RIAU ONLINE - Orang Rimba, suku asli Jambi yang hidup secara berkelompok di pedalaman hutan, seperti di hulu-hulu sungai di dalam hutan.
Kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) menjadi tempat konsentrasi terbesar Orang Rimba. Secara geografis TNBD berada di antara 1020 30’ 00 - 1020 55’ 00 Bt dan 10 45’ 00 -20 00’ 00 LS, dengan jumlah 1.678 jiwa. Sementara sebagian kecil lainnya berada di wilayah Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) sebanyak 450 jiwa.
Orang Rimba juga ditemukan di hutan-hutan sekunder dan perkebunan kelapa sawit di sepanjang jalur lintas Sumatera hingga batas Sumatera Selatan, dengan populasi 1772 jiwa.
Terdapat beberapa versi terkait asal usul suku yang hingga kini masih tergolong marginal ini. Sebagaian Orang Rimba percaya bahwa mereka berasal dari kerajaan Pagaruyung.
Konon dikisahkan, raja Pagaruyung mengutus sejumlah pasukan untuk melakukan perjalanan ke Jambi mengemban misi kerajaan. Namun, pasukan tersebut gagal menjalankan misinya. Mereka malu untuk kembali ke Pagaruyung, sehingga memilih melarikan diri ke hutan. Kemudian, berkembang membentuk kelompok-kelompok sendiri.
Baca Juga: Suku Anak Rimba Asal Jambi Nyasar ke Pekanbaru
Ada pula yang menyebutkan bahawa Orang Rimba adalah sisa-sisa pasukan kerajaan Sriwijaya yang kalah berperang melawan Belanda, dan melarikan diri ke hutan. Versi lainnya menyebutkan kelompok ini berasal dari buah gelumpang. Namun dari sekian banyak versi asal usul Orang Rimba, tidak ada bukti-bukti sehingga sulit untuk membuktikan.
Kajian antropologi KKI Warsi, Robert Aritonang, menerangkan bahwa ketiga versi tersebut, sulit yang bisa diklaim mendekati kebenaran keberadaan asal usul Orang Rimba. Sebab, jika Orang Rimba berasal dari Kerajaan Pagaruyung, ataupun Sriwijaya, seharusnya kehidupan mereka telah mengenal peradaban yang ada masa itu, yang mungkin diwariskan kepada anak cucunya, seperti dilansir dari Independen.id.
Tidak mungkin dari Kerajaan Pagaruyung atau Sriwijaya. Sebab dua kerajaan itu telah memiliki kebudayaan tertentu, seperti membuat rumah, bercocok tanam dan lainnya, yang tidak ditemukan di kehidupan Orang Rimba. Demikian juga dengan penggunaan bahasa, terdapat perbedaan dialek dan pelafalan huruf. Perubahan fonologi membutuhkan waktu yang sangat lama mencapai ratusan ribu tahun.
Menurut Robert, kemungkinan besar Orang Rimba berasal dari Suku Melayu Proto atau "Melayu Asli", yang merupakan golongan Austronesia yang berasal dari Yunnan. Kelompok pertama dikenal sebagai Melayu Proto berpindah ke Asia Tenggara pada Zaman Batu Baru (2500 SM). “Suku melayu proto ini juga yang kemudian sampai di dataran Jambi,” katanya.
Klik Juga: Bagi Suku Ini Tikus Jadi Makanan Pokok
Selama beribu tahun mereka mengalami proses perubahan sosial dan kebanyakan terisolasi di dalam hutan. Saat budaya baru seperti Hindu, Buddha dan terakhir Islam masuk mempengaruhi budaya masyarakat lainnya, kelompok Orang Rimba yang berada di hutan tidak tersentuh sama sekali. Sehingga mereka tidak mengalami transformasi perubahan sosial.
Di saat budaya-budaya lain telah berkembang pesat dan memengaruhi kehidupan masyarakat Melayu lainnya, Orang Rimba justru sebaliknya. Mereka tetap berpegang teguh pada kebiasaan dan budaya yang diwarisi dari leluhur. Hidup secara nomaden dengan mengandalkan kehidupan dari berburu dan meramu. "Kehidupan seperti ini masih bertahan hingga sekarang," kata Robert.
Untuk Orang Rimba, hutan memiliki multi fungsi sebagai penunjang kehidupan. Hutan merupakan rumah tempat mereka tinggal, dengan segala sumber makanan dan yang menjadi medium penghubung Orang Rimba dengan para dewa yang diyakini Orang Rimba.
