RIAU ONLINE, PEKANBARU - Pohon Nibung dengan nama latin Oncosperma Tigillarium termasuk ke dalam jenis tumbuhan palma (palm). Pohon Nibung biasanya tumbuh liar berasosiasi dengan beberapa tumbuhan mangrove yang tumbuh pada kondisi tanah sangat lembab dengan pH rata-rata 5,9.
Pohon Nibung memang memiliki karakteristik batang yang khas dengan tekstur yang kuat, kokoh dan tahan rayap. Batang pohon nibung menyerupai susunan lidi berwarna cokelat tua, dilapisi kulit batang berwarna abu-abu yang dipenuhi oleh duri-duri tajam.
Batangnya lurus tinggi menjulang tidak bercabang seperti kelapa. Antara satu pohon dengan lainnya tingginya berkisar 9-25 meter. Diameter batangnya kisaran 38-40 cm. Bentuk daunnya tersusun menyirip tunggal (pinnatus) yang kesannya dekoratif, dengan tipe daun majemuk dan bertulang daun sejajar.
Pohon nibung bahkan ditetapkan sebagai flora khas identitas Provinsi Riau dan dianggap sebagai simbol dari semangat persatuan serta persaudaraan bagi masyarakat Riau.
Pasalnya, pohon ini sudah lama menyatu dengan kehidupan masyarakat Riau. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa tempat yang menggunakan nama tumbuhan tersebut, seperti Tanjung Nibung dan Teluk Nibung. Selain itu, keterkaitan ini tampak pula dalam pantun maupun ungkapan tradisionalnya yang menggunakan tumbuhan tersebut.
Pohon nibung dapat dimanfaatkan mulai dari batang, daun, bunga hingga buahnya. Batang nibung dapat digunakan untuk bahan bangunan seperti lantai, pipa untuk saluran air dan sebagainya, dan tongkat. Tongkat Nibung dalam upacara adat menjadi bukti besarnya peranan nibung pada masa silam terhadap kehidupan kebudayaan Melayu Riau.
Tongkat ini juga menjadi lambang kehormatan bagi seseorang yang dianggap berjasa atau orang yang dijadikan sesepuh maupun dituakan serta dihormati dalam suatu daerah.
Dilansir dari berbagai sumber, terdapat banyak kegunaan pohon nibung. Satu di antaranya oleh masyarakat di Desa Jangkang, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, nibung banyak dimanfaatkan nelayan sebagai bahan pembuatan pondok untuk menjemur udang rebon.
Selain itu, batang nibung dimanfaatkan untuk keperluan perikanan seperti renovasi bagan, sarip dan kilung. Di daerah yang pasang surut, nibung diperjualbelikan sebagai bahan bangunan dan tiang rumah di lahan gambut. Sedangkan daunnya dapat digunakan untuk atap rumah dan anyaman keranjang. Baik batang maupun daun pohon ini memiliki daya tahan yang lama dan tidak mudah lapuk meskipun terendam dalam air payau.
Bahkan, temuan arkeolog dari Balai Arkeologi Palembang menyebutkan bahwa batang nibung telah dipergunakan sebagai bahan bangunan di lahan gambut oleh masyarakat Jambi sejak abad ke-11.
Dari kegiatan penelitian yang berlangsung hingga tiga kali, dan berakhir 26 Mei 2008 lalu, tim mendapati banyak tonggak kayu nibung yang biasa digunakan sebagai fondasi rumah warga di kawasan bergambut pada masa lalu. Tonggak kayu masih tertancap di atas tanah, namun tim tidak lagi menemukan ada bangunan di atasnya.
Para arkeolog juga menemukan batang-batang pohon nibung di antara sebaran artefak. Selain batang, rebusan akar nibung dapat digunakan sebagai obat penurun panas. Bunganya juga dapat dimanfaatkan untuk mengharumkan beras. Kuncup bunga nibung bisa diolah menjadi sayur, serta buahnya dipakai sebagai teman makan sirih pengganti pinang.
Begitu banyak bukan kegunaan pohon nibung? Meski dianggap sebagai identitas masyarakat, sayangnya tanaman ini tak luput dari ancaman kegiatan penebangan dan alih fungsi lahan.
Seperti yang terjadi di hutan tropis Kabupaten Pelalawan. Kini kondisinya sangat memprihatinkan dan terancam punah. Apalagi sumber Nibung memang hanya diperoleh dari hutan alam.
Saat ini pohon nibung sudah sangat sulit ditemukan. Dalam Penelitian Ari Nurlia terkait dengan “Pola Pemanfaatan dan Pemasaran Nibung di Sekitar Kawasan Taman Nasional Sembilang Provinsi Sumatra Selatan” dijelaskan pohon nibung di alam hanya terlihat sisa-sisa tunggakannya saja di beberapa hulu sungai wilayah Taman Nasional Sembilang.
Untuk mencegah terjadinya kepunahan, tentunya dapat dilakukan budidaya pohon nibung. Namun, ketersediaan lahan dan pengetahuan, atau belum adanya kemauan untuk menanam menjadi kendala, sehingga pembudidayaan pohon nibung belum terlaksana sampai sekarang.
Artikel ini ditulis Anggi, peserta program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di RIAU ONLINE