(istimewa)
Kamis, 14 November 2019 08:55 WIB
Editor: Joseph Ginting
(istimewa)
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Perwakilan Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) kabupaten dan kota serta masyarakat adat di bumi Lanca Kuning, mengadakan pertemuan awal untuk mengumpulkan informasi, dan data masyarakat hukum adat, wilayah adat dan hutan adat, di Gedung LAM Riau, Jalan Diponegoro, Rabu-Kamis, 13-14 November 2019.
Informasi dan data diperoleh selama dua hari ini, akan digunakan sebagai bahan dalam Seminar dan Lokakarya (Semiloka) di akhir November 2019 ini digelar Tim Asistensi Percepatan Pengakuan, Perlindungan dan Pemajuan Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal (Tanjak).
"Kite berharap dari pertemuan dua hari ini diperoleh data dan informasi terkait masyarakat hukum adat, hutan adat, dan wilayah adat di Riau. Alhamdulillah Pak Gubernur merespon sangat baik apa kita lakukan saat ini," kata Sekretaris Umum DPH LAM Riau, Datuk Muhammad Nasir Penyalai, Kamis, 14 November 2019.
Sebelum menggelar pertemuan awal ini, Tim Tanjak bersama Ketua DPH LAM Riau, Datuk Syahril Abubakar sudah berjumpa dengan Gubernur Syamsuar di kediaman.
Datuk Seri Setia Amanah, kata Datuk Nasir Penyalai, mendorong apa dilakukan Tim Tanjak mempercepat pengakuan hak-hak adat dimiliki masyarakat adat.
Tim ini terdiri dari berbagai komponen masyarakat, di antaranya LAM Riau, World Resources Institute (WRI), Yayasan Bahtera Alam, Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) Riau, dan Yayasan Pelopor.
Baca Juga
Sementara itu, Manager Perhutanan Sosial dan Transformasi Konflik WRI Indonesia, Rakhmat Hidayat mengatakan, di dalam Pasal 61 UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, disebutkan di ayat (1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan.
Sedangkan di ayat (2) disebutkan masyarakat hukum adat melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang.
Kemudian di ayat (3) Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Di bagian penjelasan Pasal 61 tersebut, jelas Rakhmat, masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain: masih dalam bentuk paguyuban (recht-gemeenschap); ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; ada wilayah hukum adat yang jelas; ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
"Nah di Pasal 61 ayat (2) itu yang sekarang lagi diusahakan Masyarakat Hukum Adat, adanya penetapan Peraturan Daerah mengatur subjek masyarakat hukum adat tersebut, termasuk hal berkaitan dengan adat, hutan adat," jelas Rakhmat.
Rakhmat menjelaskan, Masyarakat Hukum Adat merupakan kelompok masyarakat secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan sangat kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
"Berdasarkan telaah berbagai sumber kita lakukan, Tim Tanjak, total indikatif Hutan Adat sudah terpetakan di Provinsi Riau sekitar 32.538 Ha dengan total luas wilayah adat atau tanah ulayat sudah terpetakan sekitar 249,087 Hektar dengan kecenderungan terus bertambah dan berlanjut proses pemetaannya," jelas Rakhmat.
Ia kemudian mengungkapkan, setidaknya sudah ada 12 komunitas dan lokasi Masyarakat Hukum Adat di Riau. Paling banyak di Kabupaten Kampar, di antaraya di Kenegerian Gajah Bertalut, Batu Sanggan, Petapahan, Aur Kuning, Terusan, Kampa, Kuok-Persukuan Petopang, dan Rumbio.
Kemudian masih di Kampar, Hukum Adat Pangkalan Serai, Malako Kociak. Di Kabupaten Siak, jelasnya, Hukum Adat Penyengat, serta Suku Talang Mamak dengan 15 petalangan di Kabupaten Indragiri Hulu.
"Alhamdulillah, di Riau sudah ada dua hutan adat yang diakui serta telah ditandatangani oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2019 ini. Keduanya di Kabupaten Kampar, Hutan Adat Imbo Putui, Kenegerian Petapahan dengan luas 251 Ha, serta Hutan Adat Ghimbo Bonca Lida dan Ghimbo Pomuan Kenegerian Kampa seluas 256 Ha," ungkap Rakmat. (*)