Seperti pepatah mereka, "ada rimba ada bunga, ada bunga ada dewa." Orang Rimba butuh beragam bunga untuk ritual keagamaan. Mereka meyakini tanpa bungi tidak bisa terhubung dengan para dewa yang mengatur kehidupan.
Hubungan Orang Rimba dengan hutan erat. Ditandai dengan perlambangan setiap individu Orang Rimba dengan pohon yang ada di dalam hutan, yaitu pohon Tenggeris dan Setubung. Pohon Tenggeris adalah pohon pohon tempat Orang Rimba menanam ari-ari anak yang baru lahir. Sedangkan Setubung merupakan kayu yang ketika anak lahir diambil sedikit kulitnya dan diusapkan ke dahi si anak. Kedua pohon ini menjadi perlambang bagi anak yang baru lahir.
Adat Orang Rimba bahkan menyebut bahwa menghilangkan pohon yang telah ada ‘perlambangan’ sama artinya dengan menghilangkan nyawa Orang Rimba. Penghilangan nyawa orang merupakan pelanggaran adat besar, disebut hukum bangun (ganti nyawa) sebagai kompensasi atas hilangnya nyawa orang lain yang dendanya sebesar 500 lembar kain, merupakan nilai tertinggi untuk denda yang berlaku di komunitas Orang Rimba.
"Besarnya nilai denda ini, Orang Rimba sangat takut menghilangkan nyawa orang lain ataupun pohon yang menjadi perlambang hidup seseorang," kata Robert.
Orang Rimba juga sangat menghargai pohin Sialang. Pohon sialang sangat tinggi nilainya dari segi ekonomi, karena penghasil madu yang menjadi sumber pendapatan Orang Rimba. Penghilangan pohon Sialang juga akan dikenai denda adat yang beragam, tergantung dengan jenis pohonnya.
Pihak yang menebang pohon Sialang Kedondong akan didenda 500 lembar kain atau setara dengan nyawa orang. Sedangkan pohon Sialang lainnya jenis pari, muara keluang, dan pulai, nilainya disesuaikan. Ada senilai 20 lembar kain atau sesuai dengan kesepakatan Orang Rimba melalui sidang adat.
Proteksi terhadap tetumbuhan yang ada di rimba ini ditandai juga dengan adanya proteksi kawasan. Dalam kehidupan mereka, Orang Rimba membagi kawasan hutan menjadi beberapa zona berdasarkan fungsi, nilai adat dan keruangan Orang Rimba.
Ada kawasan yang disebut sebagai hutan larangan, yang dinamai Setali Bukit. Orang Rimba tidak mau masuk ke dalam kawasan ini. Sebab, di kawasan ini ditemukan inumon yaitu kawasan berupa sumber mata air di puncak-puncak bukit yang diyakini sebagai tempat tinggalnya para dewa-dewa dan setan.
Orang Rimba juga menjaga kawasan hutan sejenis hutan adat, berupa muaron (kebun buah), tanoh peranoan (tanah kelahiran), pohon sialang (pohon madu), tenggiris dan sentubung serta pasaron (kuburan). Kawasan ini bernilai adat yang sangat tinggi bagi Orang Rimba. Sebagai tempat tinggal dan berkebun Orang Rimba memanfaatkan hutan di luar hutan larangan dan hutan adat yang juga dimanfaatkan secara bijak dan arif.
Orang Rimba juga melindungi secara adat satwa-satwa tertentu. Orang Rimba tidak akan memburu atau membunuh binatang yang dianggap sakral karena terkait dengan dewa-dewa mereka, kendati mereka menggantungkan hidup dari berburu. Orang Rimba tidak boleh memburu harimau, gajah, siamang, tapir, burung selelayat, burung binti, burung rangkong kecil.
"Satwa yang hampir punah ini, bagi orang rimba merupakan jelmaan dewa-dewa mereka, sedangkan burung adalah pengantar kabar ke dewa," ujarnya.
Meski tingkat pendidikan Orang Rimba rata-rata rendah, kearifan lokal menjaga hutan ini bertahan karena hutan adalah kehidupan bagi mereka. Berdasarkan data Warsi, pendidikan formal sudah menjangkau tujuh Temenggung di dalam TNBD. Jumlah bebas buta huruf 450 mencapai orang. Sebanyak 23 orang telah mengikuti pendidikan sekolah dasar di TNBD dan 44 orang di jalan lintas. Sedangkan tujuh orang mengikuti pendidikan SMP di TNBD dan empat orang di jalan lintas.
Delapan orang mengikuti pendidikan SMA dan satu Orang Rimba pernah mengikuti pendidikan di perguruang tinggi. "Satu orang juga pernah mendatar di Polri namun gagal di tes akademik," kata Robert.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline