Kisah Heroik Pemuda Korea Perjuangkan Kemerdekaan Indonesia

Yang-Chil-Sung.jpg
(Merdeka.com)


RIAU ONLINE - Di tengah kegelapan malam, sekelompok orang bergerak cepat mengendap-endap mendekati Jembatan Cimanuk wilayah Garut, Jawa Barat. Pimpinannya, seorang pria bernama Komaruddin.

Komaruddin merayap dengan lincah di bawah jembatan. Dia memasang bom rakitan di sejumlah titik konstruksi jembatan yang menjadi akses penting menuju Wanaraja itu. Lantas, dengan cepat ia bergerak meninggalkan jembatan Cimanuk.

"Duaaaarrr!" ledakan keras membahana terjadi beberapa menit kemudian. Jembatan Cimanuk roboh di sungai yang mengalir di bawahnya. Kala itu pada tahun 1947.

Belanda murka luar biasa. Niat mereka menyerang basis pejuang Republik Indonesia di Wanaraja terpaksa ditunda. Rupanya rencana itu keburu ketahuan telik sandi Pasukan Pangeran Papak (PPP) yang kemudian memutuskan untuk segera menghancurkan jembatan Cimanuk untuk menghambat pergerakan pasukan Belanda.

Komaruddin alias Yang Chil Sung atau Yang Chil Seong, seorang pria yang berasal dari Korea Selatan kemudian diketahui Belanda merupakan pelaku utama penyerangan itu. Ia menjadi pelatih anggota PPP ilmu kemiliteran, mulai dari menembak, membuat bom hingga intelijen alias telik sandi.

Lantas, siapa sebenarnya Yang Chil Sung?

Yang Chil Sung lahir pada 1919 di Wanjoo, Provinsi Jeolla Utara, Korea Selatan. Kala itu, Jepang menjajah Korea. Mereka merekrut pembantu tentara Jepang (Gunsok) atau penjaga tawanan perang (horokamsiwon) dari orang-orang Korea. Ada juga yang dijadikan ilbon gunnin (tentara reguler Jepang).

"Namun jika yang menjadi gunsok atau phorakamsiwon, jumlah yang dijadikan prajurit ini tidak banyak, karena Jepang menganggap menjadi prajurit adalah tugas ksatria dan sesuatu yang suci," kata Rostineu, dosen Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), seperti melansir merdeka.com, Minggu, 28 Oktober 2018.

Di tubuh tentara Jepang, prajurit yang berasal dari daerah jajahan seperti Korea, Manchuria atau Taiwan, menjadi warga kelas dua. Sedikit saja melakukan kesalahan, hukuman berat menanti.

Chil Sung, tercatat sebagai seorang penjaga tawanan perang (phrokamsiwon). Ia bertanggungjawab menjaga camp tawanan di Bandung saat Jepang menguasai Nusantara tahun 1942.

Yang Chil Sung (merdeka.com)

Namun Rostineu, tidak yakin bahwa Chil Sung hanya seorang penjaga tawanan jika mengingat kemampuan militernya yang luar biasa. Militer Jepang tidak akan mengajadari seorang penjaga tawanan biasa untuk merakit bom, perang gerilya dan intelijen.

"Dugaan saya, dia ini sebenarnya tentara Jepang. Hanya karena kebanyakan orang Korea menjadi penjaga tawanan perang maka dia diduga menjadi phorakamsiwon," kata Rostineu.



Pada 1945, Jepang kalah perang. Pasukan Jepang wajib menyerahkan senjata pada tentara sekutu. Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia kembali datang ke Nusantara.

Situasi menjadi tidak menentu. Sejumlah tentara Korea resah dengan keadaan ini. Di satu sisi mereka senang terbebas dari Jepang. Namun, mereka juga takut akan disamakan dengan tentara Jepang dan dieksekusi sebagai tawanan perang oleh sekutu. Chil Sung pun mengalami kegalauan serupa.

Kekalahan Jepang dimanfaatkan Indonesia untuk memprokamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Para pemuda berusaha merebut senjata dari tentara Jepang yang tersisa.

Pada 1946, PPP di bawah pimpinan Kosasih menyerang Bandung. Lima orang tentara Jepang berhasil ditawan dalam sebuah pertempuran. Semula mereka semua hendak diekskusi mati, namun Mayor Kosasih mencegahnya. Salah satunya adalah Yang Chil Sung.

