Adik Ipar TFT Diperiksa Bersama Dua Saksi Ahli di PN Pekanbaru

Adik-Ipar-TFT-Diperiksa-Bersama-Dua-Saksi-Ahli-di-PN-Pekanbaru.jpg
(Defri Candra/Riau Online)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Sidang dugaan korupsi di Sekretariat DPRD Riau dengan terduga Tengku Fauzan Tambusai (TFT) kembali dilakukan di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru lantai 2 ruang sidang Soebakti, Senin, 28 Oktober 2024.

Agenda sidang kali ini pemeriksaan 3 orang saksi, satu saksi dari Adik ipar terdakwa, Archad Norman Husein dan dua saksi ahli, Dodi Haryono dan Hendriansyah.

Hendriansyah, seorang ahli hukum pidana, dan Dodi Haryono, dosen hukum dari Universitas Riau yang juga berkompeten di bidang hukum administrasi.

Salah satu momen krusial dalam sidang tersebut adalah ketika Archad Norman Husein, adik ipar terdakwa, dipanggil sebagai saksi.

Namun, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan keberatan karena adanya hubungan keluarga antara saksi dan terdakwa, yang dapat mempengaruhi objektivitas kesaksian.

Hal ini menambah ketegangan di ruang sidang, di mana hakim Jimmy Maruli memimpin jalannya persidangan tidak mempermasalahkan.

Archad memberikan kesaksian mengenai dugaan SPPD (Surat Perintah Perjalanan Dinas) fiktif yang melibatkan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Sekwan DPRD) Riau.

Archad menjelaskan bahwa dirinya diminta oleh Tengku Fauzan untuk memantau isu terkait, yang menandakan adanya keterlibatan langsung dalam pengawasan anggaran sejak
Oktober 2022 hingga Mei 2023.

"Saya ditugaskan sebagai Tenaga Harian Lepas (THL) di bagian keuangan Setwan DPRD Riau. Tugas saya hanya melakukan fotokopi berkas di bagian keuangan," ujar Archad dalam sidang.


Archad juga menjelaskan kalau orang-orang di Sekwan DPRD Riau, tahu kalau dirinya bekerja di Sekwan hanya karena titipan, bukan karena hubungan keluarga dengan TFT.

"Saya bekerja sebagai THL disana orang tahu saya sebagai titipan dan bekerja di bagian keuangan. Orang-orang tidak tahu saya adik ipar TFT," pungkasnya.

Selain saksi Archad, Kuasa hukum TFT juga menghadirkan dua orang saksi ahli dalam sidang dugaan korupsi SPPD Fiktif ini.

Dodi Haryono, dalam kapasitasnya sebagai ahli hukum administrasi, menguraikan tentang kewenangan yang melekat pada posisi tertentu.

“Kewenangan itu harus ada dan diatur dengan rinci. Dalam pengadaan barang dan jadwal, kita harus memperhatikan apakah kewenangan tersebut bersifat delegasi atau terikat,” ujarnya.

Ia menekankan pentingnya pemahaman mengenai tanggung jawab hukum yang timbul dari kewenangan tersebut, serta bagaimana hal ini dapat berpengaruh dalam kasus yang sedang berlangsung.

Selanjutnya saksi ahli pidana, Hendriansyah, kuasa hukum terdakwa TFT, hanya menanyakan bagaimana proses penetapan tersangka baik saat proses Sprindik, SPDP hingga jadi tersangka.

Sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda pembacaan vonis oleh Jaksa Penuntut Umum.

Sebelumnya, JPU dalam dakwaannya menyebut dugaan korupsi terjadi saat Tengku Fauzan menjabat sebagai Plt Sekretaris DPRD Riau pada medio September sampai Desember 2022.

Modusnya memerintahkan bawahannya untuk mempersiapkan dokumen pertanggungjawaban kegiatan perjalanan dinas periode September - Desember 2022 di Sekretariat DPRD Riau.

Diantaranya, nota dinas, surat perintah tugas (SPT), surat perintah perjalanan dinas (SPPD), kwitansi, nota pencairan perjalanan dinas, surat perintah pemindahan buku dana overbook, tiket transportasi, boarding pass, dan bill hotel.

Setelah semua dokumen terkumpul, tersangka selaku Pengguna Anggaran (PA) menandatangani dokumen pertanggungjawaban tersebut dan memerintahkan K selaku pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK) dan MAS selaku bendahara pengeluaran untuk mengajukan pencairan anggaran ke Bank Riau tanpa melalui verifikasi EN selaku Kasubag atau Koordinator Verifikasi.

Setelah uang kegiatan perjalanan dinas masuk ke rekening pegawai yang namanya dicatut atau dipakai dalam perjalanan dinas fiktif tersebut, setiap pencairan dilakukan pemotongan sebesar Rp1,5 juta dan diberikan kepada nama-nama pegawai yang dimaksud, sebagai upah tanda tangan.

Pencairan uang perjalanan dinas fiktif tersebut Rp2,8 miliar lebih. Setelah diberikan Rp1,5 miliar kepada nama-nama yang dicatut, sisanya Rp2,3 miliar lebih, digunakan Fauzan untuk kepentingan pribadi tersangka. Hasil audit, kerugian negara akibat perbuatan itu sebesar Rp2.332.826.140.

Akibat perbuatan itu, Fauzan dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 tahun 2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.