RIAU ONLINE, YOGYAKARTA - Tak banyak yang tahu bahwa peran aktif masyarakat sangat diperlukan demi mencegah terjadinya perubahan iklim secara global serta membantu menyelesaikan tantangan dalam meningkatkan pendapatan.
Seperti yang dilakukan oleh Unit Manajemen Hutan Rakyat (UMHR), Ketua Kelompok Wanita Tani (KWT), Sumiati dan Komunitas Pemuda Dusun Baros (KB2B) yang bersusah payah menjaga keberadaan alam meski tak sedikit tantangan yang harus dihadapi.
Unit Manajemen Hutan Rakyat (UMHR).
Waktu menunjukkan pukul 09.00 WIB. Sekretaris Desa (Sekdes) Sendang Sari, Kecamatan Pajangan Kabupaten Bantul, Yogyakarta, Yuhri Saren Satrio begitu mantap meyakinkan bahwa para pria yang mendirikan Unit Manajemen Hutan Rakyat (UMHR) Wono Lestasi pada enam tahun lalu itu telah membawa perubahan bagi bumi dan peningkatan ekonomi penduduk meskipun ada ancaman serius dari pemerintah daerah.
Bertani di atas tanah latosol, berbagai macam tanaman hutan untuk mengisi pasar lokal yang dijadikan mebel sebentar lagi akan disulap menjadi bangunan permanen dengan alasan bahwa lokasi merupakan daerah industri yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bantul. Pembebasan lahan seluas 50 hektare dan akan didirikan Universitas Islam Negeri menjadikan cikal bakal kegelisahan kelompok semakin memuncak.
Belum lagi masih ada saja bujuk rayu dari para pemodal raksasa yang menjanjikan jutaan rupiah untuk setiap jengkal tanah jika mereka bersedia menjualnya, seakan menjadi bom waktu yang dapat meledak kapan saja dan memupuskan harapan dari para kelompok pejuang lingkungan ini.
"Nanti di salah satu desa kami akan dibangun UIN. Kemarin juga sudah ada pembebasan lahan seluas 50 hektare. Padahal lahan itu merupakan lahan kelola kami. Di tengah kami ingin mempertahankan hutan, pemerintah malah berkata lain," ucapnya sambil duduk bersila di dalam rumah milik Pak Gianto.
RIAUONLINE.CO.ID/AZHAR SAPUTRA
Kerja keras untuk meyakinkan pemerintah agar tidak merubah hutan rakyat menjadi kawasan industri juga telah dilakukan. Warga dipinjamkan tanah oleh Sri Sultan (Gubernur Yogyakarta) untuk mengelola kawasan dengan jumlah luasan sebesar 958 hektare dengan capaian 2.533 meter persegi untuk setiap tahun panennya. Mereka mengisi lahan pinjaman itu dengan tanaman jati sebanyak 65 persen, 10 persen mahoni, akasia 3 persen, senagon 2 persen, kayu rimba 20 persen dan tanaman non kayu seperti umbi-umbian serta tumbuhan empon (jamu).
Padahal, hutan masyarakat merupakan pengelolaan kolektif yang berbeda dengan kepemilikan seperti rumah pribadi. Selain itu, hutan jenis ini berkontribusi besar kepada mitigasi perubahan iklim global serta dapat menyelesaikan tantangan minimnya lahan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Hutan masyarakat juga dianggap sebagai salah satu opsi yang paling menjanjikan antara konservasi dengan pembangunan pedesaan untuk tujuan memberantas kemiskinan.
Selama mengelola kawasan hutan, masyarakat memiliki jadwal serta jatah tebang dan menerapkan aspek kelestarian, dimana jika menebang satu pohon, maka mereka harus menanam pohon-pohon baru lainnya. Dalam meningkatkan mutu dan kualitas, kelompok ini juga telah mengantongi sertifikat standar mutu layak ekspor yang ditebus dengan kisaran harga Rp 20 juta.
Padahal, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya mengatakan bahwa dalam pengurusannya, kelompok tani tidak perlu mengeluarkan duit sebesar itu karena pembiayaannya telah didukung oleh negara.
"Filosofinya ialah bahwa kayu dari Indonesia itu adalah legal. Nanti akan saya cek. Pada awal 2015-2016 saya memang meminta dukungan dari APBN. Mungkin karena Indonesia ini luas," ucapnya di Alana Hotel and convention center, Yogyakarta.
Kelompok juga memegang prinsip jika hutan lestari, maka seisinya juga ikut lestari. Para anggota diberikan pendidikan seperti sensus, cara sensus dalam jumlah tegakkan, diberikan pinjaman ringan dengan jaminan pohon serta simpan pinjam dengan sistem tunda tebang.
Untuk mendukung itu semua, komunikator dari kelompok UMHR, Sugeng Riyanto Hartono mengatakan bahwa dalam menjaga hutan, cita-cita dan program jangka panjang telah disusun. Seperti menggunakan teknologi pesawat tanpa awak sampai memiliki industri sendiri tanpa mengabaikan dan merusak ekosistem yang ada.
"Juga cita-cita kedepan kami adanya benso dan oven kayu terkait banyaknya permintaan. Karena kalau jual gelondongan nilai tambah ke kita itu tidak ada. Kami ingin tetap menjaga hutan dengan baik di samping itu juga ingin memiliki industri yang mensejahterakan kami," tegasnya.
Ketua Kelompok Wanita Tani (KWT), Sumiati
Sumiati, Ketua Kelompok Wanita Tani (KWT) Tri Manunggal Beji Kulon Sendang Sari Panjangan (RIAUONLINE.CO.ID)
Lain pria, lain juga wanita. Kaum ibu-ibu di tempat yang sama tidak pernah mau berpangku tangan menunggu uang dari para lelaki mengalir ke saku tanpa melakukan apapun. Sumiati, Ketua Kelompok Wanita Tani (KWT) Tri Manunggal Beji Kulon Sendang Sari Panjangan mangajak para ibu-ibu di desanya untuk mengolah hasil lahan di bawah tegakan hutan masyarakat dengan memanfaatkan tanaman palawija.
