Mulai Tahun Depan, OJK Larang Bank Danai Perusahaan Perusak Lingkungan

ILUSTRASI-OJK.jpg
(ANTARAFOTO)

RIAU ONLINE - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mencoret nama-nama perusahaan yang melakukan pengrusakan lingkungan dari daftar penerima kredit lembaga jasa keuangan.

 

Menurut Deputi Komisioner Pengawasan Perbankan OJK, Mulya Siregar, dihilangkannya nama-nama perusahaan dari daftar penerima kredit itu merupakan implikasi dari komitmen pembiayaan berkelanjutan (sustainable finance) yang mengedepankan keselarasan kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan hidup.

 

Kebijakan rencana tersebut, kata Mulya, akan tertuang dalam peraturan OJK (POJK) yang akan diterbitkan pada 2017 mendatang. Pada 5 Desember 2014 lalu, OJK sudah menerbitkan peta jalan (roadmap) keuangan berkelanjutan 2015-2019.

 

Mulya menjelaskan, lembaga pembiayaan, baik bank maupun non bank, seharusnya turut mengambil peran dalam menegakkan tiga pilar kesinambungan ekonomi, yakni people (orang), planet dan profit (laba).

 

Menurutnya, selama ini lembaga pembiayaan terutama perbankan di Indonesia masih berorientas pada keuntungan atau profit dan mengesampingkan dampak lingkungan dari proyek yang dikerjakan oleh suatu perusahaan.

 

Selama ini, kata dia, kebijakan pembiayaan hanya mengandalkan kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai pertimbangan dalam menyalurkan kredit. Padahal, lanjutnya, hal itu dianggap belum cukup sehingga dibutuhkan kebijakan lebih lanjut untuk membatasi kredit bagi perusahaan yang dianggap memberikan dampak eksternaliitas negatif bagi lingkungan.



 

"Amdal saja tidak cukup, kenyataannya banyak proyek yang masih punya dampak negatif kepada lingkungan," ujar Mulya dikutip dari CNN Indonesia, Selasa, 15 November 2016.

 

Mulya mengatakan, OJK dalam merumuskan kebijakan akan mengacu pada kebijakan China Banking Regulatory Commision (CBRC). Kondisi pertumbuhan industri China yang pesat diimbangi dengan peningkatan kerusakan lingkungan yang parah mendorong CBRC menerbitkan Green Credit Guidelines pada tahun 2012 yang mencakup pengelolaan risiko lingkungan dan sosial, green lending dan penghijauan operasional bank.

 

"Di China sudah memasukan sustainable financing kedalam regulasi lembaga jasa keuangannya, kami melihat ini bisa menjadi pertimbangan untuk mengikuti jejak China," ujarnya.

 

Selain itu, OJK juga akan mengacu pada negara lain yang menerapkan konsep pembiayaann berkelanjutan seperti Mongolia, Brazil, Bangladesh, Kolombia dan Vietnam.

 

Mulya pun tidak menampik, jika nantinya kebijakan OJK tersebut akan berdampak pada kinerja bank dalam memberikan kredit di tengah situasi pertumbuhan kredit yang lesu. Demikian pula untuk perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor komoditas seperti CPO, batubara hingga perusahaan kerta pun terancam tidak akan mendapatkan pembiayaan dari bank jika dalam kegiatan usahanya menimbulkan kerusakan lingkungan.

 

"Namun, sekarang sudah saatnya perbankan itu mengubah mindset (pola pikir) tidak hanya mengejar profit saja, berpikir lah tiga pilar itu, kalau kita tidak mau berubah tunggu saja lingkungan kita akan semakin parah," ujarnya.

 

Ia mengklaim rencana tersebut telah mendapat dukungan dari delapan bank dalam negeri yakni Bank Mandiri, BNI, BRI, BCA, Bank Muamalat, BNI Syariah, BJB, dan Bank Artha Graha.

 

Dengan dikeluarkannya POJK Pembiayaan Berkelanjutan, Mulya berharap, pola pikir perusahaan dalam melakukan bisnis kedepannya bisa sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable deveopment).

 

"Respon perbankan sudah cukup baik, kami minta mereka tidak lagi meng-cover proyek-proyek yang tidak menerapkan SDG," ujarnya.

 

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline