Presiden Soekarno saat berpidato di depan Panca Tunggal seluruh Indonesia. Tampak tiga pejabat di belakangnya, termasuk Soeharto.
(INSTAGRAM MATAPADI)
RIAU ONLINE - Kemampuan orasi Sang Pemimpin Besar Revolusi memang tak diragukan. Meski kerap diimbuhi spontanitas, namun intonasinya begitu tertata. Seruan penuh semangat meledak-ledak, bergelora sesekali bergema dalam orasinya. Setiap pidatonya mampu membakar api semangat rakyat.
Bahkan pada zamannya, rakyat rela berdesakan demi mendengarkan pidato Soekarno yang disiarkan melalui corong-corong radio. Begitu kharismatik dan mempesonanya, dimanapun Sang Pemimpin Besar itu hadir, ribuan rakyat akan dengan suka rela menyaksikan.
Rakyat akan berduyun penuh antusias hanya untuk sekedar menghadiri dan menyaksikan rapat raksasa yang menampilkan orasi Bung Karno. Ketika itu lisan Sang Proklamator itu begitu populer, pidatonya itu mendapat tempat untuk didengarkan, juga dipatuhi.
Baca Juga: Laporan CIA Dan Kronologi Perpindahaan Kekuasaan Soekarno Ke Soeharto
Namun menjelang kejatuhannya, pidato Bung Karno bagai seruan di padang gurun. Suaranya tak lagi didengar. Perintahnya tak lagi dipatuhi, sepi, seperti dilansir dari Instagram Mata Padi.
Saat itu 2 September 1966, di Jakarta, Bung Karno berpidato di hadapan Panca Tunggal seluruh Indonesia. Dalam suatu wejangan yang dilangsungkan di Istana Negara Jumat pagi itu, bahwa revolusi tidak bisa berjalan baik tanpa adanya kesatuan Resopim (revolusi, sosialisme dan pimpinan) dan persatuan Triabdi Ampera ABRI-PBR-Rakyat yang pula telah menjadi keputusan MPRS.
“Kalau ada golongan yang menjerat pemimpin besar revolusi (PBR) atau ABRI ke dalam lumpur saudara-saudara bertindak atau tidak?” tanya Bung Karno kepada para anggota Panca Tunggal.
Klik Juga: Gubraak! Sang Jenderal Pemikir Banting Pintu Di Depan Soekarno
"Jika kita mengharapkan revolusi berhasil maka harus kita pertahankan kesatuan ABRI-PBR-Rakyat," serunya.
Sejarawan Asvi Wamarman Adam mengatakan, isi pidato Bung Karno sepanjang 1965-1967 itu, tidak hanya menggambarkan sengitnya peralihan kekuasaan, tersirat pula kegetiran presiden ketika ucapannya tidak didengar lagi oleh para jenderal yang dulu sangat patuh.
Kegetiran Bung Karno dalam Pidato: Sayalah yang ditunjuk MPRS menjadi Pemimpin Besar Revolusi Bukan
"Soekarno marah dan bahkan sangat geram. Ia sering memaki dengan bahasa Belanda," ungkap Asvi.
Lihat Juga: Inilah Foto Pencitraan Bung Karno Dengan Merangkul Panglima Besar Soedirman
Pada pidatonya di Istana Bogor, 20 November 1965, misalnya, kemarahan Bung Karno tampak dalam pidato di depan empat panglima Angkatan Perang. Bung Karno menyatakan, ada perwira yang mbregudul alias kepala batu.
"Sayalah yang ditunjuk MPRS menjadi Pemimpin Besar Revolusi. Terus terang bukan Subandrio, bukan Nasution, bukan engkau Roeslan Abdulgani, bukan engkau Suharto, bukan engkau Suharto," ucap Bung Karno dalam pidatonya. Bahkan, Soekarno menyebut nama Suharto sampai dua kali.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline