Setegar Batu Karang, Perjuangan Ibu untuk Anak Penderita Rubella

Komunitas-Anakku-Sayang.jpg
(RIAUONLINE.CO.ID/AZHAR SAPUTRA)


RIAU ONLINE, PEKANBARU - Ibu mana yang ingin anaknya terlahir di atas dunia dengan kondisi tidak sempurna? Namun, Poppi Morina pantang menyerah ketika sang anak divonis terinfeksi penyakit campak rubella.

Sang anak kesayangan menderita tuli yang didiagnosa oleh dokter dengan gangguan pendengaran mencapai 110 desibel (dB) kiri dan kanan atau masyarakat sering menyebut tuli (deaf: > 90 dB).

"Saya memiliki satu orang anak yang kami nanti-nantikan, cintai, ditakdirkan terlahir tuli. Kenyataannya tuli itu takdir bagi dirinya," ucap Poppi Morina berusaha tegar, Senin, 10 September 2018.

Poppi yang merupakan seorang tenaga pendidik itu tak pernah menyangka virus mengerikan yang menyerang tubuhnya tersebut menjadi cikal bakal petaka bagi keluarga kecilnya. Betapa tidak, virus yang semula menyerangnya berpindah dan bersarang dalam tubuh buah hatinya. Bermula dari sang jaban bayi baru berusia dua bulan.

"Ceritanya saat hamil saya masih bekerja aktif di salah satu SD swasta Islam Terpadu (IT) dimana kondisi kelas tertutup. Hanya ada AC yang non stop, tidak ada sirkulasi udara yang baik dengan kenyataan, salah seorang murid saya baru sembuh dari penyakit yang dideritanya, campak. Dimana anak itu mulai belajar setelah satu minggu izin," Poppi berkisah.

Sebagai seorang tenaga pendidik mengharuskannya mau tidak mau harus melakukan kontak fisik dengan anak yang baru sembuh dari penyakit campak, bercanda gurau sampai memberikan motivasi kepada anak muridnya itu.

"Tiga hari setelah itu saya demam, muncul ruam merah di tubuh, nyeri sendi sampai mimisan. Tanpa tunggu dan menghawatirkan anak yang ada dalam kandungan, saya langsung ke dokter," katanya sambil memegang pelantang.

Tak lama berada dalam pengawasan dokter spesialis kandungan, dokter saat itu memvonis Poppi menderita rubella. Dokter yang merawatnya menjelas ada risiko yang harus ditanggung Poppi begitu melahirkan anaknya ke dunia.

"Karena secara fiksinya janin saya itu normal, maka saat itu tidak ada opsi untuk menggugurkannya. Akhirnya saya dan suami mengucapkan Bismilah bahwa anak yang kami tunggu-tunggu harus dilahirkan," ucapnya.

Sang anak lahir dengan kondisi normal sehingga menghilangkan kekhawatiran Poppi dengan ucapan dokter terkait risiko penyakit rubelle. Hingga sang anak menginjak usia dua bulan, Poppi baru menyadari bahwa buah hatinya tak bisa mendengar.

"Setelah lahiran dan berusia dua bulan, saya ngeh (tak menghiraukan) bahwa dia ternyata tuli. Karena apa, dia tidak merespon kerincingan saat saya goyangkan. Saya dengarkan musik dia cuek. Sampai akhirnya, tetangga saya menyentil saya dengan kata-kata Akil (panggilan anaknya) dibilang sombong. saat itu juga saya bergegas ke tempat lahiran saya di Awal Bros (nama rumah sakit)," sambungnya.

Poppi tak mendapatkan apa-apa karena rumah Poppi tidak mendapatkan apa-apa karena rumah sakit ini tidak dilengkapi dengan alat Oto Acoustic Emission (OAE) yang memadai. Kemudian, Poppi dirujuk ke rumah sakit pertama, yang berada tidak jauh dari rumah sakit semula dan memiliki alat OAE, untuk memeriksa gendang telinga pada anaknya.



"Dokternya bilang belum punya screening lengkap untuk anak seusianya. Saat itu di tahun 2012 hanya ada satu dokter yang punya OAE itu di Pekanbaru. Yaitu di Eria Bunda sehingga langsung keluar hasilnya. Maka dinyatakanlah bahwa telinganya rusak kiri dan kanan," lanjutnya.

Poppi yang berusaha tegar, atas saran dokter ia memutuskan untuk terbang ke Jakarta menuju Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. Sang anak yang kerap disapa Akil itu, terpaksa memakai alat bantu pendengaran saat usianya masih sangat kecil.

Tak cukup sampai di situ, kesedihan Poppi semakin bertambah ketika sang anak juga divonis menderita kerusakan pada kedua bola matanya.

"Saat itu saya disuruh ke Jakarta dimana kita putuskan menuju RSCM dengan pemeriksaan yang lengkap seperti pemeriksaan mata, teling, jantung, otak dan saraf. Telinganya ternyata 110 dB kiri dan kanan bahkan beberapa frekuensi tinggi dia lose," lanjutnya.

