RIAU ONLINE - Gesekan antara TNI AD dan TNI AU mulai memanas sejak akhir 1950-an dan puncaknya kala meletuanya Gerakan September Tiga Pulu (Gestapu) 1965 berujung tewasnya enam jenderal Angkatan Darat diculik oleh pasukan dipimpin Letkol Untung, dihabisi di sekitar Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah.
Malam tanggal 1 Oktober 1965, satu hari setelah penculikan dan pembunuhan para jenderal tersebut di sekitar Halim Perdanakusuma, beredar informasi Angkatan Udara kemungkinan akan mengebom markas Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) dipimpin Mayjen Soeharto.
Menurut Brigjen Supardjo, jenderal Angkatan Darat yang terlibat Gestapu ini, dialah memiliki gagasan untuk mengebom markas Kostrad. Gagasan tersebut sudah dibicarakannya dengan Panglima Angkatan Udara, Marsekal Omar Dani di Pangkalan Halim Perdanakusuma.
Di kemudian hari, seperti diceritakan Salim Haji Said dalam bukunya Gestapu 65 PKI, Aidit, Sukarno dan Soeharto, Marsekal Muda TNI Suyitno Sukirno, Panglima Komando Pertahanan Udara waktu itu, mengungkapkan adanya perintah kepadanya malam 1 Oktober 1965 tersebut, agar menyiapkan dua pesawat pengebom jenis MiG 17 untuk "menggempur mereka yang anti-Nasakom".
"Ada kemungkinan perintah itu berasal dari Leo Wattimena, malam itu selama enam jam terbang berkeliling-keliling dengan pesawat Hercules bersama Marsekal Omar Dani, sebelum akhirnya mendarat di Madiun pagi harinya," tulis Salim Haji Said.
Salim juga menceritakan, Pangkalan Udara (Lanud) Abdurrahman Saleh di Malang juga mendapat perintah mengirim pesawat pengebom ke Jakarta.
Untungnya, di tengah jalan, sebagian pesawat dari Malang itu dialihkan ke Lanud Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat, mendarat di sana. Upaya tersebut dilakukan Danlanud Husein Sastranegara, Kolonel Udara Ashadi Cahyadi.
Pesawat pengebom yang sempat mendarat di Lanud Halim, jadi sasaran pengempesan ban oleh prajurit Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), kini Kopassus, memasuki Lanud keesokan paginya.
Mendapat laporan Lanud Halim Perdanakusuma akan diserang Kostrad dan RPKAD, dari pesawat Hercules, Leo Wattimena kirim pesan keras ke Pangkostrad, Mayjen Soeharto.
Isi pesan keras dari komodor udara pemberani tersebut adalah jangan duduki Halim. "Akan kami hadapi," ancam Leo, kalau Lanud Halim Perdanakusuma diganggu, tulis Salim Haji Said, mantan wartawan Tempo tersebut.
Ancaman tersebut disesali Marsekal Omar Dani di kemudian hari sebagaimana dikemukakan Mantan Panglima Angkatan Udara (Pangau) tersebut di dalam pembelaannya di depan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub).
Di bawah perintah Pangkostrad Mayjen Soeharto, Lanud Halim Perdanakusuma diserang Kopassus. Penyerangan ini tanpa ada perlawanan dari TNI AU, karena para pimpinan AU yang ada di Lanud tersebut bertekad menghindari korban jiwa. Akhirnya, pasukan Kopassus dibiarkan masuk begitu saja.
"Tak terjadi sesuatu yang dramatis selain pengempesan ban pesawat pengebom yang terparkir di sana dan seorang bintara AU yang tertembak karena salah pengertian," kenang profesor ilmu politik tersebut.
Tulisan ini sudah naik sebelumnya dengan judul Kopassus Serang Halim Perdanakusuma Usai Terima Laporan Kostrad Bakal Dibom.