RIAU ONLINE - Carika, seorang wanita berusia 29 tahun menderita disabilitas psikososial. Tinggal di sebuah desa di Jawa Tengah sebagai penjual beras dan tempe di sebuah warung pinggir jalan.
Itu merupakan perubahan yang luar biasa untuk seorang wanita yang hampir sekitar lima tahun lalu terkunci kandang kambing sempit dan kotor, nyaris tak mampu bergerak dan dipaksa untuk makan, tidur hingga buang air besar di tengah bau dari kotoran kambing.
Pihak keluarga Carika selama ini telah berjuang untuk mengobatinya, namun mereka tidak dapat menjangkau dan mendukung perawatan kesehatan jiwanya, hingga terpaksa mengurung serta mengabaikan permohonan Carika untuk tidak dikunci ditempat pengap itu lagi dan itu telah dilakukan selama empat tahun. Hingga akhirnya mereka membebaskan Carika saat media mulai menyorotinya.
Carika adalah satu dari 57.000 orang dengan ketidakmampuan psikososial nyata di Indonesia yang telah dipasung di ruang yang tak selayaknya ditempati. Data terbaru pemerintah menunjukkan 18.800 orang saat ini masih terbelunggu dan dipasung di Indonesia.
BACA JUGA : Polisi Tangkap Mahasiswa Nyambi Bandar Narkoba
Sejak tahun 1977, sebenarnya pemerintah sudah mengeluarkan larangan pemasungan, namun masih saja ditemukan tindakan pemasungan baik dikeluarga maupun panti sosial.
KLIK JUGA : Jambret Ini Bonyok Dihajar Ibu-Ibu
Human Rights Watch (HRW) membuat laporan berjudul Living in Hell (Hidup di Neraka) mengkaji tentang pelanggaran termasuk pasung terhadap penyandang disabilitas psikososial yang ditemukan di masyarakat, rumah sakit jiwa dan berbagai lembaga lainnya di Indonesia, termasuk diantaranya stigma, penahanan sewenang-wenang yang berkepanjangan. Hal ini turut menguraikan betapa lemahnya pemerintah dalam menangani masalah ini.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di seluruh pulau-pulau di Indonesia, Human Rights Watch menemukan 175 kasus penyandang disabilitas psikososial yang dipasung maupun yang baru-baru ini dibebaskan dari pasung.
Di Indonesia, ada kepercayaan yang menyebutkan bahwa kondisi kesehatan jiwa adalah hasil dari kepemilikan roh-roh jahat yang terlihat dari perilaku tidak bermoral. Akibatnya, keluarga biasanya lebih memilih untuk berkonsultasi kepada dukun dan tak jarang menjadikan pengobatan medis sebagai pilihan terakhir.
Seperti dilansir dari BBC Indonesia, pada 2014, 1.274 kasus pasung dilaporkan di 21 provinsi dan 93 persen telah bebas. Namun, tidak ada data yang menyebutkan jumlah dari mereka yang berhasil direhabilitasi dan jumlah yang harus kembali menghadapi pasung saat pulang ke keluarga masing-masing.
“Seharusnya orang yang mengalami schizophrenia atau bipolar dirawat dengan obat, tergantung dosisnya, sehingga mereka bekerja seperti biasa. Namun di Indonesia, perawatan ini minim sekali. Dari 34 provinsi di Indonesia, delapan provinsi tidak punya rumah sakit jiwa. Dan dari delapan provinsi itu, tiga provinsi tidak punya satu pun psikiater,” kata Andreas kepada wartawan BBC Indonesia, Jerome Wirawan.
Human Rights Watch mencatat 25 kasus kekerasan fisik dan 6 kasus kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitias psikososial di masyarakat, rumah sakit, panti sosial hingga pusat pengobatan alternatif.
Pada 2011, Indonesia meratifikasi Konveksi Hak-hak Penyandang Disabilitas (CRPD). Tujuannya untuk menjamin hak-hak yang sama bagi semulurh pendang disabilitas, termasuk hak atas kebebasan dan keamanan serta bebas dari penyiksaan dan perlakuan buruk.
Adanya konvensi tersebut, Human Rights Watch mendorong pemerintah agar dapat mengawasi dengan ketat dan melarang praktik pasung. Selain itu, pemerintah juga diingatkan utnk mengembangkan upaya progresif pada pusat kesehatan jiwa dan pusat layanan pendukungnya.
“Anggaran Kementerian Kesehatan tahun 2015 adalah 1,5% dari total APBN. Pengeluaran untuk kesehatan jiwa diabaikan, artinya ada kesenjangan lebar dan belum terpenuhinya berbagai layanan kesehatan jiwa,” kata Andreas Harsono dari HRW.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline
Sumber: Human Rights Watch - BBC Indonesia