RIAU ONLINE, PEKANBARU - Ratusan prajurit TNI meninggalkan keluarga dan orang dicinta guna berjibaku di medan perang tengah membara. Bukan senjata api berisikan peluru andalan mereka, melainkan mesin air meraung-raung ditarik selang berat tiada tara.
Siang itu, mereka harus bertahan di tengah kepungan asap pekat hutan Taman Nasional Tesso Nilo, Pelalawan. Asap dengan aroma menyengat, pekat melekat ke tubuh dan menusuk hidung mengancam jiwa. Puluhan hektare gambut kering kawasan konservasi itu terbakar. Perintah atasan tidak dapat ditolak tanpa secuil alasan.
Sejak akhir Juli 2019 lalu, Riau terus membara hingga hari ini, Jumat, 9 Agustus 2019. Kota Pekanbaru, Kota Dumai, Kabupaten Siak, Bengkalis, Kepulauan Meranti, Rokan Hilir, Rokan Hulu, Pelalawan, Indragiri Hilir, dan Indragiri Hulu, merupakan daerah yang membara dihajar kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).
Jelas ini prestasi tidak membanggakan sama sekali. Prestasi terburuk sepanjang empat tahun terakhir. Usai 2015, hingga saat ini masih menjadi pengalaman pahit, sulit, bahkan tak mungkin dilupakan.
Tepat hari ini, 9 Agustus 2019, Riau kembali memperingati ulang tahun berdirinya provinsi kaya sumber daya alam itu untuk ke-62. Usia tak lagi muda untuk sebuah peradaban. Usia bahkan lebih tua dibanding negara mini tetangga, Singapura, baru menginjak 54 tahun.
Lalu apa yang dipersembahkan ke Riau diulang tahunnya kepada warganya?
Menilik setahun terakhir, nyaris tidak ada. Narkoba masih saja merajai tangga teratas topik utama media arus utama lokal. Gubernur Riau, Syamsuar, bahkan mengklaim, satu ton narkoba disita sepanjang 2019 ini.
WARGA menemukan sabu-sabu sebanyak 14 kg sabu-sabu dalam koper saat dibuang pengedar di Kabupaten Bengkalis.
Narkoba jenis sabu-sabu dan ekstasi saban hari masuk leluasa ke Negeri Melayu. Pesisir timur Riau menjadi pintu gerbang nyaman bagi bandar dan pengedar memasukkan barang haram tersebut. Mulai dari Kabupaten Rokan Hilir, Bengkalis, Kepulauan Meranti hingga kini Indragiri Hilir (Inhil).
Kini modusnya berubah, berpuluh-puluh kilogram sabu-sabu dan ribuan pil ekstasi dalam bungkusan dibuang ke jalan, berharap jaringan mengambil sambil melihat situasi, semoga tak ditemukan warga serta aparat penegak hukum. Barang tersebut diambil di tengah laut Selat Malaka, dibawa menggunakan perahu dan speed boat ke daratan.
Penyakit lainnya, korupsi juga tak kunjung berhasil dihabisi. Kanker korupsi bahkan merembet hingga desa. Tahun 2019, tak tanggung-tanggung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan tersangka untuk dua kepala daerah di Riau.
Diawali status tersangka untuk Wali Kota Dumai, Zulkifli AS. Berselang tak sampai sepekan, giliran Bupati Bengkalis, Amril Mukminin, mengikuti langkah koleganya.
Terkini, tentu saja Karhutla, dengan asap membelenggu dan membuat puluhan ribu jiwa merana. Sejatinya, Riau telah berhasil mengatasi Karhutla dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.
Masyarakat bebas menghirup udara sehat setelah periode kelam 2015. Itu bisa disebut sebuah prestasi membanggakan. Tentu berkat kerja keras TNI, Polri, dan segenap institusi yang tergabung dalam satuan tugas Karhutla Riau. Ditambah lagi, iklim dan cuaca mendukung akan itu.
Lantas di tahun shio babi tanah ini, ternyata ancaman itu datang kembali. Sejumlah pihak menilai, lambannya pemerintah dalam menangani Karhutla menjadi faktor patut diperhitungkan.
Tokoh Masyarakat Riau, Hj Azlaini Agus, SH, MH, misalnya. Ia mengkritik rangkap jabatan diemban Gubernur Riau, Syamsuar, sekaligus Komandan Satuan Tugas Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) Riau.
Sejujurnya, keberhasil Riau lepas dari belenggu asap tidak lepas dari sinergi tepat sepanjang 2016-2018 lalu. Tingkat komando Satgas, dahulunya, dipercayakan kepada komandan Komando Resor Militer (Danrem)/031 Wirabima.pPimpinan tertinggi TNI AD di Riau, membawahi ribuan prajurit perang.
Namun 2019 ini, pertama kalinya selama Satgas Karhutla dibentuk di Riau, tongkat komando langsung direbut Gubernur Riau, Syamsuar. Akibat rangkap jabatan tersebut, penanganan pemadaman dan pencegahan Karhutla di Riau, lambat, dibandingkan dijabat Danrem 031/Wira Bima (WB).
"Pada sisi lain Gubernur dan Pejabat terkait sangat lamban bergerak. Gubri jelas tidak bisa langsung menggerakkan personil TNI, sedangkan eksistensi dan peran perajurit TNI untuk menanggulangi Karhutla sangat signifikan," kata anggota DPR RI 2004-2009 ini ke RIAUONLINE.CO.ID, Selasa, 6 Agustus 2019.
Menurutnya, masyarakat harus segera mendesak Gubernur Riau, Syamsuar, untuk mengambil langkah-langkah efektif agar tidak meluasnya areal lahan terbakar.