"Dalam artian mesinnya itu tidak lagi menangkap respon yang diberikan oleh saraf pendengarannya sampai di frekuensi tinggi sekalipun. Dan akhirnya menggunakan alat bantu dengar. Matanya juga seperti itu. Dimana harus menderita minus di usia satu tahun enam bulan," ucapnya menghela nafas.

Kondisi ini tak serta merta membuat Poppi merenungi nasibnya. Berbekal tabungan yang ada, Poppi harus bolak balik setiap enam bulan sekali untuk memeriksakan penyakit anaknya. Karena, Rubella juga dapat menyebabkan katarak pada mata hingga dinyatakan terbebas oleh dokter dari pengaburan pada kedua lensa mata.

Setelah mendapatkan alat bantu pendengaran, cobaan yang diterima oleh Poppi silih berganti seperti gerakan arah jarum jam. 60 detik untuk setiap menitnya. Atau 86.400 detik jika berada pada menit ke 1440.

Akil tidak terbiasa dengan alat bantu yang dipasangkan pada tubuhnya. Ia bahkan berusaha keras untuk melepaskan alat yang dibanderol dengan harga mencapai Rp 85 juta untuk setiap satu telinga. Sedikit lebih murah jika sang anak hanya menderita gangguan pendengaran diangka 90 dB karena harga alatnya untuk setiap pasangnya Rp 15 juta untuk 5 tahun, disarankan ganti sebelum usia pakai 4 tahun).

"Meskipun dia menggunakan alat bantu dengar, tidak langsung bisa mendengar sama seperti kita. Kemudian ditambah lagi dianya tidak nyaman. Yang dia tahu dunia ini adalah sunyi. Dia lempar itu alat sampai pecah. saya sampai menangis mengumpulkannya satu per satu. Itu alatnya saja Rp 85 juta dengan tipe paling rendah untuk satu telinga. kalau kiri-kanan sudah berapa? Tapi jika masih berada di atas 90 dB harganya Rp 15 juta dengan penggunaan lima tahun disarankan sebelum empat tahun sudah harus diganti. Walaupun tidak pernah rusak," jelasnya.

Karena otaknya tidak pernah menerima suara saat berada dalam kandungan, Akil juga harus menerima terapi yang membutuhkan biaya tidak sedikit. Auditory Verbal Teraphy (AVT) menjadi pilihan utama Poppy, karena metodenya yang mampu diserap dengan cepat oleh otak. Dimana, dihargai untuk setiap terapi Rp 350 ribu setiap satu jamnya, saat anaknya kecil.

"Itu kalau di Jakarta. Jika di Pekanbaru Rp 3.500.000 untuk 12 kali pertemuan (harga terbaru). Karena otaknya masih kosong tidak seperti anak normal yang saat dikandungan ibunya sudah menangkap suara. Terapi itu berguna untuk memasukkan perbendaharaan suara dalam otaknya. Karena telinga hanya sebatas mengantarkan saja," ucapnya mantap.

Tidak ada tempat untuk berbagi, Poppy memutuskan untuk membuat sebuah komunitas yang hanya diperuntukan untuk berbagi ilmu dan pengalaman bagi para orangtua yang anak pengguna alat bantu dengar. Dan lambat laun komunitas ini terus berkembang.

Akhirnya terbentuklah komunitas Anakku Sayang, dimana kini telah memiliki anggota sebanyak 104 orang yang tersebar hampir mencapai 12 kabupaten dan kota yang ada di Provinsi Riau.

"Awalnya komunitas ini untuk pengguna alat bantu dengar. Ternyata makin lama makin banyak. Saat itu kami hanya berlima yang ada di Pekanbaru kemudian sampai ke daerah lainnya," jelasnya.

Lahirnya komunitas ini banyak membantu para orangtua yang merasa kesulitan memulai tindakan seperti apa yang terbaik bagi sang buah hati. Mereka banyak mendapatkan ilmu yang benar-benar bermanfaat.

"Seperti anak saya kan yang pertama bersekolah di tempat anak-anak normal. Bagi orang tua yang baru dan bingung, di komunitas ini kita saling berbagi. Kegiatannya juga memang tidak ada yang menetap pasti. Ada yang di rumah saya, pinjam ruangan sekolah atau bahkan menyewa tempat. Kita disana berdiskusi lah. Kenapa kami seperti ini (membuka diri) supaya masyarakat dapat teredukasi. Penyakit ini bisa kita hentikan dengan program imunisasi kok. Jangan juga ada kata-kata kami ini ingin dikasihani kenapa kami harus membuka diri. Tidak seperti itu, kami yakin bahwa kami mampu," tutupnya.

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE 

Follow Twitter @red_riauonline

Subscribe Channel Youtube Riau Online

Follow Instagram riauonline.co.id