Diduga Jadi Korban Malpraktik, Pasien Laporkan Rumah Sakit ke Polda Riau

Kantor-Polda-Riau2.jpg
(DEFRI CANDRA/RIAUONLINE.CO.ID)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Suami seorang pasien rumah sakit swasta di Pekanbaru, berinisial SA (27), melaporkan dugaan malpraktik yang menimpa istrinya ke Mapolda Riau.

Istrinya GA diduga menjadi korban malpraktik saat hendak menjalani operasi hemoroid atau ambeien di rumah sakit, Minggu 22 September 2024 lalu. Akibatnya, AG mengalami sakit hebat di bagian kepala serta muntah, bahkan sempat tidak sadarkan diri.

Kabid Humas Polda Riau, Kombes Pol Anom Karbianto, saat dikonfirmasi wartawan membenarkan adanya pengaduan dugaan malpraktik di rumah sakit Pekanbaru tersebut.

"Benar pengaduannya telah terima oleh Ditreskrimsus Polda Riau dan akan dilanjutkan dengan penyelidikan," kata Kombes Anom, Senin, 7 Oktober 2024.

GA menyebut saat itu ditangani dokter bedah dr Suindra dan dr Popi Sofia yang melakukan tindakan anestesi.

Ia menyebut dr Popi Sofia langsung melakukan penyuntikan anestesi spinal tanpa memberikan aba-aba dan tanpa disuruh untuk menundukkan badan pasien. 

Saat penyuntikan anestesi, baru kemudian perawat menyuruh pasien untuk menundukkan badannya. 

"Akibatnya bagian bawah punggung saya terasa seperti tersetrum dua kali. Setelah itu dr Popi Sofia tidak melakukan pengecekan, apakah anestesi yang disuntikkan bereaksi atau tidak," kata GA, Selasa, 8 Oktober 2024.

Keesokan harinya, Senin 23 September 2024, sekitar pukul 13.30 WIB, GA mulai merasakan nyeri di kepala hingga esok hari kemudian.

"Semakin hari sakit kepala semakin bertambah hebat disertai mual. Kami sudah melaporkan kepada pihak rumah sakit untuk segera diberikan obat oleh dokter namun respon pihak rumah sakit sangat lama," ujar GA.

Selanjutnya, esok hari sekira pukul 09.00 WIB, GA mengalami muntah-muntah. Suami GA kemudian melaporkan lagi kepada pihak rumah sakit agar mendapatkan konsultasi dokter untuk istrinya. Namun respon dari pihak rumah sakit sangat lama.



Sekira pukul 12.00 WIB pihak rumah sakit baru memberikan obat anti muntah secara injeksi dan sekira pukul 16.00 dokter jaga dr Puji Meisya Sonia baru datang untuk visit.

dr Puji Meisya Sonia mendiagnosa GA mengalami vertigo perifer. Padahal GA sudah mengatakan bahwa yang dirasakannya bukan pusing atau vertigo, namun sakit kepala yang diduga efek samping dari anestesi spinal. 

Namun dr Phuji tetap mengatakan bahwa yang dirasakan oleh GA adalah vertigo perifer bukan efek anestesi. Lalu dr Phuji memberikan obat-obatan anti nyeri serta obat dari dokter bedah untuk kasus hemoroid atau ambeien. Tapi, GA masih merasakan sakit kepala yang teramat sangat.

Sekira pada pukul 20.30 WIB dokter bedah bernama dr Suindra melakukan visit dan menyatakan bahwa yang dirasakan GA ini adalah efek dari anestesi, lalu meminta GA melakukan konsultasi ke dokter anastesi.

Kemudian Rabu, 25 September 2024, sekitar pukul 09.00 WIB, GA diberikan obat anti nyeri yang diresepkan oleh dokter anestesi tanpa adanya pengecekan langsung atau visit, sekitar pukul 22.00 WIB GA mulai merasakan sakit tulang punggung sampai keesokan harinya.

Keesokan harinya sekira pukul 16.00 WIB dr Anestesi bernama dr. Febrian Putra melakukan pengecekan dan mengatakan bahwa keluhan dari GA hanya efek samping biasa bukan hal yang serius, meski begitu belum ada tindakan dari pihak rumah sakit.

