RIAU ONLINE, PEKANBARU - Sidang lanjutan dugaan korupsi pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Tunjuk Ajar Integritas mengungkap fakta baru. Ditemukan banyak kejanggalan dalam proyek, termasuk tidak ditetapkannya Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) sebagai tersangka kasus tersebut.
Pekerjaan proyek dari awal sudah terjadi kongkalingkong antara pihak Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Sumber Daya Air (Ciptada) Riau, dengan kontraktor. Hal itu terungkap dari keterangan lima orang saksi Kelompok Kerja (Pokja) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) saat persidangan dengan terdakwa Kepala Dinas Ciptada, Dwi Agus Sumarno, kontraktor Yuliana J Baskoro dan konsultan pengawas, Rinaldi Mugni, Kamis, 3 Mei 2018.
Ketua Pokja, Ikhwan Sunardi, mengatakan, saat proses lelang dirinya sudah diberitahu oleh Dwi Agus kalau proyek dimenangkan oleh PT Bumi Riau Lestari (BRL). Namun, dalam perjalanannya proyek tersebut dikerjakan oleh kontraktor Yuliana J Baskoro.
Padahal PT BRL tidak memenuhi kualifikasi ikut dalam tender kegiatan. Selain itu, pada perencanaan awal juga diintruksikan oleh Gubernur Riau non aktif, Arsyadjuliandi Rachman kepada terdakwa Dwi Agus dan PPTK Armansyah, dan PPK, Yusrizal.
"Laporan perencanaan dilaporkan PPTK langsung ke Pak Dwi tanpa melalui KPA nya, Pak Ariyanto Rab. Selain itu, Pak Dwi juga sarankan kepada saya kalau yang kerjakan proyek nanti Yuliana," kata Ikhwan di persidangan yang dipimpin hakim Bambang Myanto.
Mendengar keganjilan itu, hakim anggota Khamazaro Waruwu langsung menanyakan pekerjaan kepada Yusrizal.
"Tadinya PT BRL tidak memenuhi kualifikasi teknis lalu Ihwan Sunardi memanggil saudara?" kata Waruwu kepada Yusrizal.
Atas keanehan-keanehan tersebut, Waruwu mempertanyakan permainan di proyek tersebut.
"Ada apa dengan hantu belawu (kesepakatan, red) di sana itu? Atau memang praktek kotor berlaku terus di dinas PU Riau itu? Ini proyek sudah banyak akal-akalannya. Para Pokja jadi tersangka, PPK juga tapi kenapa PPTK tidak. Jaksa ini harus jadi perhatian, penyidik diminta jadikan PPTK tersangka," tegas Waruwu.
Dalam proyek ini, pertanggungjawaban harusnya tidak hanya dibebankan kepada para panitia lelang dan Kadis Ciptada saja. "Gubernur juga harusnya bertanggungjawab," kata Waruwu.
Waruwu menyatakan seharusnya komunikasi ULP dengan PPK seharusnya tidak diperbolehkan. Dia mencurigai kalau proyek di Dinas PU Riau ada kongkalingkong. "Apa semua paket lelang di PU seperti itu," tanya Waruwu.
Saksi Yusrizal menjawab tidak tahu akan praktek seperti itu berlaku di Dinas PU Provinsi Riau. "Saya tidak tahu," jawabnya.
Waruwu juga mencecar saksi Hariyanto selaku Sekretaris Kelompok Kerja (Pokja) pembangunan RTH Tunjuk Ajar.
"Kalau memang standard nya tidak terpenuhi ya coret gugur, lalu kenapa harus koordinasi dengan PPK?" tanya Waruwu.
Pertanyaan itu membuat saksi Hariyanto terdiam. Waruwu juga mempertanyakan kenapa proyek bobrok tersebut diloloskan. "Kenapa dipaksakan harus diloloskan. Jawab apa adanya, apa ada pesanan, orderan, arahan," cecar Waruwu dan dijawab saksi tidak ada arahan.
Waruwu juga mengingatkan para saksi untuk berkata jujur. "Kenapa harus tidak jujur. Kelihatan sekali sejak perencanaan didesain sedemikian rupa," kesal Waruwu.
Di persidangan terungkap, perencanaan proyek pembangunan RTH Tunjuk Ajar Integritas di Jalan Ahmad Yani, Pekanbaru, sudah dilaksanakan sejak 2012 dengan dana Rp12 miliar. Namun tidak pernah terlaksana hingga diulang kembali pada 2016.
Konsultan perencana diserahkan kepada perusahaan lain yakni PT Warda Citra. Menurut Dedi Wahyudi selaku Direktur, dan Dian Melani selaku karyawan di perusahaan tersebut karena proyek tidak berjalan, maka dilakukan evaluasi.
Dengan dana yang sudah ada, akhirnya konsultan perencana dari PT Warda Citra melakukan pengurangan-pengurangan item pekerjaan hingga anggaran diusulkan ke dinas dan Kerangka Acuan Kerja (KAK) ditentukan dinas menjadi Rp9,6 miliar.
"Selanjutnya, anggaran itu jadi Rp9,3 miliar," kata Dian.
Dedi menyatakan, terjadi penurunkan harga karena ada beberapa item pekerjaan yang dikurangi. "Pengurangan jalan yang awalnya dua jadi satu, jenis pohon diganti dan toilet dikurangi," kata Dedi.
Anggaran itu dinilai tidak masuk akal dan sudah bobrok dari awal. Majelis hakim meminta kepada Dedi dan Dian untuk membawa dokumen perencanaan agar bisa diperlihatkan di persidangan.
"Jangan datang melenggang saja ke sini, bawa dokumen, biar semua terungkap," kata hakim ketua Bambang. (***)