Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Riau menyerahkan hasil kajian tinjauan cepat kesiapan pelabuhan perikanan di Provinsi Riau, 15 November 2024.
(Dok. Ombudsman)
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Riau baru-baru ini menyerahkan hasil kajian tinjauan cepat (Rapid Assessment) terkait kesiapan pelabuhan perikanan di Provinsi Riau, menjelang pelaksanaan Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT).
Kajian tersebut diserahkan langsung kepada Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Riau, Fajriyani, pada Jumat, 15 November 2024.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Riau, Bambang Pratama, dalam kesempatan tersebut menjelaskan bahwa kajian ini merupakan tindak lanjut dari kajian sistemik yang dilakukan Ombudsman RI pada tahun 2023 mengenai Pengawasan Pelayanan Publik terhadap Penerapan Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur Berbasis Kuota dan Zona.
Kebijakan ini, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023, bertujuan untuk memperbaiki tata kelola perikanan tangkap agar lebih maju dan berkelanjutan dari aspek biologi, ekologi, ekonomi, dan sosial.
“Semula kebijakan ini direncanakan untuk dilaksanakan mulai 1 Januari 2024, namun berdasarkan Surat Edaran Menteri Kelautan dan Perikanan nomor B.1954/MEN-KP/XI/2023 tanggal 29 November 2023, pelaksanaan kebijakan PIT ini ditunda dan akan diberlakukan pada tahun 2025," ujar Bambang, Senin, 18 November 2024.
Dalam kajian yang dilakukan, Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Riau lebih memfokuskan perhatian pada kesiapan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Dumai.
Hal ini dikarenakan PPI Dumai dianggap memenuhi standar sebagai pelabuhan pangkalan untuk penerapan kebijakan PIT di Provinsi Riau.
Kajian tersebut menilai kesiapan pelabuhan dari segi sarana prasarana, sumber daya manusia, serta pelayanan logistik kepada nelayan yang beroperasi di wilayah tersebut.
Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Riau, Dasuki, menjelaskan lebih lanjut bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 mengharuskan nelayan untuk menurunkan hasil tangkapan di pelabuhan pangkalan sesuai zona PIT yang telah ditentukan.
“Kebijakan ini mengharuskan kapal-kapal perikanan dengan kapasitas di atas 30 GT untuk menurunkan hasil tangkapannya di pelabuhan pangkalan yang sudah ditetapkan sesuai dengan zona PIT yang berlaku. Di Provinsi Riau, hanya PPI Dumai yang memenuhi standar sebagai pelabuhan pangkalan untuk kebijakan ini,” ujar Dasuki.
Lebih lanjut, Dasuki menjelaskan bahwa penerapan kebijakan PIT akan membawa perubahan signifikan bagi PPI Dumai, yang selama ini lebih banyak melayani nelayan tradisional dengan kapal-kapal berkapasitas kecil (rata-rata 5 GT).
“Ketika kebijakan PIT diterapkan, kapal-kapal perikanan berkapasitas besar akan berlabuh di PPI Dumai. Tentu saja, hal ini membutuhkan persiapan yang matang agar pelayanan kepada nelayan dapat berjalan maksimal,” jelasnya.
Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Riau juga mencatat sejumlah temuan dalam kajian tersebut yang perlu mendapat perhatian serius dari Pemerintah Provinsi Riau. Di antaranya, terbatasnya jumlah pelabuhan perikanan yang memenuhi standar dan kurang meratanya sebaran pelabuhan perikanan di Provinsi Riau.
Saat ini, PPI Dumai merupakan satu-satunya pelabuhan yang ditetapkan sebagai pelabuhan pangkalan PIT oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Selain itu, terdapat dua zona PIT di wilayah perairan Provinsi Riau, yaitu Zona PIT 01 dan PIT 05, namun hanya PPI Dumai dan pelabuhan perikanan di Bagansiapiapi yang berada di Zona PIT 05, sementara di Zona PIT 01 tidak ada pelabuhan perikanan yang memenuhi syarat.
Berdasarkan temuan tersebut, Ombudsman RI mendorong pemerintah daerah untuk segera mempercepat pembangunan pelabuhan perikanan di Bagansiapiapi, baik dari segi sarana prasarana fisik maupun penguatan kelembagaan.
Selain itu, untuk memastikan kesiapan PPI Dumai, pemerintah daerah perlu melaksanakan perampungan pemeliharaan pelabuhan, penambahan jumlah petugas layanan, serta meningkatkan koordinasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk penempatan syahbandar perikanan yang sesuai.
Koordinasi juga diperlukan untuk mempersiapkan ketersediaan bahan bakar minyak (BBM) bagi nelayan, yang merupakan kebutuhan utama bagi operasional kapal perikanan.
Bambang Pratama berharap bahwa hasil kajian ini dapat menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam merumuskan langkah-langkah strategis guna meningkatkan kesiapan pelabuhan perikanan di Provinsi Riau.
“Kami berharap pemerintah daerah segera mengambil langkah-langkah strategis agar kebijakan PIT dapat dilaksanakan dengan baik, dan pada akhirnya dapat mendukung kesejahteraan nelayan serta keberlanjutan sektor perikanan di Provinsi Riau,” harap Bambang.
Dengan adanya kajian ini, diharapkan Provinsi Riau dapat lebih siap dalam mengimplementasikan Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur, yang tidak hanya akan meningkatkan produktivitas sektor perikanan, tetapi juga berkontribusi terhadap kelestarian sumber daya laut.
Keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada kesiapan infrastruktur pelabuhan perikanan dan kolaborasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah, serta stakeholder terkait lainnya.
“Ini adalah langkah awal yang sangat penting untuk memastikan sektor perikanan kita tidak hanya berkembang secara ekonomi, tetapi juga berkelanjutan bagi generasi yang akan datang,” tutup Bambang Pratama.