Keranjang dan sejumlah souvenir hasil kerajinan tangan pengrajin binaan Bank Sampah Ibnu Al Mubarok.
(RIYAN NOFITRA)
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Udara terasa sejuk saat memasuki kawasan Pondok Pesantren Ibnu Al Mubarok, di Jalan Sri Amanah, Kelurahan Agrowisata, Kecamatan Rumbai Barat, Pekanbaru, Riau, Jumat pagi pertengahan Oktober 2022.
Pohon Matoa dan durian berjejer rindang. Pekarangan terasa teduh.
Pagi itu, sekelompok santri dari tingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI) begitu riang di taman bermain. Seketika wahana mereka tinggalkan, lalu berkumpul, buat satu barisan tatkala seorang ustadzah (guru) memberi arahan.
"Ini waktunya menimbang sampah yang sudah mereka kumpulkan," kata Ketua Yayasan Pondok Pesantren Ibnu Al Mubarok Rinwiningsih.
Para santri bergegas mengambil ecobrick miliknya masing-masing. Lalu menentengnya menuju bank sampah tidak jauh dari gerbang utama.
Ecobrick merupakan sampah plastik yang dikumpulkan dalam botol plastik air mineral bekas.
"Ini sampah yang mereka kumpulkan sepekan terakhir," kata wanita yang akrab disapa Rini.
Bergantian para santri menyetorkan sampah dalam botol plastik ke bank sampah. Berat timbangan kemudian dicatat dalam buku tabungan. Hasil timbagan sampah lalu dikonversi menjadi 'rupiah'.
Para santri menimbang sampah dalam ecobrick yang akan disetorkan ke Bank Sampah Pondok Pesantren Ibnu Al Mubarok.
"Kita tidak berikan uang tunai, tapi dalam bentuk tabungan. Dari mengumpulkan sampah ini mereka bisa bayar uang sekolah, atau sekedar buat jajan," kata Rini.
Budaya bersih sudah tertanam pada diri masing-masing santri sejak program bank sampah diluncurkan pada tahun 2020 silam secara mandiri.
Di setiap kelas, masing-masing santri wajib memiliki satu botol plastik yang difungsikan sebagai keranjang sampah. Dengan demikian, para santri tidak sembarang buang sampah.
Sampah plastik sisa makanan atau sobekan kertas dikumpul menjadi ecobrick. Sampah tak lagi berserakan di lingkungan sekolah.
"Bisa dilihat sendiri, tidak ada satupun sampah berserakan di lingkungan kami," kata Rini meyakinkan.
di Ponpes Al Mubarok, ecobrick telah dimanfaatkan untuk membangun gapura. Dinding bangunan bank sampah hingga ‘disulap’ menjadi kursi dan meja.
"Tinggal diberi alas kain, jadilah kursi dan meja yang cantik," kata Rini menunjuk ecobrick yang sudah disusun menjadi sebuah kursi.
Bila sudah jadi, kursi dan meja dari ecobrick ini bisa terjual 2 hingga 3 juta rupiah.
Bank Sampah Ibnu Al Mubarok hadir dari sebuah kegelisahan Rini atas penumpukan sampah organik maupun anorganik di pondok pesantren pada 2020 lalu.
Sampah plastik dan sisa makanan menumpuk karena tidak ada upaya pengelolaan yang tepat.
Kala itu, petugas kebersihan sampah tidak selalu datang mengangkut sampah yang ada di pesantren. Tumpukan sampah pun menjadi persoalan serius.
Diawali dengan kegiatan life skill dan entrepreneur di pondok pesantren, mendorong pihak yayasan membuat program bank sampah melibatkan santri dengan fasilitas seadanya.
"Di pondok pesantren ini ada santri yang mondok, ada limbah yang tidak bisa diangkut oleh pihak luar, sehingga memotivasi kami membuat program bank sampah," katanya.
"Kami libatkan santri supaya terbiasa dengan pengolahan sampah baik di rumah maupun di pesantren. Sehingga mereka menjadi generasi yang peduli terhadap persoalan sampah," Rini menambahkan.
Bank Sampah Pondok Pesantren Ibnu Al Mubarok kian berkembang setelah mendapat program pendampingan dari PT Pertamina Hulu Rokan (PHR).
Melalui mitra kerja Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Lancang Kuning (Unilak), PHR memberikan pelatihan manajemen pengelolaan bank sampah.
PHR dan LPPM Unilak sekaligus melakukan sosialisasi bank sampah kepada masyarakat sekitar pondok pesantren. Masyarakat diberi pemahaman tentang pengelolaan sampah serta menjadikan bank sampah sebagai solusi persoalan sampah di lingkungan sekitar.
"Kami ajak masyarakat juga terlibat dalam pengelolaan bank sampah," kata Rini.
Rumah produksi pupuk lindi yang dihasilkan dari fermentasi limbah rumah tangga (organik).
Saat ini, sejumlah masyarakat telah berperan aktif dalam memilah sampah. Sampah anorganik dikumpulkan menjadi ecobrick. Sedangkan sampah organik dikumpulkan dalam sebuah wadah untuk difermentasi menjadi pakan maggot dan pupuk lindi.