Jumat 27 September 2024, sekitar pukul 09.00 WIB, dokter syaraf bernama dr Trunojoyo Soeranggayoedha, melakukan pengecekan dan mengatakan bahwa yang dikeluhkan oleh GA kemungkinan terjadinya PDPH (Post dural Pucture Headache). 

Sekira pukul 14.30 Wib, dokter anestesi bernama dr Febrian Putra melakukan penindakan sphenopalatine ganglion block oleh, Sp.AN-TI, kepada GA untuk meredakan sakit kepala namun tidak ada terjadinya efek sama sekali.

"Pada Senin, 30 September 2024 siang, dokter syaraf bernama dr Trunojoyo Soeranggayoedha,melakukan penindakan Sphenopalatine Ganglion Block ulang dan sudah mulai adanya perubahan terhadap keluhan sakit kepala saya," ungkap GA.

Selasa 1 Oktober 2024, sekitar pukul 08.30 WIB, dokter anestesi bernama dr Popi Sofia melakukan pengecekan dan mengatakan bahwa benar keluhan korban tersebut adalah PDPH (Post Dural Puncture Headache). 

"Setelah diketahui bahwa keluhan saya tersebut adalah PDPH (Post Dural Puncture Headache) kemudian dr Popi Sofia, merencanakan tindakan pengobatan Sphenopalatine Ganglion Block ulang dan ia juga meresepkan minuman yang mengandung kafein untuk pengobatan PDPH (Post Dural Puncture Headache)," katanya.

Kemudian pada hari Rabu, 2 Oktober 2024 dokter anestesi bernama dr Popi Sofia memberikan obat obat antinyeri berupa obat analsik dan dokter syaraf bernama dr Trunojoyo Soeranggayoedha, juga meresepkan obat pregabalin untuk kasus PDPH (Post Dural Puncture Headache).

"Pada hari Kamis 3 Oktober 2024 pagi, dokter anestesi bernama dr Popi Sofia, melakukan penindakan Sphenopalatine Ganglion Block dengan cara kepala saya ditekan dan dicengkram dengan sangat kuat dan cairan untuk penyemprotan kedua rongga hidung tersebut mengenai mata kanan saya sehingga terjadi perih di mata saya, setelah itu dr Popi Sofia, menekan kening saya dengan menggunakan kedua jari dengan sangat kuat, hingga saya merasakan sakit yang luar biasa di bagian kepala dan perih dimata, namun pihak rumah sakit hanya memberi obat tambahan antinyeri paracetamol kepada saya," kata AG

Sekira pukul 17.00 WIB, dokter syaraf bernama dr Trunojoyo Soeranggayoedha, SpS kemudian memeriksa kepala korban dan mendiagnosa bahwa adanya trauma syaraf dan otot luar di kepala sampai leher akibat tekanan dan cengkraman keras yang dilakukan oleh dr Popi Sofia, tersebut hingga mengakibatkan kepala korban mengalami sakit yang sangat hebat.

Yang anehnya lagi, sebut AG, dokter anestesi bernama dr Rahmat Hidayatullah, beserta tim manajemen dan perawat Rumah Sakit mengunjungi korban dan mengatakan bahwa kondisi korban baik-baik saja dengan penyakit PDPH (post dural puncture headache) yang diderita korban serta mengintimidasi korban untuk segera pulang sementara kondisi korban masih dalam keadaan sakit yang sangat luar biasa di bagian kepala dan belum bisa beraktivitas seperti kondisi normal.

Padahal sebenarnya PDPH ini adalah kasus kelalaian medis serta kesalahan tindakan dari dokter anestesi. Dan ini kondisi yang serius, bukan hanya nyeri di kepala namun berkurangnya cairan di otak akibat dari kebocoran di lobang tempat dilakukan penyuntikan anestesi spinal oleh dr Popi Sofia sebelumnya.

"Tak terima dengan perlakuan tersebut kami memutuskan untuk membuat pengaduan ke Polda Riau guna penyelidikan lebih lanjut, pihak rumah sakit harus bertanggung jawab dengan semua ini," harap AG.