RIAU ONLINE - Era penjajahan Jepang dikenang sebagai masa-masa penuh kesengsaraan oleh bangsa Indonesia. Bahan-bahan sandang dan pangan dirampas oleh tentara Jepang yang tak segan-segan melakukan tindakan keras kepada rakyat yang dianggap tidak mematuhi aturan mereka.
Atma salah seorang anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) mengatakan sebuah gamparan menjadi hukuman paling kecil oleh tentara Jepang. Militer Jepang tidak hanya main tangan kepada rakyat kecil, bahkan Presiden pertama RI, Soekarno pernah merasakan gamparan dari seorang perwira Kenpeitai, polisi militer Angkatan Darat Jepang yang berpangkat kapten.
Kala itu, seperti biasa sirene tanda bahaya berbunyi. Pemerintah militer Jepang mewajibkan rakyat untuk memadamkan lampu jika mendengar sirine. Tapi, Bung Karno yang sudah tinggal di Jakarta terlambat memadamkan lampu.
"Secercah kecil cahaya selama satu detik tampak bersinar dari luar yang gelap," ujar Sukarno seperti dituturkannya kepada Cindy Adams dalam Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, dikutip dari Historia.id, Kamis, 22 Desember 2016.
Baca Juga: Bung Karno Minta Dikafani Pakai Bendera Muhammadiyah
Tak lama setelah Bung Karno mematikan lampu, terdengar derap sepatu lars tentara Jepang di halaman rumahnya. Kemudian, pintu rumah Bung Karno digedor-gedor secara keras. Segera istri Bung Karno, saat itu Inggit Garnasih membuka pintu.
Dengan suara gemetar, Inggit bertanya ada apa gerangan? Lalu seorang kapten Kenpeitai dengan nada menggertak kembali bertanya siapa pemilik rumah tersebut. Inggit kembali menjawab bahwa dirinya adalah pemilik rumah tersebut.
"Bukan, yang kami maksud siapa kepala keluarga di rumah ini?! Di mana suami Nyonya?" tanya kapten tersebut.
Bung Karno yang khawatir terjadi sesuatu terjadi pada Inggit, lantas keluar dari kamarnya. Melihat kemunculan Bung Karno, perwira itu mendekat dan tanpa basa basi seraya membentak kasar, ia menampar wajah, pipi kanan dan kiri pemimpin rakyat Indonesia itu secara keras.
Klik Juga: Kutip Ayat Alquran, Inilah Pidato Bung Karno Kritik Tajam PBB
Inggit yang tak kuasa melihat sang suami diperlakukan demikian menjerit dan spontan berlutut. "Jangan! Jangan pukul dia. Saya yang harus bertanggungjawab, bukan dia! Ini bukanlah kesalahan dia! Mohon dia dimaafkan. Saya yang melakukannya," teriak Inggit.
Alih-alih menghentikan aksinya, perwira Jepang itu justru semakin brutal memukuli Bung Karno. Darah mengalir dari hidung dan bibir Soekarno. Namun, Soekarno tetap berdiri tegak meski dalam kondisi demikian.
“Aku tidak mengucapkan sepatah kata pun. Aku tidak berusaha membela diriku sendiri. Biarlah kesakitan ini menjadi kerikil di jalan menuju kemerdekaan. Hatiku berkata: langkahilah dia. Kalau engkau jatuh karenanya, berdirilah dan terus berjalan…” ujar Bung Karno.
Penganiayaan perwira Kenpeitai itu diprotes keras oleh Soekarno dan kawan-kawannya langsung kepada Gunseikanbu, pemerintah sipil yang dibentuk militer Jepang di Indonesia.
Menurut Mr. Sudjono, dalam buku Mendarat dengan Pasukan Jepang di Banten 1942, sebagian kecil orang Indonesia yang menjadi perwira dalam ketentaraan Jepang saat itu, dirinya tak diam saja mendengar Bung Karno diperlakukan secara kasar.
Lihat Juga: Ketika Amarah Bung Karno Meledak di Depan Protokoler Presiden AS
“Meskipun mereka tak dapat mencegahnya, namun secara resmi pihak Gunseikanbu meminta maaf atas terjadinya peristiwa itu,” tulis Mr. Sudjono.
Kemudian, Kepala bagian Pemerintahan Militer Jepang, Kolonel Nakayama secara pribadi meminta maaf secara langsung kepada Soekarno. Ia berdalih bahwa sang kapten Kenpeitai tidak tahu apa-apa dan tidak paham siapa Soekarno sebenarnya.
“Segera akan diambil tindakan terhadap orang itu…” demikian janji Kolonel Nakayama kepada Bung Karno. Lantas dihukumkah kapten Kenpeitai tersebut? Tak pernah ada kejelasan terkait hal itu hingga kini.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline