Oleh: Miftah N. Sabri
Ketua Rumah Djoeang Riau
SEBANYAK 12 Kepala Daerah di Provinsi Riau mendukung Pak Jokowi. Selusin kepala menyatakan dukungan tertulis. Seorang di antara kepala daerah di dalamnya adalah Pak Syamsuar, Gubernur terpilih dan Bang Edy Natar, Wakil Gubernur terpilih, ikut membubuhkan tanda tangan dukungan.
Saya kekurangan informasi apa dasar pemikiran dukungan itu. Saya hanya menerima seliweran foto dan captured dokumen tanda tangan dukungan. Entah asli entah tidak, saya tidak tahu. Tapi tampaknya asli.
Saya telepon Pak Syam, Gubernur Riau terpilih, seseorang yang sangat saya hormati, saya tuakan, namun tidak diangkat. Saya Whatsapp (WA) hanya dibaca, centang biru. Tak berbalas.
Biasanya, kalau ditelepon dengan ramah, Bapak Riau itu mengangkatnya. Dengan senang hati dibalas jika berkirim WA. Sekarang berbeda. Lain dulu, lain sekarang. Tapi begitulah pula. Time flies, people change. Waktu berlalu, orang bisa berubah.
Saya kejar ke orang-orang sekitarnya yang ia percaya. Semua bisu, semua kelu. Saya tersentak.
"Kita tidak tahu bang."
"Kami juga kaget."
"Hanya Bapak yang tahu."
Saya telepon dan tanya ketua harian pemenangan Pak Syam saat maju gubernur lalu. Tokoh kita itupun membisu. Kehabisan kata-kata.
***
Pak Syamsuar didukung oleh PAN, PKS, dan Partai Nasdem. Penyokong utamanya adalah PAN. Bahkan Pak Syam pernah memperlihatkan kepada saya kartu keanggotaan PAN-nya. Ketika itu perlihatkan langsung di depan Bang Zulkifli Hasan (Zulhas), Ketua Umum PAN, juga Ketua MPR RI. Meskipun dulu Pak Syam Ketua DPD II Golkar Siak, tapi sekarang tidak lagi.
Dalam Pilpres kali ini, PAN, PKS, dan Gerindra mendukug Prabowo-Sandi. Kebijakan di Koalisi Prabowo-Sandi menyatakan, kepala daerah berasal dari partai pendukung *dilarang* menjadi timses pasangan Nomor 02 ini. Mereka diminta fokus bekerja melayani masyarakat.
Ketika itu diumumkan, saya berpikiran baik juga adanya. Saya dan beberapa ketua partai di Riau, bahkan sempat berpikir hendak mendaulat Pak Syamsuar, sebagai ketua tim koalisi di daerah. Namun karena ini kebijakan pimpinan di Pusat, maka kami di posisi patuh pada garis ini.
Jika saya jadi Pak Syamsuar. Saya akan lega. Saya akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya menuju pelantikan Gubernur Riau, diperkirakan Maret 2019 mendatang. Tidak ada beban pun, tidak ada juga kewajiban. Tapi itu pulalah sayangnya, Pak Syamsuar bukan saya.
Bak petir di siang bolong, Pak Syam yang kami hormati dan sayangi, "putar haluan" mengambil langkah kuda tak pernah kami bayangkan sebelumnya. Mengumumkan dukungan terbuka kepada petahana yang justru bukan lagi bagian tempat partainya bernaung. Turut serta pula Irwan Nasir, Bupati Kepulauan Meranti, Ketua DPW PAN Riau. Setali tiga uang.
Tak ada jawaban pasti, tidak ada rapat pendahuluan, juga nihil penjelasan. Langkah kuda ini tanpa kabar berita.
Banyak muncul spekulasi, namun saya bukan orang yang senang dengan spekulasi. Apalagi bermakna konotatif. Biarlah itu menjadi wilayah pribadi Pak Syamsuar.
Pak Syamsuar adalah tokoh politik senior di Riau, Bupati sangat hebat saat ini. Tapi, tanpa adanya relawan pendukung dan rakyat berbondong -bondong sukarela mendukung Pak Syam dalam Pilgub 27 Juni 2018 lalu, Bupati Syamsuar takkan lah berganti menjadi Gubernur Syamsuar. Tentunya dengan izin Allah.
Warga Riau mendaulat Pak Syam menjadi Gubernur bukan untuk memberikan dukungan kepada Pak Jokowi ataupun Pak Prabowo. Tapi untuk melayani rakyat, bukan melayani elite.
Memang gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah. Tapi secara kelembagaan, bukan secara pribadi. Pak Syam bukan wakil Pak Jokowi di Riau. Pak Syam adalah wakil pemerintah pusat di Riau. Siapapun presiden terpilih secara demokratis.
Pak Syam punya hitung-hitungan tersendiri. Rakyat punya matematika tersendiri. Kita sama-sama mendokan Pak Syam kuat dan tabah menjalani amanah tersisa. Menyambut amanah baru. Pak Syam dan rakyat Riau sekarang masuk ke dalam kompleksitas politik. Agak sedikit rumit.
***
Ada yang WhatsApp saya. "Pak Syam offside ini, atau jangan-jangan gol bunuh diri?"
Saya jawab ini offside. Kawan tersebut menimpali, "Offside jika petahana terpilih lagi, tapi jika Pak Prabowo terpilih, maka ini namanya Gol Bunuh Diri,".
Saya jawab. Pak Prabowo mah gini-gini biasa. Beliau tidak akan mendendam. Dikhianati udah biasa. Memaafkan lebih utama. There is no room for personal feeling in Politcs, yang ada hanya room untuk people welfare, kesejahteraan masyarakat, ruang untuk tercapainya sila Ke-5 Pancasila.
***
Pak Syam yang kami sayangi.
Tercampur aduk perasaan saya melihat foto Bapak ada di sana. Perasaan saya seperti Bapak sedang tidak berada di rumah sendiri. Awkward bahasa Panam-nya. Kurang renyah senyuman. Tak seperti senyuman khas Bapak saat ini saya pernah lihat. Mungkin Bapak kurang enak badan. Saya doakan Bapak cepat sembuh.
Tentunya teman-teman yang di sisi Koalisi petahana, riang gembira. Sebaliknya, di sini agak sedikit mendung. Tapi apa mau dikata. Inilah hidup. Tak bisa bikin semua gembira.
Kami semua mendoakan yang terbaik untuk Pak Syam. Dan khususnya Saya, gapapa. Biasa aja. Bapak di sana dan kami di sini. Tidak ada yang berubah di antara kita.
Tinggi-tinggi terbang nya bangau. Pulangnya ke kubangan jua. Sejauh-jauh Pak Syam terbang, pulangnya kan makan padi jua...
Cinta dan sayang kita pada Pak Syam tampaknya sedang diuji. Ikhlas atau tidak. Jika betul-betul sayang dan cinta, kita harus mendoakan serta membantu Pak Syam dan tim transisi untuk bekerja sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat Riau, tanpa terkecuali.
Siapapun itu. Baik rakyat pendukung Pak Jokowi-Ma'ruf. Maupun pendukung Pak Prabowo-Sandi. Dan rakyat Riau tidak mendukung siapa-siapa. Itu lebih baik.
Salam sayang untuk Pak Syam. Salam Indonesia Raya untuk semua. Salam cinta untuk Prabowo-Sandi. Salam Goyang Dua Jari.