Laporan: FATMA KUMALA
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Dikenal sebagai penghasil minyak di Indonesia, Provinsi Riau justru sering mengalami "ketidakadilan" terhadap pasokan maupun harga bahan bakar minyak (BBM). Misalnya penerapan harga BBM yang lebih tinggi dibandingkan provinsi lain, serta kelangkaan pasokan beberapa BBM bersubsidi.
Seperti dipaparkan Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) Pekanbaru, Syaiful Alam kepada RIAUONLINE.CO.ID, Rabu 14 Maret 2018.
Memasuki tahun 2018, harga pertalite di Riau mengalami kenaikan. Bahkan harga tersebut merupakan harga tertinggi di Indonesia. Tingginya harga pertilite dikarenakan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) Provinsi Riau yang mencapai 10 persen, persentase yang tinggi jika dibanding dengan provinsi lainnya.
Sementara, premium yang merupakan bahan bakan subsidi, semakin susah ditemukan. Masyarakat Riau tidak punya pilihan selain membeli pertalite yang harganya mencapai Rp8.000/liter.
Belum selesai dengan tingginya harga pertalite dan langkanya premium, masyarakat Riau, khususnya Kota Pekanbaru kembali dihadapkan dengan kelangkaan solar yang juga bersubsidi. Kelangkaan tersebut terjadi sejak tiga pekan terakhir.
"Keluhan dari anggota kami sudah sejak tiga minggu lalu. Kalau saya lihat, Pemerintah terkesan berupaya menggiring masyarakat agar beralih ke Dexlite. Namun, harganya Dexlite juga terus mengalami kenaikan. Bahkan kenaikannya tak pernah diberitahukan kepada kita. Terlebih ketersediaan Dexlite juga masih terbatas di Pekanbaru. Tidak semua SPBU ada menyediakan BBM jenis ini," sebutnya.
Sementara itu, Manager Humas Pertamina Wilayah Sumbagteng Rudi Arrifianto saat dihubungi melalui telepon seluler membantah bahwa solar mengalami kelangkaan.
"Solar gak langka di Riau. Secara keseluruhan konsumsi solar di Riau masih normal-normal saja, rata-rata harian di kita itu konsumsi solar antara 1.900 KL per hari. Dan itu tidak ada perubahan dari tahun-tahun sebelumnya. Kecuali bulan Februari memang turun, karena jumlah harinya sedikit dan aktivitas di Februari juga gak banyak," jelas Rudi.
Rudi juga mengaku pemasukan solar dari Pertamina lancar dan tidak ada pengurangan pasokan. "Tak ada pengurangan solar untuk Riau. Semua masih tetap sama sesuai jatah yang telah disepakati. Jatah untuk Riau itu 1.900-an KL per hari," tegasnya.
Menurutnya, jika pemanfaatan solar bersubsidi ini sesuai dengan peraturan presiden (perpres) nomor 191 tahun 2014, maka solar tidak akan ada masalah.
"Dilihat dari perpres 191 tahun 2014, bagian transportasi yang boleh menggunakan solar hanya kendaraan di bawah roda enam, selain itu harus menggunakan solar non subsisdi. Misal truk-truk industri atau yang mengangkut komoditas perdagangan industri gak boleh menggunakan solar bersubsidi," pungkasnya.
Rudi mengimbau, jika masyarakat melihat antrian truk-truk industri yang mengantri untuk mengisi solar bersubsidi di Stasiun Pengisian Bahanbakar Umum (SPBU), masyarakat berhak melaporkan kepada pihaknya (Pertamina) untuk kemudian memberi sanksi kepada SPBU yang melayani truk industri tersebut.
"Apabila SPBU terbukti memberikan, kami punya mekanisme sanksi terhadap SPBU tersebut. Sanksinya macam-macam tergantung pelanggarannya. Misal, kami bisa kurangu pasokan ke SPBU yang melanggar. Karena untuk industri besar yang bersifat komersil sudah disiapkan bbm non subsidi," lanjut Rudi.
Ia mengatakan saat ini yang perlu dijaga bersama adalah Disparitas harga antara Solar subsidi dan Solar non subsidi.
"Ini yang perlu diwaspadai sehingga tidak ada penggunaan yang tidak pada tempatnya," jelas Rudi.
Namun, sejauh ini pihaknya memang belum memonitor ke arah tersebut meski tetap dipantau sehingga kebutuhan riil masyarakat dapat tercukupi. (1)
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE
Follow Twitter @red_riauonline
Subscribe Channel Youtube Riau Online,
Follow Instagram riauonline.co.id
Terus Mengamuk dan Melukai Seoran