RIAU ONLINE - Direktur Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Drasospolino dalam sambutan diskusi “Policy Practice Forum (PPF): Tantangan dalam Pembangunan KPH” yang diselenggarakan oleh The Nature Conservancy (TNC) Indonesia di Jakarta, Rabu, 25 Januari 2017 mengatakan bahwa keberadaan Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) dipercaya dapat memperbaiki tata kelola hutan di Indonesia.
“Kami melihat KPH dapat menjadi ujung tombak pengelolaan hutan di Indonesia yang dapat menyelesaikan berbagai persoalan di tingkat tapak antara pemangku kepentingan yang ada,” ungkap Drasospolino.
Terlebih lagi selama beberapa dekade terakhir, hutan Indonesia mendapat tekanan begitu kuat. Pemberian izin pengelolaan hutan kepada pihak swasta membuat fungsi ekonomi mendominasi, sementara fungsi ekologi dan sosial terpinggirkan. Dampak penurunan kondisi hutan pun telah terasa. Rusaknya ekosistem hutan di bagian hulu mengakibatkan banjir bandang menimpa kota Bima dan Garut tahun lalu, sementara konflik tenurial kehutanan terus muncul di berbagai daerah di Indonesia.
Sejak tahun 80-an saat Kementerian Kehutanan dipimpin oleh Soedjarwo, isu ini telah mendapatkan perhatian pemerintah. Pemerintah sebenarnya telah memiliki tekad kuat untuk melakukan penegasan terhadap peran tata kelola kehutanan dan melihat peran KPH sangat vital dalam mewujudkan hal ini.
“KPH adalah isu yang sangat penting untuk sektor kehutanan di Indonesia,” kata dia melalui siaran pers yang diterima RIAUONLINE.CO.ID, Kamis, 26 Januari 2017.
Drasospolino mengatakan pemerintah sedang menggodok beberapa regulasi untuk mendukung peran KPH. Saat ini, tengah dibahas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mengenai kerjasama pemanfaatan hutan di KPH-Lindung dan KPH-Produksi dengan fokus pada masyarakat setempat dan swasta
Bramasto Nugroho, seorang profesor dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) yang menjadi moderator diskusi ini mengungkapkan, kehadiran KPH dibutuhkan untuk menghadirkan manajemen yang efektif, membangun jaringan antar pemangku kepentingan, dan menggugah political interest dari pihak terkait dengan narasi yang bisa diterima. “Karena sebagian besar hutan milik publik,” kata Bramasto
Sementara itu, menurut Haryanto R. Putro dari IPM yang juga menjadi panelis dalam diskusi ini, di tingkat tapak kebanyakan KPH hadir di sebuah kawasan dengan banyak fungsi dan aktor yang hadir secara legal maupun ilegal.
“Peran KPH sangat strategis dalam menjaga kelestarian hutan. Sayangnya sinergi antara pemerintah pusat dan daerah terkait pembagian kewenangan belum terjadi,” ungkap Haryanto. Ia kemudian bercerita tentang beberapa contoh KPH yang berhasil, diantaranya yang ada di Provinsi Kalimantan Timur.
Pengamat KPH dari TNC, Agus Loekman melihat setidaknya ada lima masalah utama yang dihadapi oleh KPH. Pertama, adalah bagaimana KPH dapat mengelola konflik dengan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Kedua, bagaimana mewujudkan pembentukan pengelolaan KPH dalam keterbatasan sumberdaya. Ketiga, Mewujudkan hubungan harmonis dengan pemerintah daerah dan pusat juga menjadi tugas berat dari KPH. Keempat, sinergi antar pelaku pengelolaan hutan di dalam wilayah KPH dan kelima, bagaimana penilaian kinerja pengelolaan hutan lestari di tingkat KPH. Kedua poin terakhir, kata Agus, adalah permasalahan lain yang diangkat oleh TNC.
Dalam diskusi ini TNC menyampaikan beberapa rekomendasi terkait KPH, diataranya pembentukan komite independen untuk menyelesaikan akar permasalahan KPH, dokumentasi proses dan hasil penyelesaian yang terbuka bagi publik serta pembuatan peta jalan untuk pembangunan KPH.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagaimana dirancang dalam RPJMN 2010- 2014 telah menetapkan 530 unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPH-L)/
Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPH-P) dan 70 unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPH-K) di seluruh Indonesia.
Sebagai upaya operasionalisasi KPH, telah ditetapkan 120 unit KPHL/ KPHP Model dari 600 unit KPH tersebut dan Pemerintah telah memberikan stimulant untuk percepatan proses operasionalisasi KPH di lapangan berupa fasilitas penyiapan kelembagaan, sosialisasi, tata hutan dan penyusunan RPHJP, penyiapan SDM, pelatihan, serta sarana dan prasarana fisik dasar KPH.
Meski demikian, dari 430 KPH yang terbentuk di 34 provinsi maka baru 44 unit KPH (10%) yang memiliki SK Kelembagaan pada tingkat provinsi dan 136 unit KPH ditingkat Kabupaten (32%) yang memiliki SK Kelembagaan. Selanjutnya 82 unit KPH atau 19% yang sudah menyusun RPH-JP. Dari sisi pendanaan maka sejumlah 118 unit KPH atau 27% yang dianggarkan dari APBN/ DAK dan sejumlah 41 unit KPH atau 10% yang didanai dari APBD.
PPF adalah kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh TNC Indonesia sebagai forum diskusi antara pembuat kebijakan, pelaku usaha dan pemangku kepentingan lainnya. Hasilnya akan disusun sebagai rekomendasi TNC Indonesia kepada Pemerintah Indonesia untuk kebijakan yang terkait dengan lingkungan. Sedangkan TNC merupakan organisasi konservasi global yang bertujuan melindungi darat dan perairan tempat semua kehidupan bergantung.
Melalui pendekatan sains, TNC menciptakan solusi inovatif dan membumi untuk menghadapi tantangan yang semakin berat sehingga alam dan manusia dapat tumbuh bersama. TNC mencari solusi untuk perubahan iklim, melindungi darat, laut, dan samudera dalam skala yang sangat besar, dan membantu membuat kota-kota lebih lestari.
Bekerja di lebih dari 69 negara, TNC menggunakan pendekatan kolaboratif yang menghubungkan komunitas lokal, pemerintah di berbagai tingkatan, swasta, dan mitra lainnya. Di Indonesia, TNC telah bekerja mempengaruhi tata kerja dan kebijakan selama lebih dari 25 tahun. Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi www.nature.or.id atau @ID_Nature di Twitter.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline