RIAU ONLINE, PEKANBARU - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru menyoroti adanya dugaan pembungkaman terhadap pembela Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kasus kriminalisasi warga Sakai di Bengkalis.
"Kami menduga ada oknum tertentu yang ingin memanfaatkan momen ini untuk menunjukkan power dan kekuasaan yang dimiliki, yang dapat melakukan apapun," kata Koordinator LBH Pekanbaru, Rian Sibarani, Rabu, 20 Mei 2020.
Rian menceritakan, hal tersebut pertama dialami oleh akun Instagram @ayurahma__, pada saat itu akun Instagram ini menyuarakan keadilan bagi Bongku, salah seorang Petani Sakai yang dijatuhi hukuman 1 tahun penjara.
Sebagai informasi, pasca putusan PN Bengkalis pada senin, 18 Mei 2020, Bongku yang merupakan masyarakat adat suku sakai dikriminalisasi.
Koalisi Pembela Hak Masyarakat Adat membuat #aksiseruan sebagai bentuk kekecewaan terhadap putusan pengadilan yang menghukum bongku bersalah dengan penjara 1 tahun denda Rp 200jt.
Meskipun Putusan Majelis Hakim harus dihormati, akan tetapi berpendapat terkait putusan pengadilan adalah Hak setiap orang dan hal tersebut dilindungi oleh undang-undang.
Selasa, 19 Mei 2020 sekira Pukul 18.46 WIB, pemilik akun IG ayurahma__ mendapatkan pesan melalui whatsApp dari nomor 0823-2959-7505 yang mengaku bernama Firman dari media Koran Sindo, Pelaku mengaku Jurnalis Terbang.
Dalam percakapannya, pelaku mengatakan
"Adek gak takut ngeshare tulisan ke media tentang aksi itu?"
"tulisannya gak terlalu memperolok hakim itu dek?"
"adek gak takut tulisan adek ada membuat pihak lain tersinggung? Nah itu dari pt arara abadi nya"
"mnding adek nya gak usah ikut dek"
"Soalnya itu perusahaan besar lo"
"Biarkan orang orang tu aja yang ikut koar"
"kasian adek nya nanti"
Setelah mengirimkan pesan ini kepada Ayu, pelaku kemudian meminta untuk menghapus postingannya terkait dengan Putusan Bongku.
Bada Isya, rumah Ayu didatangi orang tidak dikenal, Ayu sedang tidak berada di rumah, orang tersebut bertemu dengan orang tua korban dan menanyakan korban.
"Orang tersebut bertanya apakah kemarin korban hadir di Pengadilan Negeri atau tidak (pada saat putusan dibacakan). Orang tua korban mengatakan bahwa kemarin korban berada di rumah," jelas Rian.
Selain itu sekira Pukul 22.53 WIB, pelaku juga meminta kepada salah satu teman Ayu untuk menyuruh Ayu menghapus Postingannya dengan mengirimkan pesan sebagai berikut :
"disitu tentu menyalahkan kewenangan hakim mas"
"Nanti banyak yang terpancing karena ada nya aksi media itu"
Lalu, di tanggal yang sama sekira pukul 23.11 WIB, salah satu tim LBH Pekanbaru yang merupakan kuasa hukum Bongku mendapatkan Pesan WhatsApp dengan nomor yang sama dan meminta agar korban menghapus tulisannya, akan tetapi pelaku tidak mengenalkan diri.
Rabu, 20 Mei 2020 sekira Pukul 02.30 - 03.00 WIB, akun IG ayurahma__ diduga dibajak oleh oknum tersebur dan menghapus postingan/tulisan yang dimintakan oleh pelaku tadi.
"Kuat dugaan ini adalah ancaman dan intimindasi terhadap masyarakat sipil dan pembela hak asasi manusia yang menyuarakan keadilan bagi Pak Bongku dan membungkam suara suara yang menyerukan keadilan," tegas Rian.
Pelaku, dinilai Rian, ingin agar kasus Bongku senyap dan didiamkan. Hal ini tentunya akan berdampak kepada korban dan pembela hak asasi manusia lainnya yang memperjuangkan keadilan dan hak asasi manusia.
Atas perisitiwa ini, LBH menyampaikan pernyataan sikap agar seluruh oknum yang memiliki otoritas dan kepentingan terhadap kasus Bongku segera menghentikan segala bentuk intimidasi yang ditujukan kepada Ayu, Koalisi Masyarakat dan Penasihat Hukum Bongku.
LBH juga meminta kepasa Komnas HAM untuk dapat segera turun langsung melakukan investigasi terhadap intimindasi ini.
"Kita minta Kapolri melalui Polda Riau dan Polres Bengkalis untuk mengusut tuntas terkait intimidasi ini. Kepada seluruh masyarakat untuk tetap menyerukan keadilan dan mengkawal kasus intimidasi ini," tutup Rian.
Diketahui sebelumnya, Pengadilan Negeri Bengkalis menjatuhkan vonis 1 Tahun Perjara dan denda 200 Juta kepada Bongku bin alm Jelodan dibacakan melalui sidang putusan Bongku pada tanggal 18 Mei 2020.
Endah Karmila Dewi, selaku Ketua Hakim Majelis membacakan amar putusan yang pada pokoknya menjelaskan bahwa terdakwa bongku terbukti secara sah dan meyakinkan melalukan tindak pidana melakukan pengerusakan hutan, yaitu melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
Dalam pertimbangannya, hakim tidak mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, Majelis Hakim tidak mempertimbangkan keterangan ahli yang dihadirkan dipersidangan secara utuh .
Dalam persidangan penasehat hukum telah menghadirkan ahli pidana Dr. Ahmad Sofian dari Binus University. Ahli menjelaskan bahwa masyarakat adat bukanlah subjek hukum dari UUP3H. maka menjadi tidak tepat dan keliru pengenaan pasal ini terhadap Pak Bongku. berdasarkan keterangan ahli, pak Bongku bukanlah subjek hukum yang dapat dikenakan UUP3H. majelis hakim membuat putusan tanpa berdasarkan pertimbangan ahli yang jelas jelas sudah menerangkan subjek hukum dari UU yang didakwakan kepada terdakwa dipersidangan.
Kedua, Majelis Hakim tidak mempertimbangkan tujuan dari pembentukan UU P3H.
UUP3H dibentuk untuk menyasar mafia-mafia pengerusakan hutan yang terstruktur dan terorganisir yang bertujuan untuk kepentingan komersil, dalam fakta persidangan Pak Bongku melakukan perbuatan penebangan kayu tersebut hanyalah seorang diri tanpa ada yang mengorganisir dan tujuan penebangan tersebut adalah untuk bercocok tanam ubi manggalo (ubi racun). Tujuan pembentukan undang-undang ini juga sudah disampaikan oleh ahli pidana Dr. Ahmad Sofian dalam persidangan.
Ketiga, Majelis Hakim tidak mempertimbangkan Yurisprudensi dengan Perkara yang serupa.
Bahwa perkara yang serupa dengan Pak Bongku pernah diadili di Pengadilan Negeri Watansopeng dan Pengadilan Negeri Banyuwangi, dalam perkara tersebut, Terdakwa dibebaskan. Dalam pertimbangannya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Watansopeng dan Banyuwangi menyatakan bahwa unsur tidak terpenuhi karena bukan subjek yang terstrukur dan terorganisir sebagaimana dimaksud dalam UUP3H. dalam putusannya juga majelis hakim menyatakan bahwa Terorganisir adalah perbuatan yang dilakukan 2 orang atau lebih dalam waktu tertentu. Yurisprudensi ini tidak dipertimbangkan oleh hakim dalam membuat putusan . padahal yurisprudensi tersebut sudah disampaikan oleh ahli Dr, Ahmad Sofian yang juga sebagai ahli dalam perkara tersebut.
Kempat, Majelis Hakim tidak mempertimbangkan Penyelesaian sengketa antara PT. Arara Abadi dan Masyarakat Adat Sakai
Bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI pada tahun 2015 memfasilitasi dan melakukan mediasi antara masyarakat adat Sakai dengan PT Arara Abadi, hingga saat ini mediasi tersebut belum selesai. Hal ini jika Majelis Hakim tidak mempertimbangkan hal tersebut, maka putusan tersebut tidaklah menghargai dan menghormati proses penyelesaian sengketa yang sedang berjalan. Keterangan proses penyelesaian ini juga disebutkan oleh saksi safrin di persidangan, tetapi tidak dimuat dalam keterangan saksi dalam putusan majelis hakim.
Bahwa majelis hakim menyebutkan hal yang memberatkan Pak Bongku adalah Pengerusakan Hutan, bahwa pertimbangan pengerusakan hutan tersebut tidak sesuai dengan fakta persidangan, tidak ada terungkap dalam fakta persidangan baik keterangan saksi maupun terdakwa yang dapat membuktikan perbuatan tersebut adalah pengerusakan hutan. Majelis Hakim hanya membuktikan bahwa Pak Bongku tidak memiliki izin, padahal Masyarakat Adat dalam mengkelola Tanah Ulayatnya tidak perlu memiliki izin, karena sudah diatur dan dijamin dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hakim tidak memahami secara utuh maksud dari UUP3H dan tidak memahami konsep dasar secara UUP3H, hakim hanya menguji formalitas atau izin masyarakat adat, sementara kita tahu tidak ada masyarakat adat yang memiliki izin terkait tanah ulayat, hal ini terlihat dalam pertimbangannya, hakim memuat keterangan ahli dari DLHK yang seyogyanya ahli tersebut adalah ahli Planologi atau ahli ukur. Hal ini sudah ditolak pada persidangan, karena Ahli tersebut tidak berwenang memberikan keterangan terkait dengan perizinan.
Kelima, Majelis hakim tidak mempertimbangkan, menggali, mengikuti dan memahami nilai nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Meskipun dalam menjalankan profesi, hakim dalam putusannya harus bebas dan tidak melihat kekiri dan kekanan, akan tetapi, Hakim haruslah menggali, mengikuti dan memahami nilai nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan Pasal 5 ayat 1 UU No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Majelis hakim tidak mempertimbangkan Pak Bongku yang merupakan Masyarakat Adat Sakai yang kehidupannya berasal dari Hutan, Alam dan Lingkungan. Pak Bongku sebagai masyarakat adat terungkap dalam persidangan yang keterangannya diberikan oleh Saksi Ridwan selaku Batin, Saksi Syafrin, Saksi Azril dan Saksi Jummadel yang juga masyarakat adat Sakai
Bahwa majelis hakim juga tidak mempertimbangan konflik ternurial antara Perusahaan dan Masyarakat adat yang sejak perusahaan berdiri tahun 1996 hingga sampai saat ini terus saja terjadi tanpa ada penyelesaian yang berarti. Tentunya hal ini merupakan preseden buruk bagi penegakan hukum dan menutup mata keadilan serta Cita -cita pengakuan masyarakat adat semakin jauh dan sulit tercapai,
Berdasarkan hal tersebut Pembela Umum Pak Bongku yang tergabung dalam Yayasan LBH Indonesia – LBH Pekanbaru menyatakan:
- Putusan Pengadilan Negeri Bengkalis dalam perkara no: 89/Pid.B/LH/2020/PN.Bls tidak memiliki rasa keadilan.
- Akan mengajukan segala upaya hukum demi terwujudnya keadilan bagi masyarakat dan masyarakat adat.
- Melaporkan hal ini kepada Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI karena memutus tidak sesuai dengan fakta persidangan.
-Meminta pertimbangan dan rekomendasi kepada Komnas HAM dan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
-Meminta dukungan seluruh lapisan masyarakat untuk tetap mengkawal perkara ini sampai mendapatkan keadilan.