Pengelolaan sampah sisa rumah tangga yang semula dianggap tidak berguna justru menjadi jalan menambah pundi-pundi penghasilan masyarakat.
"Masyarakat merasakan dampak ekonominya. Minimal kata mereka (masyarakat) untuk jajan anak sudah bisalah dari hasil memilah sampah itu," kata Ketua RW 03, Kelurahan Agrowisata Rumbai Barat, Muharrami.
Sejumlah instansi pemerintahan ikut bergabung menjadi nasabah: kantor lurah, kantor camat, dan perguruan tinggi. Total nasabah bank sampah saat ini mencapai 162 orang. Terdiri dari 80 siswa SD Negeri, 51 Santri MI Al Mubarok, dan 49 masyarakat Kecamatan Rumbai.
Pada Desember 2021, PHR membangun sarana pengelolaan sampah mulai dari bank sampah, workshop atau galeri kerajinan sampah daur ulang, rumah maggot, rumah produksi kompos dan kolam azolla.
Keberadaan bank sampah mampu mengurangi volume sampah sebesar 0,015 persen dan berkontribusi sebesar 0,035 persen terhadap timbunan sampah di tempat pembuangan akhir.
Bank sampah sekaligus membuka peluang usaha bagi masyarakat mendapatkan 'cuan' dari daur ulang sampah.
Bank sampah pondok pesantren ini telah melibatkan lima belas perajin (penjahit) mengubah sampah menjadi produk bernilai tinggi.
Aneka souvenir dan pernak pernik dihasilkan, mulai dari kotak tisu, kotak pensil, tas, keranjang dan pajangan. Workshop bank sampah telah menerima 500 lembar pernak pernik berbahan kain perca untuk pesta pernikahan.
"Kita sudah punya 15 penjahit. Mereka ambil limbah anorganiknya, kemudian mereka bisa bawa pulang atau kerjakan di sini, dan mereka dapatkan cuan dari sisa-sisa sampah," kata Rini.
Sementara sampah sisa makanan dimanfaatkan untuk budidaya maggot. Produk maggot saat ini menghasilkan 43 kilogram hingga 400 kilogram per hari. Produk maggot telah dipasarkan sampai ke konsumen di luar daerah Riau.
Sampah sisa makanan dimanfaatkan untuk pakan budi daya maggot.
Sedangkan pupuk kompos dan pupuk lindi dari fermentasi sisa limbah sayur dan buah-buahan dimanfaatkan untuk kebutuhan pupuk perkebunan milik pesantren sendiri hingga mampu memenuhi permintaan petani lokal.
“Kebutuhan pupuk yang ada di pondok pesantren ini sangat banyak sementara pupuk mahal, kami terinspirasi lalu buat terobosan sampah organik dikelola menjadi pupuk cair dan pupuk kompos,” katanya.
Menurut Rini, Bank Sampah Ibnu Al Mubarok semestinya membutuhkan 1 ton pasokan sampah per hari untuk dikelola dengan baik. Namun target tersebut sulit terpenuhi. "Saat ini kami justru krisis sampah," ujarnya.
Bahkan untuk memenuhi pakan maggot Rini harus membeli dari pabrik-pabrik roti.
Untuk memenuhi kebutuhan sampah, Bank Sampah Ibnu Al Mubarok juga bekerja sama dengan sejumlah sekolah dan pesantren lainnya di Pekanbaru.
Keberhasilan bank sampah membuat pondok pesantren ini menjadi percontohan sekaligus pusat pelatihan pengelolaan sampah. Pesertanya beragam, mulai dari instansi pemerintahan: kantor lurah, camat, dinas perhubungan hingga masyarakat umum.
"Dari PHR Melalui LPPM Unilak itu, kita bersinergi memberikan pelatihan, bahkan di sini menjadi pusat pelatihan hingga tingkat nasional," katanya.
PHR turut memperkenalkan Bank Sampah Ibnu Al Mubarok ke sejumlah daerah sebagai percontohan dalam penyelesaian masalah sampah.
Dukungan terhadap Bank Sampah Pondok Pesantren Ibnu Al Mubarok merupakan wujud tanggung jawab sosial terhadap lingkungan dan masyarakat di wilayah operasi Pertamina Hulu Rokan.
Dukungan dalam bentuk pembangunan infrastruktur, perlengkapan dan capacity building diharapkan mampu mendorong pondok pesantren lebih mandiri dan sustainable dalam membangun ekonomi dari pengelolaan sampah.
"Yang paling penting adalah, kita memberikan pendampingan kepada setiap kelompok bank sampah termasuk Pondok Pesantren Ibnu Al Mubarok agar mereka bisa mengembangkan produk dan mandiri," kata Winda Damelia selaku Senior Analyst Social Performance At PT Pertamina Hulu Rokan.
PHR menargetkan, Bank Sampah Ibnu Al Mubarok juga mampu memberikan multiplier effect kepada masyarakat luas terutama di sekitar wilayah program.
"Kita ingin bank sampah yang sudah dikembangkan bisa menjadi contoh, dan bisa di replika oleh stakeholder khususnya pemerintah daerah," katanya.