RIAU ONLINE - Enam jenderal dan seorang perwira TNI AD menjadi korban penculikan dan pembunuhan pada 30 September pada 30 September 1965, yang dikenal sebagai gerakan G30S/PKI.
Namun, dalam waktu singkat gerakan ini berhasil ditumpas. Kala itu di bawah pimpinan Mayjen Soeharto, pasukan yang terdiri dari Kostrad dan RPKAD mencerai-beraikan kekuatan militer pendukung G30S/PKI pimpinan Letkol Untung.
Hanya dalam waktu 24 jam, Soeharto telah memutarbalikkan situasi. Berikut fakta-fakta di balik peristiwa G30S/PKI, seperti dilansir dari Liputan6.com, jaringan RIAUONLINE.CO.ID, Jumat, 28 September 2018:
Sempat tersiar kabar bahwa pasukan G30S/PKI berkekuatan lengkap. Satu batalyon Cakrabirawa, satu batalyon dari Brigif I Kodam Jaya, satu batalyon Pasukan Gerak Tjepat (PGT) dan Pasukan Pertahanan Pangkalan (PPP). Ditambah Batalyon 530 Raiders Jawa Timur dan Batalyon 454 Raiders dari Jawa Tengah.
Kemudian ada 2.000 sukarelawan yang dilatih PKI di Lubang Buaya. Sekadar catatan, satu batalyon umumnya berkekuatan 500-700 orang.
Namun, faktanya hanya ada sekitar satu kompi Cakrabirawa berkekuatan 60 orang yang ikut. Dari Brigif I juga hanya 60. Sementara dari PPP ada 700 personel, sementara PGT tak ada. Yang cukup banyak adalah Batalyon 530 dan 454. Dua pasukan elite ini berkekuatan masing-masing 500 orang.
Pasukan yang datang ternyata tidak sesuai harapan, sehingga Letkol Untung harus membagi tiga pasukannya. Pasukan Pasopati (Cakrabirawa dan Brigif) bertugas menculik para jenderal, Bimasakti (Yon 454 dan Yon 530) bertugas mengawal kawasan Monas dan merebut RRI serta Telkom. Lalu pasukan Gatotkaca yang menjaga Lubang Buaya (Terdiri dari PPP dan sukarelawan).
Kekalahan Untung cs karena buruknya perencanaan. Saat Presiden Soekarno memerintahkan Brigjen Soepardjo (Wakil Letkol Untung) untuk menghentikan kegiatan, Soepardjo dan pimpinan lain setuju. Gerakan ini pun bingung karena tidak punya rencana B alias cadangan.
Selain itu, tidak jelas pula siapa yang memegang komando. Brigjen Soepardjo dan Kolonel Latief yang pangkatnya lebih tinggi, justru menjadi wakil Untung. Belum lagi pengaruh Sjam dan Pono, dua orang dari Biro Khusus PKI.
"Rencana operasinya ternyata tidak jelas. Terlalu dangkal. Titik berat hanya pada pengambilan tujuh jenderal saja. Bagaimana kemudian bila berhasil tidak jelas. Kalau gagal juga tidak jelas," tulis Soepardjo seperti dikutip John Roosa dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto.
Soal logistik juga menjadi satu kesalahan fatal lainnya. Letkol Untung kehilangna banyak pasukannya gara-gara nasi bungkus. Pasukan Bimasakti yang terdiri dari Yon 530 dan Yon 454 berjaga sehari penuh di Lapang Monas. Tapi, tak ada yang mencukupi kebutuhan mereka.
Pada 1 Oktober 1965, pasukan itu tak diberi makan dari pagi hingga petang. Maka saat Soeharto mengutus utusannya untuk membujuk Yon 530 agar kembali ke Kostrad itu dipenuhi.
"Masuk berita lagi bahwa pasukan sendiri dari Yon Jateng dan Yon Jatim tidak mendapat makanan. Kemudian menyusul berita Yon Jatim minta makan ke Kostrad. Penjagaan ditinggalkan begitu saja."
"Semua Kemacetan gerakan pasukan disebabkan di antaranya tidak ada makanan. Mereka tidak makan semenjak pagi, siang, dan malam. Hal ini baru diketahui pada malam hari ketika ada gagasan untuk dikerahkan menyerang ke dalam kota," kata Supardjo.
Tapi terlambat. Yon 530 sudah bergabung dengan Kostrad dan Yon 454 sudah berada di sekitar Halim. Tak mungkin lagi memerintahkan mereka menyerang.
Artikel ini sudah tayang di Liputan6.com, dengan judul 3 Fakta di Balik Penumpasan G30S PKI
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE
Follow Twitter @red_riauonline
Subscribe Channel Youtube Riau Online,
Follow Instagram riauonline.co.id