidak ingin harga diri bangsanya diinjak-injak lagi di tanah air sendiri.