RIAU ONLINE, PEKANBARU - Kuantan Singingi (Kuansing) merupakan satu dari sejumlah kabupaten di Provinsi Riau yang memiliki tradisi budaya khas yakni pacu jalur. Siapa sangka? Kini pacu jalur dilirik dan menjadi perbincangan di kancah nasional hingga internasional. Beberapa waktu belakangan, video pacu jalur ramai dan menjadi viral di sosial media berkat aksi penari cilik yang berjoget di ujung perahu.
Tradisi pacu jalur asal Kuansing ini masuk ke dalam satu dari 110 iven Karisma Event Nusantara (KEN) 2023 yang berlangsung kurang lebih selama 4 hari. Festival pacu jalur biasanya digelar setahun sekali oleh masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi, tepatnya di Teluk Kuantan dan daerah-daerah di sekitar Sungai Kuantan.
Pacu jalur sudah berlangsung secara turun-temurun, akan tetapi masyarakat baru mengenal tradisi ini sejak 1900. Kala itu, perahu yang banyak dipacukan penduduk kebanyakan perahu-perahu besar yang biasa digunakan sebagai alat transportasi kebutuhan sehari-hari.
Festival pacu jalur dalam wujudnya memang merupakan hasil budaya dan karya seni khas perpaduan antara unsur olahraga, seni, dan olah batin. Namun, masyarakat sekitar sangat percaya bahwa kemenangan dalam perlombaan ini juga ditentukan olah batin dari pawang perahu atau dukun perahu di samping kekuatan otot pendayungnya.
Tidak hanya mengandung unsur kesenian, dalam tradisi pacu jalur juga terdapat unsur olahraga dan olah batin. Pacu jalur terdiri dari dua kata, yaitu pacu dan jalur. Pacu adalah perlombaan memacu atau mendayung. Sedangkan jalur adalah perahu yang digunakan. Dengan demikian, pacu jalur adalah perlombaan dayung menggunakan jalur tradisional yang menjadi ciri khas daerah Kuansing yang sampai sekarang masih bertahan.
Tradisi pacu jalur sendiri dilakukan oleh 50 hingga 60 orang sebagai anak pancu dan itu juga tergantung dari seberapa panjang perahunya. Perahu yang dipakai dalam tradisi ini menggunakan kayu gelondongan atau kayu utuh tanpa sambungan dengan panjang antara 16 meter sampai 25 meter dan lebar bagian tengah kira-kira 1,3 meter sampai 1,5 meter, dan perahu tersebut masyarakat setempat menyebutnya dengan nama jalur. Di situlah bermula asal muasal nama pacu jalur.
Biasanya, sebelum pacu jalur dimulai diawali dengan upacara sakral dan magis oleh pawang atau dukun jalur. Dukun jalur itu sudah berperan sejak dari memilih kayu yang akan dijadikan jalur hingga ke arena pacuan. Dia yang akan memberikan instruksi kapan waktu akan berangkat dari kandang (tempat daerah mereka menuju arena pacuan). Kapan berangkat dari tempat parkir jalur menuju garis start. Untuk berangkat ke pancang pertama garis start harus tepat pelangkahannya.
Pacu jalur memperlihatkan adanya unsur-unsur fisik dan magis. Anak pacu dengan kekuatan tenaganya, sedangkan dukun jalur dengan kemampuan magisnya mewakili dunia mistik. Masyarakat Kuantan Singingi mempercayai bahwa kemenangan baru akan diperoleh suatu tim jika kedua unsur tersebut terpenuhi, dan melebihi kekuatan yang dimiliki oleh lawan pacu.
Dengan demikian, suatu jalur yang tidak melibatkan dukun atau hanya mengandalkan kekuatan tenaga saja dipercayai tidak akan memperoleh kemenangan.
Dahulu, kegiatan pacu jalur diselenggarakan di kampung-kampung di sepanjang Batang Kuantan untuk memperingati dan merayakan berbagai hari besar Islam, seperti Maulid Nabi Muhammad, Hari Raya Idul Fitri, memperingati tahun baru Islam (1 Muharram), dan sebagainya. Pada waktu itu beberapa kampung tidak memberi hadiah bagi jalur yang menang. Namun selesai pacu, biasanya diakhiri dengan makan bersama makanan tradisional setempat seperti: konji, godok, lopek, paniaram, lida kambiang, buah golek, buah malako, dan lain sebagainya.
Dilansir dari berbagai sumber, akhir abad ke-17 dulunya, jalur merupakan alat transportasi utama bagi warga desa di Rantau Kuantan yaitu daerah di sepanjang Sungai Kuantan yang terletak antara Kecamatan Hulu Kuantan di bagian hulu hingga Kecamatan Cerenti di hilir. Saat itu memang belum berkembang transportasi darat. Akibatnya jalur itu benar-benar digunakan sebagai alat angkut penting bagi warga desa, terutama digunakan sebagai alat angkut hasil bumi, seperti pisang dan tebu, serta berfungsi untuk mengangkut sekitar 40 orang.
Selain itu, jalur dipakai sebagai menyambut tamu-tamu terhormat seperti raja, sultan yang berkunjung ke Rantau Kuantan. Namun, jalur sendiri baru dilombakan atau dipacukan sejak 1905. Hingga pada saat itu dikenal dengan nama pacu jalur. Artinya jalur yang dipacukan (dilombakan) atau lomba jalur.
Kemudian muncul jalur-jalur yang diberi ukiran indah, seperti ukiran kepala ular, buaya, atau harimau, baik di bagian lambung maupun selembayung-nya, ditambah lagi dengan perlengkapan payung, tali-temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang) serta lambai-lambai (tempat juru mudi berdiri). Perubahan tersebut sekaligus menandai perkembangan fungsi jalur menjadi tidak sekadar alat angkut, namun juga menunjukkan identitas sosial. Sebab, hanya penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk saja yang mengendarai jalur berhias itu.
Pada masa penjajahan Belanda pacu jalur diadakan untuk memeriahkan perayaan adat, kenduri rakyat dan untuk memperingati hari kelahiran ratu Belanda wilhelmina yang jatuh pada tanggal 31 Agustus. Kegiatan pacu jalur pada zaman Belanda dimulai pada 31 Agustus sampai 1 atau 2 September. Perayaan pacu jalur tersebut dilombakan selama 2-3 hari, tergantung pada jumlah jalur yang ikut pacu.
Menurut orang tua setempat, pada zaman Belanda jumlah jalur belum banyak sampai sekarang seperti pada saat sekarang yang jumlah nya sampai ratusan buah. Pada masa itu jumlah jalur hanya berkisar antara 22 sampai 30 buah jalur dan biasanya kegiatan ini ditujukan untuk anak sekolah yang berasal dari desa-desa sekitar di Teluk Kuantan yang melakukan upacara dengan menyanyikan wilhelmus sebagai lagu kebangsaan Belanda pada saat itu.
Setelah kemerdekaan kegiatan pacu jalur dilakukan 1 kali dalam 1 tahun yaitu dalam rangka memperingati hari kemerdekaan (HUT RI) yang jatuh pada tanggal 17 Agustus. Hingga saat ini festival pacu jalur terus ramai dikunjungi masyarakat dan jumlah pengunjung mencapai jutaan dan menjadi wisata unggulan Kuansing dan Riau.
Artikel ini ditulis Anggi, peserta program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di RIAU ONLINE