Kisah Jalan Panjang dan Berdarah Widji Thukul Dobrak Pintu Kebebasan Bicara

Widji-Thukul.jpg
(DW.COM/WAHYU SUSILO)

RIAU ONLINE - Melalui jalan panjang dan berdarah, Widji Thukul mendobrak pintu kebebasan berbicara. Meski kini tak tahu tahu dimana keberadaannya, namun kata-katanya selalu hidup dalam sejarah.

Terlahir sebagai nama Widji Widodo, pria kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, 26 Agustus 1963 ini menghilang sejak diduga diculik, 27 Juli pada usia 34 tahun. Ia adalah salah satu tokoh yang ikut melawan penindasan rezim Orde Baru. Sejak 1998 sampai sekarang tidak diketahui rimbanya dan dinyatakan hilang dengan dugaan diculik oleh militer.

Thukul, begitu sapaan akrabnya adalah seorang sastrawan dan aktivis hak asasi manusia yang sejak kecil sangat mencintai puisi. Anak tukang becak ini menjadi buruh plitur, ngamen puisi dan mengalah putus sekolah demi pendidikan adik-adiknya.

Baca Juga: Hilangnya Koruptor Indonesia Yang Gelapkan Triliunan Rupiah

Di tengah kesulitan keuangan, Thukul tetap giat menelurkan karya-karya puisi dan berteater di Sarang Teater Jagat. Ia juga menularkan seni melukis kepada anak-anak kecil di Sanggar Suka Banjir dan menyuarakan nasib orang lkecil dalam Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKKER).

“Kata-kata tak mengubah realitas, tapi mempertajam realitas!” demikian ia memaknai kata-kata dalam puisinya. Thukul memang sosok manusia unik, orisinil, cerdas dan blak-blakkan. Ketika banyak seniman koleganya masih gamang untuk terlibat dalam perjuangan politik, Thukul berseru, "seniman harus ikut merebut kemerdekaan sendiri."

defaultSyair Widji Thukul (DW.COM/WAHYU SUSILO)

Pada 1992, Thukul memprotes pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil PT Sariwarna Asli Solo. 1994 dalam aksi petanidi Ngawi, Jawa Timur, Thukul dipukuli tentara. Tahun 1995 mengalami cedera mata kanan karena dibenturkan pada mobil oleh aparat sewaktu ikut dalam aksi protes karyawan PT Sritex. Thukul tak jeri kendati ditangkap dan dihajar senapan berkali-kali. Namun dalam perjuangannya, istri Widji Thukul, Siti Dyah Sujirah (Sipon) selalu mendukung perjuangan suaminya.



Usai peristiwa 27 Juli 1996, jelang kejatuhan Soeharto tahun 1998, Thukul masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Ketika itu ia masih berkarya. Pada masa itu pula sejumlah aktivis ditangkap, diculik dan dihilangkan secara paksa, termasuk Thukul.

Klik Juga: Setiap Lewat Kendaraan Pasukan Garuda, Warga Lebanon Teriak Indonesi, Indonesi...

Sejak Juli 1996, Thukul hidup dengan berpindah-pindah. Keluar dan masuk daerah dari kota satu ke kota lain untuk bersembunyi dari kejaran aparat. Meski dalam pelarian, Thukul masih menulis puisi-puisi pro demokrasi, di antaranya berjudul Para Jendral Marah-Marah, seperti dilansir dari Wikipedia.

Kerusuhan pada Mei 1998 telah menyeret beberapa nama aktivis ke dalam daftar pencarian aparat Kopassus Mawar. Di antaranya adalah aktivis dari Partai Rakyat Demokratik, Partai Demokrasi Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan, JAKKER, pengusaha, mahasiswa, dan pelajar yang mengilang terhitung sejak bulan April hingga Mei 1998.

Sekitar Maret hingga April 1998 jejaknya tak lagi diketahui, hilang. Namun sejumlah orang masih melihatnya di Jakarta pada April 1998, sejumlah orang masih melihatnya di Jakarta. Dan tuduhan telah menyulut kerusuhan dalam peristiwa 27 Juli 1996 yang diarahkan padanya tidak pernah terbukti.

Pada 2000, Sipon melaporkan hilangnya Thukul kepada Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Namun, hingga kini keberadaannya tak kunjung diketahui.

Lihat Juga: Selamatkan Tentara Denmark, Amerika Sebut Prajurit Paskhas Ini 'Gila'

Dilansir dari DW.COM, Joko Widodo, sebelum menjadi Presiden pernah menyatakan bahwa kejelasan nasib Widji Thukul harus menjadi perhatian pemerintah, baik hidup atau meninggal dunia. Dalam kunjungannya di Eropa pada April 2016 lalu, Jokowi berujuar bahwa pemerintah masih mendalami kasus pelanggaran HAM berat, termasuk di antaranya penghilangan aktivis 1997-1988.

Sipon, sang istri Widji Thukul tak kenal lelah mencari keadilan, setelah suaminya dihilangkan secara paksa. Hingga kini Sipon, keluarga dan kawan-kawannya masih terus berjuang mencarinya. Kembalikan Wiji Thukul.

Berjarak belasan tahun semenjak ia dihilangkan, suara Thukul masih terus bergaung. Salah satu petikan puisi Widji berjudul Penyair: " Jika tak ada kertas, aku akan menulis pada dinding.. Jika aku menulis dilarang, aku akan menulis dengan tetes darah!"

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline