Penulis Adalah Manager Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Provinsi Riau, Taufik
RIAU ONLINE, PEKANBARU-Selain krusial dinasti dan masalah rangkap jabatan FITRA Riau juga menyoroti bagaimana kekayaan migas sebagai salah satu Sumber daya alam di riau tidak berdampak dengan nilai ekonomi dan kesejahteraan masyarakat riau.
Apalagi daerah-daerah yang berpenghasil disektor migas juga cenderung penyumbang sektor kemiskinan dengan catatan rata-rata tiga tahun terakhir 64,3% penduduk miskin di Riau berasal dari tujuh daerah penghasil Migas.
Dilihat dari update data Kajian FITRA. Bahkan tahun 2019, total penduduk miskin di Riau adalah 490.720 jiwa, atau setara dengan 7,08 persen dari total populasinya.
Dari jumlah itu, 345.010 nya atau setara 70,3 persen berasal dari 7 daerah penghasil Migas di Riau. Seperti kabupaten Bengkalis, Rokan Hulu, Siak, Kampar, Rokan Hilir, Pelalawan dan Kabupaten Meranti.
Dipersentasekan, bahwa kabupaten penghasil migas tersebut justru berada dari rata-rata garis kemiskinan provinsi dengan persentase Kabupaten Meranti garis kemiskinan tertinggi di tahun 202I sebesar 25,68% disusul Kab Rokan Hulu 10.40%,Pelalawan 9,63%,Kampar 7,82%,Rokan hilir 7,18% dan Bengkalis 6,64% dan Siak 5.18%.
Pada aspek yang lainnya, wilayah – wilayah penghasil Migas juga tidak menunjukkan kondisi perkembangan ekonomi yang menggembirakan. Bahkan Bengkalis yang merupakan daerah dengan kontribusi Migas terbesar justru pertumbuhan ekonominya negatif -2,2 persen dalam 2017-2020.
Begitu juga daerah lainnya yang mengalami pertumbuhan yang lambat. Jika dihitung rata-rata pertumbuhan ekonomi tujuh daerah penghasil Migas dalam lima tahun terakhir adalah 1,64 persen, angka tersebut jauh dibawah rata-rata pertumbuhan ekonomi di Provinsi Riau yaitu 1,78 persen. Ungkap Taufik
Seharusnya Kepala Daerah yang berpenghasil migas harus mengupayakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dengan mempercepat daerahnya dari upaya pengetasan kemiskinan dan meningkatkan nilai ekonomi masyarakatnya dengan cara mendorong masyarakatnya untuk bekerja di BUMD bukan justru terjebak pada ambisius mengambil bagian keuntungan dari kepentingan pengelolaan BUMD tersebut dengan mengedapankan dinasti kekuasaan yang dimiliki untuk keluarga dan kolega sehingga masyarakat juga sulit untuk berpartisipasi dan berkopetisi di BUMD tersebut dan berakibat pengangguran makin meningkat.
Berdasarkan update data 2020 pengagguran terbuka pada daerah-daerah penghasil migas di riau juga cenderung tinggi dan tidak terserap oleh lapangan pekerjaan. dilihat dari data bahwa kabupaten bengkalis tingkat TPT nya urutan pertama dibandingkan dengan daerah lainnya dengan jumlah 9,31%. meranti 7.94% . Pelalawan 5.99%. Siak 5,80%. Rohil 4.80%, dan Rokan Hulu 4.42%. padahal daerah tersbut merupakan daerah migas.
Jika dibadingkan dengan blok-blok migas yang ada saat ini di provinsi riau sudah sewajarnya kepala daerahnya mendorong masyarakatnya untuk bekerja pada perusahaan migas tersbut. Saat ini data ESDM menujukan terdapat blok migas dengan status produksi skala besar maupun kecil yang beroperasi membentang di delapan dari 12 Kabupaten/kota di Riau, yaitu Kabupaten Bengkalis, Siak, Pelalawan, Indragiri Hulu, Rokan Hulu, Rokan Hilir, dan Kampar.
Untuk skala besar Seperti Blok Rokan, Kampar, Malacca strait, CPP, dan Blok Siak. Sedangkan untuk skala kecil yaitu blok Lirik, blok bentu segat, selat Panjang, kerinci baru dan blok langgak.
Kental Dinasti Kekuasaan
Fitra Provinsi Riau,membenarkan apa yang disampaikan oleh Muhammad Nasir, BUMD yang dikelola Oleh daerah belum steril dari dinasti kekuasaan. Ditemukan keponakan, saudara bahkan anak gubenur dan Bupati juga ikut mendominasi dalam struktur di BSP yang mana perusahaan tersebut sejak awal berdiri mengelola Coastal Plains and Pekanbaru Block (CPP Block) pada tahun 2002 dengan mengandeng Pertamina dalam bentuk Badan Operasi Bersama (BOB) BSP-Pertamina Hulu.
Selain anak gubenur dan mantan bupati, Muhammad Andri dan Riki Hariansyah yang merupakan anak dari syamsuar dan arwin AS. Ditemukan pula BUMD yang dikelola oleh daerah strukturnya dipegang oleh jabatan ganda atau rangkap jabatan, mulai dari sekda dan Eseleon II menjadi dewan komisaris sampai dengan direktur. Salah satunya status assisten II Sekda Siak Hendrisan,S.Sos.,M.Si yang merangkap jabatan sebagai komisaris PT BSP. Lain dari itu pula BUMD lainnya baik milik provinsi maupun Kabupatan juga justru ditemukan hal yang sama.
Hal Itu menjadi catatan ketidaknetralan Pemerintah dan ketidakprofesionalan dalam mengurus tata kelola manajemen BUMD. Seharusnya Pemerintah membuka peluang bagi Pemuda atau masyarakat Riau dalam tanda kutip yang tidak berafiliansi dengan kekuasaaan dan Birokrasi untuk mengurus dan masuk dalam struktural BUMD tersebut tanpa mengedepankan Ego Jabatan untuk mengambil keuntungan dan kepentingan dalam mengoperasionalkan BUMD itu sehingga hal-hal yang tidak dimungkinkan adanya konflik kepentingan tidak muncul apalagi dalam etika Pemerintahan itu sangat tidak boleh.
Perlu dititik tekankan dan diingat bahwa. Masyarakat riau bukan iri dengan kepala daerah yang meletakan anak bahkan kemenakan serta strukural anak buahnya sebagai rangkap jabatan menduduki dan bekerja mengurus CPP BLOK atau BUMD di riau. Akan tetapi kontribusi kepala daerah tersebut terhadap misi pengetasan kemiskinan,mengatasi pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan tidak terwujud dan terlihat upaya yang dilakukan dan hal ini perlu disikapi dan dipertanyakan. Apalagi saat ini terdesus adanya penurunan kinerja dalam pengelolaan minyak di CPP Blok tersebut.
Hasil audit BPK tahun 2020 saja menemukan ketidakstabilan manajemen BSP dalam pengoperasian kinerja, salah satunya masalah SOP yang tidak baik, kurang cermat dalam melakukan investasi dan menjalankan usaha tidak sesuai dengan maksud dan tujuan perusahaan. Secara gambaran identifikasi temuannya adalah Investasi yang Dilakukan PT BSP Belum Memberikan Keuntungan Finansial sebesar Rp 8.175.miliar,terdapat pula temuan hutang yang belum dibayarkan dan terdapat rangkap jabatan. (*)