RIAU ONLINE - Kekuasaan negara Presiden Soekarno ditarik Majelis Permusyarawatan Rakyat Sementara (MPRS) setelah pidato pertanggungjawabannya yang berjudul Nawaskara ditolak. Tak ada wakil Presiden kala itu, Soeharto sebagai penerima Supersemar diangkat sebagai Pejabat Presiden. Namun, Soeharto menolak disebut Pejabat Presiden. Mengapa?
Soeharto kemudian mengungkapkan alasannya saat pertemuan yang digelar di kediamannya di Jalan Haji Agus Salim, Menteng, Jakarta Pusat. Pertemuan pada 11 Maret 1967 itu dihadiri para pendukungnya dari kalangan militer, organisasi politik, mahasiswa dan pemuda.
Menurut seorang aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Jusuf Wanandi, Soeharto menolak menjabat sebagai Pejabat Presiden karena secara emosional Soeharto merasa dekat dengan Soekarno, bapak pendiri bangsa yang mengangkat banyak pemimpin sipil dan militer.
“Soeharto juga pernah bergantung pada Soekarno. Dia tidak ingin terkutuk karena mengkhianati penolongnya,” kata Jusuf dalam memoarnya, Menyibak Tabir Orde Baru, seperti dikutip dari Historia.id, Selasa, 1 November 2016.
Baca Juga: Bantu Indonesia Merdeka, Hitler dan Nazi Kirim Senjata ke Soekarno
Soeharto juga tidak ingin menjadi lawan politik Soekarno, namun tidak dapat menerima PKI dan tiga kali meminta agar PKI dibubarkan. Sayangnya, Soekarno menolak permintaan Soeharto itu.
Anggota DPR-GR/MPRS, Ismail Suny yang juga hadir dalam pertemuan itu, dalam Misteri Supersemar karya Eros Jarot mengungkapkan bahwa sebenarnya "Soeharto itu takut sama Soekarno."
Pasalnya, pengaruh Soekarno masih kuat dan angkatan perang, mulai Angkatan Udara, Angkatan Laut, Polisi dan sebagian besar Angkatan Darat masih memihaknya. Semua siaga tinggal menunggu komando Bung Karno untuk melawan Soeharto. Jika terjadi kesalahan kecil saja, “Bisa-bisa semua melawan saya,” kata Soeharto kepada mereka.
Namun Jusuf mengatakan kala itu, Soeharot membangun argumennya melalui cerita pewayangan Mahabharata yang mengisahkan ketika Abiyasa, pendiri dinasti Pandawa dan Kurawa sudah tua, ia menarik diri dari urusan dunia dan menjadi pertapa. Sementara, tampuk peemerintahan diserahkan kepada generasi berikutnya.
Dengan demikian, Soeharto ternyata ingin Soekarno menjadi Abiyasa, sementara dia yang menjalankan tugas sehari-hari kepresidenan. “Tujuannya bukan menjadi pejabat presiden karena ini berarti dia menggantikan Sukarno, melainkan menjadi orang yang melaksanakan tugas presiden,” kata Jusuf.
“Saya hanya ingin menjadi pengawal kepresidenan. Kalau saya menggunakan istilah pejabat presiden, rakyat akan mengutuk saya,” kata Soeharto kala itu.
Soeharto kemudian mengusulkan "Pd Presiden", yang artinya "Pemangku Djabatan Presiden" setelah menolak istilah "Pejabat Presiden".
Klik Juga: Kibarkan Bendera China, Bagansiapi-api Berubah Jadi Lautan Api
“Kami menolak karena istilah itu seharusnya pejabat presiden,” kata Jusuf.
Kemudian terjadilah perdebatan berjam-jam. “Baik bapak. Bapak tidak ingin pejabat, mahasiswa tidak menerima istilah pemangku djabatan. Kenapa kita tidak menafsirkan masing-masing saja. Bapak satu tafsir, kami tafsir lain,” kata Jusuf.
Seoharto yang semula enggan menjadi pejabat presiden akhirnya menerima jabatan tersebut. "Kita bujuk terus dia hingga akhirnya mau," kata Ismail Suny.
Jam menunjukkan pukul 05.00 WIB. Beberapa jam kemudian, Soekarno turun dari jabatan Presiden. "Sementara Soeharto diangkat sebagai pejabaat atau pemangku djabatan tergantung siapa yang menafsirkan, MPRS atau Soeharto," kata Jusuf.
Saat dilantik sebagai Pejabat Presiden oleh Ketua DPR-GR/MPRS A.H Nasution, menurut Ismail Suny, Soeharto tidak mau mengucapkan kata-kata Pejabat Presiden.
Lihat Juga: Dua Pasukan Khusus TNI Ini Loyal ke Bung Karno Hingga Lengsernya
“Eh, setahun kemudian Soeharto minta diangkat menjadi presiden. Alasannya, Jepang enggan memberi utang pada Indonesia kalau Soeharto berstatus pejabat presiden,” lanjutnya.
Akhirnya dalam Sidang Umum MPRS V pada 27 Maret 1968, Soeharto dilantik sebagai Presiden RI. Sebenarnya, hal ini melanggar Tap MPRS No. XXXI-11/1967 yang menyebutkan Soeharto tiangkat menjadi pejabata presiden sampai pemilihan umum.
“Jika awalnya Soeharto sangat sederhana dan tidak ingin menjadi presiden penuh menggantikan Soekarno, kelak dia berubah dan malah terlalu lama menjabat sebagai presiden,” kata Jusuf
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline