Jikalahari: Hentikan Pembukaan Lahan Gambut RAPP Secara Permanen

Kepala-BRG-DiHadang.jpg
(RIAUONLINE.CO.ID/AZHAR SAPUTRA)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan dan Badan Restorasi Gambut (BRG) memanggil petinggi PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) terkait penghadangan usai penghadangan terhadap Kepala BRG, Nazir Foead saat memasuki konsesi PT RAPP di Desa Bagan Melibur, Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau pada Senin 5 September 2016.

 

Pertemuan yang dihadiri Sekjen KLHK, Bambang Hendroyono, Nazir Foead dan Direktur Utama PT RAPP, Tony Wenas menghasilkan kesepakatan, yakni penghentian sementara pembukaan lahan dan kanal di lahan gambut di Desa Bagan Melibur selama tiga bulan hingga peta hidrologis gambut rampung.

 

Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Woro Supartinah menyayangkan tindakan pemerintah yang hanya memberikan penghentian sementara kegiatan pembukaan lahan dan kanal di lahan gambut oleh PT RAPP.

 

“Hasilnya sungguh mengejutkan. Harusnya pemerintah menghentikan permanen kegiatan pembangunan kanal-kanal di lahan gambut Pulau Padang oleh PT RAPP, bukan menghentikan sementara,” tegas Woro melalui siaran pers yang diterima RIAUONLINE.CO.ID, Selasa, 13 September 2016.

 

Jikalahari mendesak pemerintah untuk melakukan penghentian permanen dengan merujuk pada Pertama, Pasal 23 Ayat (2 dan 3) PP 71 Tahun 2014 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, intinya lahan gambut dikategorikan rusak jika terdapat drainase buatan di ekosistem gambut dengan fungsi lindung atau muka air tanah di lahan gambut pada fungsi budidaya lebih dari 0,4 meter di bawah permukaan gambut.

 

"Kedua hal tersebut sangat potensial terjadi pada lahan gambut di Pulau Padang," kata Woro

 

Kedua, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah mengeluarkan surat edaran S. 494/MENLHK-PHPL/2015 untuk melarang IUPHHK HTI/ HA, RE serta pemegang izin usaha perkebunan melakukan pembukaan lahan baru pada kawasan gambut.

 

Ketiga, Surat Instruksi MenLHK S.495/2015 tanggal 5 November 2015 tentang instruksi pengelolaan lahan gambut, dan juga di dalam Surat Edaran Menteri KLHK No. S 661/Menlhk-Setjen/Rokum/2015 tentang arahan Presiden RI – Rapat Kabinet-4 November 2015.

 

Pada Surat Instruksi MenLHK itu disebutkan : Dilarang melakukan pembukaan lahan (land clearing) untuk penanaman baru, meskipun dalam area yang sudah memiliki izin konsesi,” serta “dilarang melakukan aktifitas penanaman di lahan dan hutan yang terbakar karena sedang proses penegakan hukum dan pemulihan.

 

"Kerap terjadi, perusahaan seringkali mengabaikan regulasi dan baru mematuhinya jika telah tersandung masalah," ujar Woro.

 

Menurut Woro, kasus tersebut menjadi contoh, PT RAPP memenuhi aturan 20 persen area konsesinya sebagai area Tanaman Kehidupan seperti tertera dalam Peraturan Menteri (Permen) LHK No. P.12/Menlhk-12/2015 tentang pembangunan Hutan Tanaman Industri, dan menyesuaikan RKU dan RKT-nya berdasarkan aturan tersebut, setelah kasus konflik dengan masyarakat terjadi, dan kasus ini terbuka ke publik.

Baca Juga: RAPP Belum Disanksi, Anggota DPR:Pemerintah Jangan Lembek kepada Perusahaan Besar

 

Tidak hanya Jikalahari, Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) juga kecewa terhadap keputusan tersebut. Pasalnya, kata Woro, masyarakat mengharapakan pemerintah untuk mengambil langkah tegas dan bertindak sesuai hukum karena telah bekerja di dalam wilayah administrasi Desa Bagan Melibur yang semestinya berdasarkan SK perizinan HTI PT RAPP No. 180/Menhut-II/2013 Desa Bagan Melibur dikeluarkan dari areal kerja PT. RAPP.

 

Selain itu, tegasnya RAPP terus menghancurkan hutan alam dan membuka kanal baru secara massif sejak Juni hingga Agustus 2016.



 

"Desa Bagan Melibur itu kedalaman gambutnya mencapai 5-12 meter, dan itu kategori gambut dalam yang seharusnya dilindungi” kata Isnadi Esman, Sekjen Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR)," kata Sekjen JMGR, Isnadi Esman.

 

Isnadi menegaskan harusnya kasus RAPP itu menjadi titik balik bagi pemerintah untuk serius menyelamatkan gambut dan mengembalikan ruang hidup dan ruang kelola kepada rakyat.

 

"Kami mengapresiasi kerja Badan Restorasi Gambut (BRG) yang telah merespon laporan masyarakat, dan berharap BRG bisa memberikan masukan-masukan kepada Menteri LHK terkait implementasi dan pelanggaran PT. RAPP di Pulau Padang“ lanjutnya.

 

Woro mengatakan temuan RAPP menghancurkan hutan alam, merusak gambut dengan membangun kanal dan berkonflik dengan masyarakat bukanlah hal yang baru. Menurutnya, persoalan konflik perusahaan dengan masyarakat juga terjadi di Semenanjung Kampar dan konflik tersebut masih terjadi.

 

Konflik yang terjadi di Semenanjung Kampar terjadi karena adanya tmpang tindih antara izin IUPHHK-Restorasi Ekosistem PT Gemilang Cipta Nusantara yang berafiliasi dengan Grup APRIL/PT RAPP dengan izin Hutan Desa Segamai seluas 455 hektare.

 

“Dengan dalih ijin restorasi, lahan hak kelola masyarakat kembali menjadi pertaruhan” tambah Woro.

 

Woro menegaskan praktik-praktik perusahaan di lahan gambut harus dipertanyakan kembali. Pasalnya, dampak yang ditimbulkan dan persoalan yang melekat dalam pengelolaan oleh korporasi seperti kerusakan gambut, subsidensi, banjir, kebakaran, dan konflik sosial.

Klik Juga: Indonesia Darurat Kejahatan Korporasi, Walhi: Ada Apa dengan Kepolisian RI?

 

Berdasarkan hasil riset terbaru yang dilakukan Deltares - Wetlands International pada 2015 menunjukkan bahwa di kawasan Semenanjung Kampar dalam hitungan dekade akan menghadapi masalah banjir yang luas dan berkepanjangan.

 

Di Indonesia, pengelolaan lahan gambut sangat dipengaruhi oleh pendekatan "eko-hidro". Model inilah yang dikembangkan oleh Asia Pacific Resources International Limited (APRIL) yang merupakan grup dari PT RAPP. Model Ekohidro mengklaim pengelolaan lahan gambut berkelanjutan berbasis drainase.

 

"Padahal berbagai bukti ilmiah dan publikasi menyebutkan sebaliknya, dimana pendekatan “eko-hidro” tidak berhasil memitigasi efek samping drainase," kata Direktur Wetlands International Indonesia, Nyoman Suryadiputra.

 

Studi di atas menyimpulkan bahwa tidak adanya perbedaan yang signifikan antara laju subsiden gambut pada lahan yang didrainase tanpa eko hidro dengan yang di drainase dengan pendekatan “eko-hidro”.

 

Sayangnya, lanjut Nyoman, MenLHKS.495/2015 tanggal 5 November 2015 malah menyarankan penggunaan teknologi Eko-Hidro berbasis hidrologis itu untuk kawasan gamut yang sudah ditanami. Menurutnya, rekomendasi itu kurang tepat dan perlu untuk lakukan peninjauan kembali.

 

"“Pengelolaan/pemanfaatan lahan gambut berkelanjutan harus didasarkan pada bukti ilmiah yang kuat, bukan pada klaim sepihak perusahaan yang biasanya cenderung memiliki kepentingan bisnis semata dan mengabaikan semua bukti ilmiah dan dampak negatif luar biasa yang dapat ditimbulkan," katanya.

 

Nyoman menjelaskan pembukaan lahan gambut masih terjadi dengan membangun kanal-kanal drainase oleh RAPP, bahkan mereka menunjukkan ketidakpedulian perusahaan atas keberlanjutan lahan tersebut dalam jangka panjang.

 

"Karena hanya akan menguntungkan mereka secara sesaat. Dampak negatif lanjutannya akan dirasakan oleh masyarakat sekitar” kata Nyoman.

Lihat Juga: Diduga Ada Oknum TNI/Polri Bekingi Korporasi Perambah Hutan

 

Sebab itu, Jikalahari, JMGR dan Wetland Indonesia merekomendasikan sebagai berikut:

 

1. Mendesak PT. RAPP memenuhi komitmen keberlanjutannya untuk tidak membangun kanal-kanal dan membuka lahan gambut baru di seluruh Indonesia, dan mengumumkan upaya “phase-out” untuk kegiatan-kegiatan budidaya yang berbasiskan /menggunakan saluran-saluran kanal drainase di seluruh areal konsesinya di lahan gambut.

 

2. PT RAPP untuk melaksanakan program restorasi (rewetting) lahan gambut pada seluruh wilayah konsesi yang dikelolanya pada lahan gambut.

 

3. KLHK dan BRG menindak tegas pelanggaran yang dilakukan oleh PT RAPP sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku, termasuk upaya pencabutan izin dan kewajian merestorasi kawasan yang dirusak.

 

4. Menteri LHK untuk mencabut poin 3 dalam Surat Instruksi MenLHK S.495/2015 tanggal 5 November 2015 yang merekemondasikan penggunaan teknologi eko hidro pada lahan gambut yang telah ditanam karena pendekatan ini terbukti tidak berkelanjutan.

 

5. KLHK untuk menegaskan kembali dikeluarkanya Desa Bagan Melibur dari areal konsesi PT. RAPP sebagaimana tercantum dalam SK. 180/Menhut/II/2013.

 

6. APRIL Grup untuk mengeluarkan wilayah yang berkonflik dengan masyarakat diantaranya di area berkonflik dengan desa Segamai dari luasan ijin Restorasi Ekosistemnya.

 

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline