Asal Usul hingga Jejak Kehidupan Penghuni Asli Pulau Rempang yang Menolak Direlokasi

Pulau-Rempang.jpg
(Batamnews)

RIAU ONLINE, BATAM - Pulau Rempang saat ini tengah menjadi sorotan. Bentrokan antara warga setempat dan aparat pada Kamis, 7 September 2023, mengguncang pulau yang berada di Kota Batam, Kepuluan Riau ini.

Di hari itu, Rempang Galang dipenuhi ratusan aparat gabungan yang mengamankan petugas saat hendak mengukur dan mematok lahan di pulau ini. Tapi, rencana ini justru berbuah penolakan yang berujung ricuh saat warga setempat mencoba menghalangi mereka dengan lemparan batu.

Ketika itu, aparat yang datang bahkan membawa peralatan anti huru hara, termasuk watercanon, gas air mata, dan kendaraan taktis lainnya, demi mempertahankan rencana pembangunan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam yang dikenal sebagai Rempang Eco City.

Di tangan PT Makmur Elok Graha (MEG) yang berinvestasi sebesar Rp 381 triliun, wajah Pulau Rempang akan diubah menjadi kawasan investasi terpadu di atas lahan seluas 17 ribu hektare.

Namun, keputusan ini kemudian memunculkan kontroversi besar karena mengancam hak-hak masyarakat yang telah berabad-abad mendiami pulau tersebut.

Pulau Rempang bukan sekedar lahan kosong, menurut laman resmi Kemendikbud Kebudayaan, sebagaimana dilansir dari jaringan RIAU ONLINEBatamnews, Kamis, 14 September 2023, sejarah mencatat bahwa pulau ini merupakan tinggal tinggal bagi Orang Darat yang diyakini sebagai penduduk asli Kota Batam.

Pada 1930, seorang pejabat Belanda bernama P. Wink mengunjungi Orang Darat di Pulau Rempang. Ia mencatat bahwa mereka merupakan suku asli yang hidup tanpa dinding, hanya beratap.



Artikel berjudul Verslag van een bezoek aan de Orang Darat van Rempang, 4 Februari 1930 (Laporan Sebuah Kunjungan ke Orang Darat di Pulau Rempang pada 4 Febaruari 1930) bahkan memuat kunjungan tersebut. Laporan ini ditulis di Tanjungpinang, 12 Februari 1930 dan dimuat dalam Tijdschrift voor Indische Taal, Land en Volkunde, Deel LXX Aflevering I,1930.

P Wink menyebut bahwa pejabat Belanda di Tanjungpinang sudah lama mengetahui keberadaan Orang Darat di Pulau Rempang. Namun, belum ada kontak langsung dengan mereka. P Wink menjadi pejabat Belanda pertama yang turun langsung menemui Orang Adat.

Menurut P Wink, orang Belanda bernama JG Schot dalam tulisannya Indische Gids tahun 1882, di Pulau Rempang ada suku asli yang bernama Orang Darat atau Orang Utan. Legenda menyebut mereka berasal dari Lingga. Sayangnya, tidak ada informasi yang jelas tentang asal usul ini.

Orang Darat di Pulau Rempang mirip suka asli Johor dan Melaka, yakni Orang Jakun. Orang Darat mendiami Pulau Rempang dengan hidup di pondok-pondok tanpa dinding dan hanya beratap. Tak hanya di Pulau Rempang, Orang Darat juga tinggal di Pulau Batam, tapi kemudian seakan menghilang karena membaur dengan Orang Melayu.

Orang Darat berpenampilan dengan kulit lebih gelap dari orang Melayu. Mereka tidak terbiasa hidup di laut, tidak punya sampan, dan hanya bercocok tanam serta mencari hasil hutan.

Saat kondisi air pasang, mereka mencari kepiting dan lokan. Lalu dibarter dengan orang Tionghoa yang memiliki kebun gambir di Pulau Rempang.

Pada 1930 Orang Darat hanya sekitar 36 jiwa. Padahal sebelumnya, menurut Tetua Orang Darat di Rempang, Sarip, dulunya Orang Darat bahkan hingga 300 jiwa. Populasi Orang Darat terus kian menurun, hingga menyisakan beberapa keluarga saja pada 2014.

Pemerintah lantas melakukan penambahan wilayah kawasan industri Pulau Batam melalui Keppres Nomor 28 Tanggal 19 Juni 1992. Ini ditengarai semakin meningkatnya usaha di Pulau Batam dan terbatasnya kemampuan serta daya dukung lahan yang tersedia di daerah industri Pulau Batam.

Pulau Rempang dan Pulau Galang masuk dalam perluasan kawasan industri Pulau Batam dengan status kawasan Berikat. Kawasan kemudian dikenal dengan sebutan Barelang yang merupakan singkatan dari Batam, Rempang, Galang.

Pulau Rempang masuk Proyek Strategis Nasional (PSN) 2023 dan direncakan menjadi kawasan industri, perdagangan hingga wisata bernama Rempang Eco-City. Pembangunan kawasan industri di pulau seluas 17 hektare itu digarap oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) anak perusahaan milik Tommy Winata.