RIAU ONLINE - Tujuh bulan usai dilantik, Presiden Joko Widodo segera menyambangi Lembaga Permasyarakatan Abepura di Papua untuk memberikan grasi bagi lima tahanan politik dan menggariskan arah kebijakan pemerintah untuk sisa masa jabatannya.
"Ini adalah langkah awal. Sesudah ini akan diupayakan pembebasan para tahanan lain di daerah lain juga," kata dia melansir DW Indonesia, Rabu, 20 Juni 2018.
Presiden Joko Widodo sejak awal berjanji memulangkan semua tahanan politik yang didakwa lewat pasal makar. Tapi hingga kini masih banyak tapol yang dibui, termasuk Fredy Akihary yang menutup usia di penjara.
Kematian Fredy Akihary, kelompok pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang meninggal di sebuah rumah sakit di Sidoarjo, Senin, 18 Juni 2018, dan masih berstatus tahanan kembali mengingatkan kejadian pada 2015 itu. Fredy divonis penjara selama 15 tahun pada 2004 silam lantaran ikut serta dalam upacara bendera untuk memperingati 54 tahun berdirinya RMS.
"Sudah setahun ini dia diberitahukan akan bebas," kata pegiat HAM Andreas Harsono yang sempat menemui almarhum. "Seharusnya dia dibebaskan karena sudah menjalani dua pertiga masa hukuman dengan kelakuan baik," imbuhnya. Namun, Fredy meninggal dunia di penjara.
Selain Fredy, masih ada sekitar 29 tahanan politik (tapol) lagi di Indonesia. Tiga orang mendekam di penjara Porong, Sidoarjo, enam tapol di Nusakambangan, 10 di penjara di Papua dan 10 orang lainnya di Ambon.
"Mereka semua tidak terlibat kekerasan. Mereka hanya menari atau menaikkan bendera. Mereka tidak membawa senjata, tidak mengebom atau memukul orang. Mereka hanya melakukan protes menyuarakan aspirasi politik dengan cara damai," kata Andreas.
"Pasal makar", yaitu Pasal 106 dan 110 KUHP, biasanya digunakan pemerintah untuk memenjarakan aktivis separatisme, meski hanya melakukan aksi demontrasi secara damai. Banyak yang dipidanakan karena mengibarkan bendera atau simbol-simbol lainnya.
Sayangnya, salah satu kebijakan lunak Presiden Jokowi adalah minimnya dukungan dari DPR. Saat ini saatu-satunya jalan bagi presiden untuk memulangkan semua tahanan politik dengan memberikan remisi atau grasi yang menyaratkan terpidana mengakui kesalahannya.
Namun, menurut Andreas, ini menjadi pokok permasalahan. "Karena mereka tidak merasa bersalah dan mereka bukan orang berada. Satu-satunya yang mereka punya adalah harga diri," ujarnya.
Kebanyakan tapol menginginkan agar pemerintah memberikan amnesi atau abolisi yang membebaskan terpidana dari semua bentuk kesalahan. Namun, hanya DPR yang berhak memberikan pengampunan itu.
"DPR tidak menjawab permintaan presiden, dari bulan Mei 2015 sampai sekarang. Sehingga opsi yang dimiliki cuma pengurangan masa hukuman," katanya.
Organisasi HAM, Human Rights Watch (HRW), pernah merangkum hal ini dalam kritiknya terhadap kebijakan pemerintah Indonesia di Papua. Menurut organisasi yang bermarkas di New York tersebut, penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat keamanan terhadap simpatisan Papua Merdeka menciptakan serangkaian kasus pelanggaran Hak Azasi Manusia.
Presiden Jokowi tidak berdiam diri. Pada 2016 silam dia membentuk tim terpadu untuk menangani dugaan lebih dari selusin pelanggaran hak asasi manusia paling serius di Papua. Namun HRW mengeluhkan tim tersebut tidak diberikan "kekuasaan dan pendanaan memadai" untuk bisa bekerja secara layak.
Tim terpadu ini masa tugasnya sempat diperpanjang pada 2017 lalu oleh Menteri Koordinator Hukum dan Keamanan, Wiranto. Tapi kini, tim tersebut tidak lagi terdengar sepak terjangnya.
Andreas pun mendesak pemerintah melanjutkan kebijakan dialog di Papua dan mulai menanggalkan pendekatan keamanan lewat TNI dan Polri. Menurutnya kebijakan selama ini hanya memperparah situasi. "Sebagai masyarakat dan sebagai sebuah kebudayaan, Papua sedang sekarat," kata dia.