"Mayor Kosasih mungkin mendapat firasat jika kelima orang ini akan berguna untuk membantu perjuangan mereka. Dan kelak hal itu terbukti," kata Hendi Jo, jurnalis sejarah dan penulis buku Orang-orang di Garis Depan.

Kelima orang itu dibawa ke basis gerilya di Wanaraja dan diperlakukan dengan baik. Timbulah rasa simpati deri mereka terhadap perjuangan Indonesia. Terlebih, Chil Sung juga merasakan penjajahan oleh Jepang.

"Suatu hari mereka bahkan menyatakan ingin masuk Islam. Maka mereka mengucapkan kalimah syahadat dan nama mereka diganti oleh seorang ulama, Raden Djajadiwangsa, yang juga penasihat pasukan ini," kata Hendi Jo.

Jadilah Yang Chil Sung sebagai Komaruddin, Hasegawa menjadi Abu Bakar, Aoki jadi Usman. Dua lagi orang Jepang lagi dipanggil Umar dan Ali. Menurut Hendi, Raden Djajadiwangsa memberikan nama berdasarkan karakter dari tiap-tiap tentara Jepang ini.

Di Pasukan Pangeran Papak, Komaruddin alias Chil Sung mendapat pangkat letnan dua. Dia melatih pasukan gerilya aneka teknik bertempur. Keberanian dan kemampuan Chil Sung membuat orang-orang kagum.

Setelah eks tentara Jepang ini bergabung, kesatuan PPP menjadi sangat berbahaya. Aneka serangan maut dan sabotase yang dilakukan secara gerilya membuat Belanda kewalahan. Termasuk soal penghancuran jembatan Cimanuk yang memporak-porandakan rencana Belanda. Belanda pun murka dan berusaha menangkap mereka hidup atau mati.

Tak tanggung-tanggung, Belanda membentuk satu tim elite berisi pasukan pilihan khusus untuk memburu Komaruddin dkk. Mereka terus bergerak menjepit kedudukan PPP.

Suatu malam pada Agustus 1948, PPP menggelar pertemuan di Desa Parentas yang merupakan wilayah kaki Gunung Dora di perbatasan Garut-Tasikmalaya. Abubakar, Usman dan Komaruddin, turut hadir.

"Mereka tak sadar pasukan Belanda sudah mengepung rapat tempat itu. Ada anggota Pasukan Pangeran Papak yang berkhianat dan menjadi kaki tangan Belanda," kata Hendi Jo.

Rentetan tembakan langsung menyalak, gerilyawan RI mencoba bertahan. Namun mereka sadar sudah tak mungkin meloloskan diri. Komaruddin, Abubakar dan Usman terpaksa menyerah.

Lantas, militer Belanda membuat pengadilan militer kilat. Hasilnya, Komaruddin, Usman, dan Abubakar divonis hukuman mati. Ketiganya menerima vonis dengan gagah berani.

"Mereka hanya minta dimakamkan secara Islam ketika meninggal. Permintaan itu dipenuhi Belanda," kata Hendi Jo.

Selasa 10 Agustus 1948, selepas subuh ketiganya dibawa ke Lapangan Kerkhoff yang terletak di seberang Sungai Cimanuk. Semuanya menggunakan baju koko dan kopiah.

Tepat pukul 06.00 pagi, rentetan tembakan terdengar. Komaruddin, Usman, dan Abubakar ambruk ke tanah. Sebelum meninggal mereka sempat berteriak "Merdeka!"

Pengorbanan dan keyakinan perjuangan yang mereka bawa sampai mati.

Jasad Abubakar (Hasegawa), Usman (Aoki) dan Komaruddin (Yang Chil Sung) dikebumikan di Pemakaman Pasirpogor. 27 tahun kemudian, kerangka mereka dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Tenjolaya, Garut.

"Ini sebuah kisah yang sangat mengharukan, sangat inspiratif, bahwa kemerdekaan Indonesia ternyata diperjuangkan oleh orang-orang dari bangsa lain juga. Sudah sepantasnya jika Komaruddin dkk ini menjadi pahlawan," tutup Hendi Jo.