RIAU ONLINE - Ancaman terhadap demokrasi Indonesia semakin terlihat di tengah situasi politik terkini. Bahkan, konstitusi dirongrong kelompok penguasa demi tujuan pragmatisme kekuasaan.
Koalisi Lintas Organisasi Pers menyerukan pers dan jurnalis sebagai pilar keempat demokrasi untuk tidak melunak pada upaya-upaya kekuasaan yang hendak melumpuhkan demokrasi.
Terlebih lagi, para elit kekuasaan baru-baru ini menganulir dua putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yakni Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang melonggarkan ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah untuk semua partai politik dan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang mempertegas syarat batas usia pencalonan kepala daerah harus terpenuhi pada saat pendaftaran.
Koalisi Lintas Organisasi Pers menegaskan upaya penganulirasn dua keputusan lembaga konstitusi tertinggi di Indonesia dipertontonkan secara angkuh melalui proses legislasi rancangan undang-undang (RUU) Pilkada secara kilat, yang tidak mematuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
"Tercium aroma busuk di balik niat untuk merevisi undang-undang pilkada ini setelah putusan MK, hingga menyisakan pertanyaan tentang masa depan konstitusi dan demokrasi kita," tegas Koalisi Lintas Organisasi Pers dalam pernyataan resminya, Kamis, 22 Agustus 2024.
Bukan hanya kali ini, penyimpangan kekuasaan dalam proses legislasi juga sebelumnya sudah pernah terjadi. Beberapa regulasi krusial yang mulus bahkan dikebut dalam waktu singkat, seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, revisi UU KPK, UU Ibu Kota Negara (IKN), tanpa asas transparan dan partisipasi masyarakat.
Padahal, ada banyak RUU yang lebih mendesak menunggu disahkan demi kepentingan masyarakat, seperti RUU Masyarakat adat, RUU Perampasan Aset, Perlindungan Data Pribadi, dan sebagainya.
"Bila Putusan MK bisa mereka anulir dalam waktu sekejap, bukan tidak mungkin undang-undang yang menjamin kebebasan pers, berpendapat dan berekspresi, pelan-pelan dilucuti dengan mudah sampai kita menuju era kegelapan," tegas koalisi.
Setidaknya upaya ini pernah dicoba pada rencana revisi UU Penyiaran yang muatannya justru menjurus pada pemberian ruang kontrol negara terhadap isi siaran.
Di tengah situasi darurat demokrasi ini, pers profesional harusnya melontarkan kritik tajam terhadap pemerintahan demi menjaga masa depan kebebasan dan demokrasi.
Rezim pemerintahan Jokowi memang tidak membredel media, namun Koalisi Lintas Organisasi Pers mengingatkan bahwa banyak praktik selama ini yang justru mengancam kebebasan pers, berpendapat, dan berekspresi. Seperti kekerasan terhadap jurnalis yang terus mengalami peningkatan, represi kritik di ranah digital, hingga upaya "membeli" ruang redaksi untuk membangun citra positif pada kebijakan kontroversi yang ditentang rakyat.
Koalisi Lintas Organisasi Pers yang terdiri dari 9, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya, Pewarta Foto Indonesia (PFI), Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), melalui pernyataan resminya menyatakan dan menyerukan 4 poin penting, yakni:
- Demokrasi kita terancam dan pers wajib membelanya.
- Mengingatkan media dan jurnalis tetap independen dan profesional dalam memberitakan kebenaran serta tidak takut menyajikan informasi yang akurat, kritis, dan terverifikasi dan tidak mudah diintervensi.
- Di tengah situasi politik yang kisruh saat ini, mengingatkan pemerintah untuk menjamin perlindungan media dan jurnalis dalam menjalankan kerja jurnalistik melaporkan informasi kepada publik.
- Pemerintah untuk menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara dengan tidak merepresi pendapat dan kritik di berbagai kanal, termasuk ruang digital.