Mantan Wakil Ketua Ombudsman Republik Indonesia ini menjelaskan, terakhir Riau dilanda kabut asap 2015, setelah itu asap relatif hilang. Kalaupun ada kebakaran lahan, itu cepat diatasi sehingga tidak menjadi bencana.
"Tahun ini, sejak akhir Juli 2019 hingga hari ini, sudah 3 pekan, Riau kembali dilanda kabut asap. Bencana asap tahun ini sudah meresahkan, karena lambatnya penanggulangan. Sementara areal lahan terbakar semakin meluas," jelasnya.
Barangkali, sikap lambat itu juga membuat Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Doni Monardo menyentil peran pejabat di Riau dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Menurutnya, pejabat harus mau turun ke lapangan.
"Harus ada kemauan keras dari pejabat daerah untuk turun ke masyarakat. Kalau perlu, tidur di lapangan," kata Doni Monardo, pekan lalu, saat berkunjung ke Riau.
Hal itu disampaikan Doni dalam rapat evaluasi penanganan karhutla Riau di Lanud Roesmin Nurjadin, Pekanbaru. Hadir pada rapat tersebut Gubernur Riau Syamsuar, Kepala Pelaksana BPBD Riau Edwar Sanger, dan unsur dari TNI-Polri tergabung di dalam Satuan Tugas (Satgas) Karhutla Riau.
KEPALA Badan Nasional Penanggulangan Bencana Bencana (BNPB), Letjen TNI Doni Munardo, berdialog dengan Gubernur Riau, Syamsuar dan Danrem 031 Wira Bima, Brigjen TNI M Fadjar, saat di Desa Sungai Tohor, Meranto, Jumat, 2 Agustus 2019.
Doni Monardo menegaskan, urusan karhutla sudah bertahun-tahun terjadi di Riau, bukan urusan pemerintah pusat semata. Ia mengatakan, BNPB sudah mengerahkan hingga 18 pesawat untuk membantu penanganan karhutla di provinsi-provinsi rawan.
Ia meminta kepala daerah lebih rajin turun ke desa-desa rawan karhutla mengidentifikasi masalah dan mencari solusi agar masyarakat meninggalkan kebiasaan membuka lahan dengan membakar hutan.
Ini perkuat juga dengan data disampaikan Ketua Komisi IV DPRD Riau, Husni Tamrin. Ia mengatakan, di APBD 2019, Pemprov Riau sama sekali tak ada menganggarkan dana untuk pencegahan Karhutla.
Bahkan, Tamrin menuding Pemprov Riau bangga jika bencana kabut asap di bumi Lancang Kuning semakin parah. Jika itu terjadi, tuturnya, maka kemudian pemerintah pusat akan menetapak status Karhutla di Riau menjadi bencana nasional. Dampaknya, gelontoran dana APBN turun ke Riau.
"Bangga Pemprov nih kalau (Karhutla) masuk bencana nasional. Makanya begini terus. Kalau Pemprov serius menangani Karhutla, di postur APBD tentu mereka anggarkan," kritik mantan anggota DPRD Pelalawan ini, Kamis, 8 Agustus 2019.
Sebabnya, pencegahan dan pemadaman karhutla menjadi sebuah keniscayaan apabila tidak ada kemauan kepala daerah untuk mengajak seluruh lapisan masyarakat meninggalkan kebiasaan membakar lahan.
Penegakan Hukum Lamban
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, Riko Kurniawan turut menyoroti lemahnya penegakan hukum pelaku pembakaran lahan.
Hingga kini Polda Riau menyatakan telah menetapkan 26 tersangka pembakar lahan. Namun, seluruh tersangka merupakan petani kecil. Tidak ada satupun perusahaan yang dimintai pertanggung jawaban, meskipun konsesi dan sekitar areal konsesi mereka tak luput dari titik api.
Bahkan, Satgas Udara Karhutla Riau, Kolonel Pnb Jajang telah melaporkan adanya lima perusahaan terindikasi lalai menjaga lahan maupun sekitar konsesi mereka. Meski, hingga kini laporan itu belum ada kemajuan sama sekali.
Riko menyoroti keberanian aparat sejauh ini masih menangkap masyarakat, sedangkan belum ada tersangka dari perusahaan. Apalagi beberapa lahan perusahaan kembali terbakar.
"PT Jatim Jaya Perkasa, PT Wahana Sawit Subur Indah (WSSI) dan banyak lagi perusahaan yang kita gugat. Artinya kan penegakan hukum tidak maksimal," tuturnya.
Ia mengakui, pemerintah sudah membuat sejumlah program pemulihan gambut salah satunya membentuk badan restorasi dan mengucurkan anggaran untuk pemulihan gambut ini.
"Restorasi ada? Ya memang ada tapi tidak maksimal. Penegakan hukum? Ada tapi tebang pilih. Programnya tidak seperti tiga tahun lalu, walaupun tiga tahun lalu itu dibantu dengan kemarau basah," ulasnya.
Kedepannya, Riko berharap pemerintah bisa tegas dengan mengaudit seluruh lahan yang terbakar baik milik perorangan maupun korporasi dan meminta pertanggungjawaban terhadap pemulihan lahan tersebut.
"Perbaikan tata kelola, baik perorangan maupun korporasi. Audit semuanya, pasti ketemu itu. Kalau tidak ada yang mengaku ambil alih sama negara. Kemudian pulihkan semuanya, sudah banyak kebijakan begitu dibuat, tapi implementasi tidak ada," tutupnya.
Jadi sah sudah, kabut asap selimuti Karhutla menyelimuti bumi Lancang Kuning serta banjir narkoba dari luar negeri menjadi kado terindah diberikan Pemerintah Provinsi Riau kepada masyarakat Riau. Salam jerebu.