Seperti tanaman ketela dan jagung. Ibu-ibu di sini memproduksi hasil olahan dari hasil panganan seperti ini sampai bernilai ekonomi tinggi didukung dengan teknologi yang memadai.
"Misalnya garut dan gadung yang dulunya untuk makanan ternak. Dulu harganya hanya Rp 600 per kilogramnya. Setelah kami olah menjadi jajanan, sekarang menjadi Rp 100 ribu per kilogramnya," jelasnya.
Ilmu yang didapatkannya di tahun 2001 itu juga mengajarkan pengolahan emping jagung, ketela rasa gandum, kerupuk jagung dan masih banyak lagi. Sumiati yang terus mengajak warganya untuk mengolah panganan ini merasa upayanya sedikit demi sedikit membuahkan hasil. Ekonomi warga binaannya turut menjadi terangkat.
"Ternyata setelah saya mengadakan pelatihan seperti ini ekonomi masyarakat desa menjadi terangkat. Harga jual umbi juga terangkat. Buktinya sekarang mereka sudah punya sepeda motor," katanya bangga.
"Pokoknya kelompok ini tidak hanya mengembangkan satu komoditi saja. Kami memiliki keterampilan berbeda-beda. Ada yang hanya bisa membuat emping garut, telo, gedong, belinjo kemudian saya tampung. Datang ke sini bawa produk, pulang bawa uang," jelasnya.
Komunitas Pemuda Dusun Baros (KB2B)
Divisi Konservasi dari Komunitas Pemuda Dusun Baros (KB2B), Dwi Ratmanto.
Pada kesempatan berbeda tanpa mengenal lelah, Divisi Konservasi dari Komunitas Pemuda Dusun Baros (KB2B), Dwi Ratmanto mengatakan bahwa mereka terus saja menjaga tepian muara Sungai Opak, kawasan hutan mangrove yang semula merupakan kerikil dan pasir vulkanis.
Padahal, wilayah mereka sempat porak-poranda akibat siklon tropis Cempaka yang menyebabkan banjir di sana-sini. 4000 pohon mangrove disebutkannya telah lenyap akibat peristiwa yang terjadi pada November 2017 itu. Belum lagi abrasinya bibir pantai yang mencapai 50 meter dari muara Sungai Opak.
"Masalah abrasi sampai hari ini masih tetap. Ketika muara terbuka, laut seakan menghantam bagian sisi utara. 5 hektare kita telah kehilangan daratan dalam 1 minggu," imbuhnya. Belum lagi kehadiran dari sampah plastik yang begitu banyak hingga dapat membunuh mangrove yang baru saja ditanami.
Kelompok ini berkeyakinan bahwa mangrove merupakan ekosistem pesisir kritis yang dapat mempengaruhi kehidupan, menyuburkan keanekaragaman hayati bagi banyak spesies pesisir dan laut dan juga mampu menghalau cuaca ekstrim, menstabilkan garis pantai sampai mengurangi erosi tanah.
RIAUONLINE.CO.ID/AZHAR SAPUTRA
Sehingga, upaya apapun akan mereka lakukan demi menghijaukan kembali pesisir pantai Baros Desa Tirtoharjo Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Seperti sampah plastik yang semakin merajalela akibat buruknya prilaku manusia. Agar tetap hidup, kelompok ini membuat pagar setinggi 3 meter sepanjang tanaman baruserta derasnya ombak yang ada di pantai.
Pagar itu juga nantinya berguna untuk menghambat laju angin tenggara yang berhembus selama 24 jam penuh pada Agustus mendatang menerpa tanaman mangrove kecil.
Belum lagi kelompok turut mengolah sampah kayu yang hanyut untuk keperluan lain. Hingga akan menjadikan kawasan sebagai pusat pembelajaran pendidikan minat khusus.
"Kita sadar tanpa ilmu pendidikan, arah kita bakalan tidak jelas. Nanti data yang telah didapatkan oleh pengunjung yang melakukan penelitian di sini akan kita pergunakan untuk pengembangan kawasan," jelasnya.
Selain itu mereka juga memanfaatkan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang pembagian kawasan dari perairan umum hingga kawasan pertanian untuk menjadikan kawasan konservasi berbasis masyarakat dengan melibatkan petani, nelayan hingga peternak.
RIAUONLINE.CO.ID/AZHAR SAPUTRA
Dilanjutkan dengan terus meningkatkan sektor pariwisata minat khusus dan ecotourism yang telah mereka ciptakan. Para tamu akan dimanjakan dengan pekerjaan sehari-hari seperti membawa sampan, menjala ikan di Sungai Opak sampai menanam mangrove.
Ratmanto juga menambahkan, kawasan yang mereka kelola itu memiliki sejuta pesona lainnya. Seperti tempat hidup dari 48 jenis burung diantaranya kuntul putih, kuntul hitam, raja udang, but-but dan masih banyak lagi.
"Untuk hal yang satu itu, kami juga telah memiliki pondok pengamatan burung. Di kawasan timur itu nantinya akan dipadati oleh sekawanan burung," ucapnya sambil menunjuk.
Juga bagi sebagai rumah untuk kepiting, biawak, kerang yang terbagai ke dalam zona inti seluas 9 hektare, pemanfaatan lain dan pariwisata.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE
Follow Twitter @red_riauonline
Subscribe Channel Youtube Riau Online,
Follow Instagram riauonline.co.id