Shinta Offtianty, ibu korban dugaan penganiayaan di ponpes memenuhi panggilan Polres Kampar usai dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik.
(Istimewa)
RIAU ONLINE, KAMPAR - Shinta Offtianty, ibu korban dugaan penganiayaan dan perundungan (bullying) di pondok pesantren (ponpes) DQ, Kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar, Riau dilaporkan pihak Ponpes ke Polres Kampar.
Shinta diperiksa penyidik Polres Kampar setelah dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik. Menindak lanjuti laporan pihak ponpes, Shinta kemudian diperiksa, Rabu, 30 Oktober 2024 lalu.
Shinta dilaporkan telah melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) berdasarkan laporan polisi nomor LP/B/192/VIII/2024/SPKT/Polres Kampar/Polda Riau tanggal 13 Agustus 2024.
Kapolres Kampar, AKBP Ronald Sumaja mengatakan, pihak korban sudah melapor ke Polda Riau atas kasus dugaan penganiayaan tersebut. Tapi kemudian, pihak pesantren membuat laporan balik ke Polres Kampar atas dugaan pencemaran nama baik.
"Tentunya segala bentuk aduan ataupun laporan akan kita tindak lanjuti dari awal mulai penyelidikan dulu. Nanti baru kita lihat apakah unsurnya terpenuhi atau tidak. Kalau memang terpenuhi tentunya akan kita proses lebih lanjut," ujar AKBP Ronald Sumaja, Rabu, 6 November 2024.
Dalam kasus ini, kata Ronald, pelaporan yang dilayangkan pihak pondok pesantren karena adanya sejumlah pernyataan di media sosial yang dianggap merugikan pihak pondok pesantren. Sejauh ini pihaknya telah memeriksa empat orang saksi dan akan meminta keterangan dari ahli IT.
"Tentunya kita butuh dari ahli bahasa apakah kata-kata yang dalam media sosial tersebut termasuk unsur penghinaan atau pencemaran nama baik. Jadi ini masih proses penyelidikan, butuh waktu dan mohon rekan-rekan bersabar. Kita akan tetap profesional menentukan permasalahan ini dengan baik," papar Ronald.
Polres Kampar juga telah meminta keterangan terhadap pihak pondok pesantren sebagai pelapor.
"Sudah, sudah kita tindak lanjuti. Tapi masih tahap penyelidikan karena kami butuh gelar dulu dan keterangan-keterangan tersebut kita butuh koordinasi dengan ahli karena ini menyangkut IT," katanya.
"Undang-Undang ITE yang kita pakai tentunya dari hasil gelar itu baru kita tentukan apakah kasus ini bisa dinaikkan atau tidak," jelas Ronald.
Ronald menegaskan pihaknya menangani kasus ini secara profesional. Apapun laporan atau aduan dari masyarakat tetap harus kami tindak lanjuti.
“Segala bentuk permasalahan dibuka ruang mediasi atau restorative justice. Karena prinsip kami harkamtibmas yang utama, penegakan hukum adalah upaya yang paling terakhir," pungkas Ronald.
"Namun, pihak pesantren dinilai tidak menunjukkan itikad baik dalam menangani kasus ini. Bahkan, pihak pesantren malah menyalahkan korban dengan berbagai tuduhan, seperti mencapnya sebagai anak nakal, memiliki kelainan, hingga menuduhnya mencuri. Tuduhan ini dianggap memperburuk situasi, dan memberikan kesan bahwa kekerasan yang terjadi dapat dibenarkan," tegas Suardi.
Sebelumnya, Shinta telah memenuhi panggilan Polres Kampar atas dugaan tindak pidana nama baik yang dilaporkan pihak pondok pesantren.
"Korban Fahri mengalami dampak fisik dan psikologis akibat kekerasan yang dilakukan oleh kakak kelasnya di lingkungan pesantren tersebut,” katanya.
"Bahwa selain itu pernyataan yang disampaikan oleh klien kami melalui media sosial, menurut penasihat hukum keluarga, berlandaskan fakta yang sebenarnya. Sebelum mempublikasikan kasus ini, klien kami telah berupaya menyelesaikan permasalahan tersebut dengan menemui pihak pesantren secara langsung," tutupnya.