YUSRI Effendi, warga Desa Pulau Muda, Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, dibawa menggunakan mobil bak terbuka, Sabtu, 10 Maret 2018, usai diterkam Harimau Sumatera, sore harinya.
(RIAUONLINE.CO.ID/ISTIMEWA)
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Ratusan warga memberi ultimatum kepada Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau pasca teror harimau di Kecamatan Pelangiran, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau.
Jika dalam waktu satu minggu tidak tertangkap, warga mengancam harimau itu akan diburu dan dibunuh.
"Kami beri tenggat satu minggu. Hidup atau mati harus dapat (ditangkap)," kata Rudi (45), salah seorang warga dihubungi dari Pekanbaru, Senin, 12 Maret 2018.
Ultimatum tersebut disampaikan Rudi bersama dengan 500 warga menyusul kematian Yusri Efendi (34) akibat diterkam harimau pada Sabtu 10 Maret 2018, akhir pekan lalu. Yusri meninggal saat sedang bekerja membangun sarang walet di Dusun Sinar Danau, Desa Tanjung Kecamatan Pelangiran, Kabupaten Indragiri Hilir.
"Kalau seminggu tidak dapat ditangkap, kita akan turun memburu harimau ini bersama-sama," ujarnya.
Bahkan, ultimatum itu terangkum dalam sebuah surat bertulis tangan. Surat itu berisi tiga tuntutan.
Pertama, pihak masyarakat meminta BKSDA Riau secepatnya "membunuh" hewan ganas tersebut dalam waktu tujuh hari. Selanjutnya, jika tidak ada tindakan maka masyarakat akan mengambil tindakan sendiri untuk membunuh hewan ganas secara bersama-sama.
Dalam surat dengan tulisan tangan pada secarik kertas bermaterai turut ditandatangani oleh perwakilan masyarakat, perusahaan PT Tabung Haji Indo Plantation (THIP) serta perwakilan BKSDA Riau.
Kepala BKSDA Riau, Suharyono mengatakan bahwa bahasa "membunuh" bukan merupakan bahasa BKSDA. Dia menuturkan, anggotanya dipaksa menandatangani surat tersebut lantaran dalam kondisi dipaksa masyarakat.
"Tadi tim dipaksa untuk tanda tangan, tim dipaksa membunuh oleh masyarakat. Ini bukan bahasa kami. Kami akan upayakan segera mungkin untuk evakuasi, tapi namanya hewan liar resiko yang sangat tinggi, kami tetap memperhitungkan (faktor keselamatan)," ujarnya.
Lebih jauh, hari ini dia menuturkan BKSDA Riau kembali mengirim 24 personel tambahan untuk menangkap harimau tersebut. Personel itu turut dilengkapi dengan senjata bius.
Untuk diketahui, beberapa bulan sebelum insiden tewasnya Yusri, awal Januari 2018 lalu seorang warga bernama Jumiati juga meninggal dunia karena insiden yang sama, diserang harimau. Perempuan berusia 33 tahun itu meninggal saat sedang melakukan perawatan sawit di tempat ia bekerja, PT Tabung Haji Indo Plantantion (THIP).
Sebenarnya, pasca insiden pertama, tim BBKSDA Riau telah diturunkan untuk menangkap dan menyelamatkan harimau tersebut. Tim tersebut terdiri dari TNI, Polisi dan sejumlah pegiat satwa dilindungi.
10 perangkap juga telah dipasang. Perangkap-perangkap berbentuk kotak berisi kambing jantan dan babi hutan menyebar di sekitar lokasi itu.
Begitu juga kamera pengintai, yang dipasang di setiap sudut dimana perangkap itu berada. Namun, selama lebih kurang dua bulan pencarian, belum ada perkembangan berarti.
Di sekitar TKP, ia mengatakan terpantau dua ekor harimau Sumatera. Keduanya berjenis kelamin betina, berusia sekitar empat tahun. Untuk mempermudah identifikasi, BBKSDA Riau memberi nama keduanya dengan nama Boni dan Bonita.
Dalam kejadian ini, Bonita diduga kuat pelaku penerkam warga. Pasalnya, Jumiati sebelumnya tewas ditangan Bonita. Bonita juga disebut mengalami perubahan prilaku pasca menerkam Jumiati. Diantaranya, tidak sungkan untuk bertemu dan mendekati manusia. Sementara, harimau normal akan menghindar dan lari saat melihat kerumunan manusia.
Beberapa kali pula warga melihat Bonita berkeliaran di areal perkebunan sawit. Tidak sedikit gambar rekaman Bonita berkeliaran di perkebunan sawit direkam warga. Namun, untuk memastikan hal tersebut, Hutomo mengatakan pihaknya masih terus mendalaminya. (**/1)
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE
Follow Twitter @red_riauonline
Subscribe Channel Youtube Riau Online,
Follow Instagram riauonline.co.id