RIAUONLINE - Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian melalui Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian mengeluarkan Surat Edaran yang ditujukan kepada Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), dan pimpinan perusahaan di sektor sawit.
Dua poin yang menjadi sorotan dalam surat edaran ini yaitu, Pertama, mengecualikan data HGU sebagai data yang dapat diakses oleh publik dan Kedua, bahwa untuk para pihak yang dimaksud dalam surat tersebut untuk tidak melakukan inisiatif membuat kesepakatan dengan pihak lain (konsultan, NGO, multilateral agency dan pihak asing) dalam hal pemberian data dan informasi terkait kebun sawit.
Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch mempertanyakan surat edaran yang disampaikan oleh Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
“Tidak ada dasar dari Deputi ini untuk mengeluarkan surat edaran yang disampaikan kepada DMSI, GAPKI dan Perusahaan sawit di Indonesia. Data HGU merupakan data publik yang dapat diakses oleh semua pihak dan dalam beberapa kesempatan ketika melakukan gugatan terhadap data HGU, pengadilan menyatakan bahwa HGU dapat diakses (seperti pada keputusan MA Nomor 121 K/TUN/2017)”.
“Bagaimana mungkin seorang Deputi mengeluarkan surat yang mengecualikan HGU sebagai data yang dapat diakses oleh publik. Hal ini sangat disayangkan dan mengesankan bahwa Deputi ini memiliki kewenangan yang sangat tinggi dan menafsirkan isi dalam UU, bahwa data HGU dikecualikan dari data publik, ada apa ini sebenarnya?”, tanya Inda.
Lebih lanjut Inda menyampaikan, “Ketika pemerintah memiliki komitmen yang tinggi terhadap perkebunan sawit yang berkelanjutan, seharusnya hal-hal seperti ini tidak dilakukan. Karena aspek keberlanjutan dalam sistem perkebunan sawit bukan saja terkait dengan tata kelola yang baik dan lain sebagainya, melainkan juga terkait dengan aspek keterbukaan atau transparansi”.
“Bagaimana mungkin kita memiliki komitmen berkelanjutan sedangkan data HGU yang menyangkut informasi dasar satu kebun saja tidak dapat diakses oleh publik. Bagaimana masyarakat mengetahui kalau tanah yang mereka tinggali bukan bagian dari HGU perusahaan, atau HGU yang dimiliki perusahaan tidak masuk dalam kawasan hutan. Karena bukan rahasia lagi ketika satu perusahaan kelapa sawit beroperasi, banyak tanah masyarakat yang diklaim sebagai bagian dari HGU atau kawasan hutan yang masuk dalam HGU. Karena banyak perusahaan yang melakukan usaha diluar HGU yang sudah diberikan,” tambah Inda.
Ketika hal ini terjadi, siapa yang dirugikan? Pertama masyarakat yang karena ketidaktahuan dan basis klaim dari perusahaan harus terusir dari tanah leluhur yang sudah diklaim oleh perusahaan. Kedua, negara memiliki potensi kehilangan pendapatan dari lahan yang tidak terdaftar dalam HGU dan potensi kerusakan lingkungan dan hilangnya biodiversity akibat dari melakukan usaha diluar HGU. Pemerintah tentu perlu melihat hal ini tidak seperti kata maca kuda, bahwa ketika data HGU tidak diberikan maka perkebunan sawit yang berkelanjutan dapat tercapai”, terang Inda.
Oleh karena itu, kami berpikir bahwa Deputi Koordinasi Bidang Pangan dan Pertanian sudah selayaknya menarik kembali surat tersebut dan tidak menafsirkan sendiri isi dari UU Keterbukaan Informasi ini. Perkebunan sawit yang berkelanjutan dapat tercapai jika semua pihak dapat saling mendukung dan tidak ada dusta diantara kita. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa sektor ini sebagai salah satu sektor penting dalam menunjang perekonomian negara. TETAPI bukan berarti aspek keterbukaan informasi seperti data HGU menjadi sesuatu yang tabu untuk diketahui oleh publik,” tegas Inda. (rls)