RIAU ONLINE, PEKANBARU - Shinta Offianty, orang tua anak yang diduga dianiaya di Pondok Pesantren (Ponpes) DQ di Kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar, diduga dikriminalisasi oleh pihak ponpes. Namun, Polres Kampar hingga saat ini masih bungkam terkait dugaan tersebut.
Kapolres Kampar, AKBP Ronald Sumaja, memilih diam saat RIAU ONLINE pesan singkat WhatsApp, meminta keterangan terkait pemeriksaan terhadap keluarga korban, Jumat, 1 November 2024.
Ponpes DQ sebelumnya melaporkan orang tua korban ke Polres Kampar terkait pencemaran nama baik.
Shinta dilaporkan telah melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) berdasarkan laporan polisi nomor LP/B/192/VIII/2024/SPKT/Polres Kampar/Polda Riau tanggal 13 Agustus 2024.
Shinta Offianty kemudian dipanggil Penyidik Unit III Sat Reskrim Polres Kampar terkait adanya dugaan tindak pidana pencemaran nama baik di media sosial.
"Saya menghadiri panggilan dari Polres Kampar atas dugaan tindak pidana pencemaran nama baik yang dilayangkan oleh pondok pesantren, dimana anak saya pernah bersekolah di situ," kata Shinta.
Shinta mengaku sangat menyayangkan kejadian ini, mengingat sang anak merupakan korban. Ia menegaskan bahwa unggahannya di media sosial merupakan fakta-fakta yang terjadi.
"Kekerasan itu memang benar adanya terjadi di pondok pesantren itu," ujar Shinta, Jumat, 1 November 2024.
Sementara itu, Ketua DPP Lembaga Bantuan Hukum Tuah Negri Nusantara Suardi, selaku pemegang kuasa hukum korban, menduga laporan yang dilayangkan ponpes tersebut sebagai upaya kriminalisasi terhadap orang tua yang sedang memperjuangkan keadilan bagi anaknya.
Dia menyebut ponpes cenderung berpihak kepada pelaku perundungan, daripada memberikan perlindungan terhadap korban. Sedangkan korban, Fahri, mengalami dampak fisik dan psikologis akibat kekerasan yang diduga dilakukan kakak kelasnya di lingkungan pesantren tersebut.
"Bahwa selain itu pernyataan yang disampaikan oleh klien kami melalui media sosial, menurut penasihat hukum keluarga, berlandaskan fakta yang sebenarnya. Sebelum mempublikasikan kasus ini, klien kami telah berupaya menyelesaikan permasalahan tersebut dengan menemui pihak pesantren secara langsung,” kata Suardi.
Menurutnya, pihak ponpes tidak menunjukkan itikad baik dalam menangani kasus ini. Bahkan, menyalahkan korban dengan berbagai tuduhan, seperti mencapnya sebagai anak nakal, memiliki kelainan, hingga menuduhnya mencuri.
"Tuduhan ini dianggap memperburuk situasi, dan memberikan kesan bahwa kekerasan yang terjadi dapat dibenarkan," tambahnya.
Menanggapi laporan pihak ponpes terhadap orang tua korban, Suardi dan timnya akan melayangkan pengaduan terhadap pimpinan ponpes serta pihak-pihak yang diduga terlibat dalam pembiaran tindak perundungan ini.
"Pengaduan ini akan disampaikan kepada Polda Riau dan diteruskan ke Mabes Polri, Kementerian Agama Republik Indonesia, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komisi III DPR RI, LPSK hingga Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI)," tegasnya.
"Dengan harapan agar laporan ini mendapat perhatian serius dari pihak berwenang. Kami juga meminta atensi dari Kapolda Riau terkait laporan pelapor di Polres Kampar. Secara Fakta orang tua korban dan korban adalah korban yang sebenarnya, untuk itu kami akan berupaya semaksimal mungkin menegakan keadilan untuk korban," pungkasnya.
Fahri Aryan Syaputra (13) diduga dianiaya oleh kakak kelasnya berinisial A dan R pada 31 Juli 2024. Korban mengaku ditendang dan diinjak oleh para pelaku yang menyebabkan luka lebam di pipi dan kepala. Fahri sempat menjalani perawatan di sebuah rumah sakit di Panam Kota, Pekanbaru, selama 3 hari, dan kemudian diperiksa oleh psikiater di Rumah Sakit Jiwa Tampan.
Menyikapi hal ini, pimpinan ponpes menegaskan, tidak pernah terjadi penganiayaan atau perkelahian di pesantrennya. Ia menjelaskan, apa yang terjadi adalah bentuk tunjuk ajar kepada adik kelas.