TAHAPAN pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil kepala Daerah (Pilkada) Serentak gelombang kedua 2017 mendatang, secara resmi telah diumumkan KPU RI, Senin, 15 Februari 2016. Sebanyak 101 daerah terdiri dari 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota mengelar pemilihan kepala daerah serentak pada 15 Februari 2017 mendatang.
Adapun daerah menggelar pemilihan serentak tersebut meliputi, daerah masa jabatan kepala daerahnya habis pada semester kedua (Juli-Desember) 2016 dan habis pada semester pertama (Januari-Juni) dan semester kedua 2017. Untuk di Riau, ada Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar.
Meskipun tahapan pelaksanaan pilkada sudah resmi diumumkan, namun sejumlah permasalahan terkait regulasi peraturan perundang-undangan belum kunjung diberesi.
Sejumlah materi di UU No 1/2015 tentang Pilkada harus direvisi karena tak mungkin lagi diterapkan menyusul dikabulkannya hasil uji materi oleh MK. Ditambah lagi pengalaman pelaksanaan Pilkada Serentak gelombang pertama 2015, banyak materi di UU ini tak dapat mwnyelesaikan permasalahan di lapangan.
Sebenarnya, berkaca pada perjalanan UU pilkada ini sejak disahkan dan setelah melalui perjalanan dan kontroversi yang panjang, UU pemilihan kepala daerah tak serta merta hadir sebagai produk perundang-undangan yang bisa diterima semua kalangan.
Sejak diundangkan pertama kali sebagai umbrella law (payung hukum) pelaksanaan pilkada melalui UU No 22/2014, terus menuai perdebatan. Bahkan, peraturan yang selalu disebut sebagai UU payung ini karena untuk pertama kalinya pengaturan tentang pilkada diatur sendiri, lepas dari UU tentang pemerintah daerah, langsung ditolak oleh masyarakat. Salah satu poin inti penolakan itu karena dikembalikannya sistem pemilihan langsung menjadi pemilihan melalui DPRD.
Akibat penolakan yang meluas, Presiden SBY ketika itu langsung mencabut UU tersebut dengan mengeluarkan Perppu No 1/2014. Intinya, mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah menjadi langsung dipilih oleh masyarakat.
Namun, dalam perjalanannya Perppu ini juga tak menyelesaikan masalah dan tak bisa serta merta bisa diterapkan sebagai regulasi untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah ketika itu.
Lagi-lagi kontroversi kembali muncul. Sebagian kalangan berpendapat, Perppu harus disahkan dulu menjadi UU, selanjutnya dilakukan revisi agar bisa memayungi pelaksanaan pilkada di 2015. Sebagian lagi berpendapat, Perppu harus ditolak, dan DPR bersama pemerintah segera mengusulkan rancangan UU baru.
Namun pendapat kedua ini terlalu berisiko karena bakal terjadi kekosongan hukum jelang usulan UU yang baru disahkan. Akhirnya dengan segala kelemahannya, meski di sana-sini banyak memiliki catatan, Perppu No 1/2014 disahkan menjadi UU No 1/2015 pada 18 Januari 2015 dengan rekomendasi secepatnya dilakukan revisi setelah disahkan.
Hasil revisi terhadap UU No 1/2015 melahirkan UU No 8/2015. Tujuan UU ini membenahi sejumlah materi yang tumpang tindih, bahkan multitafsir. Baik sebagai "cacat" bawaan di UU No 22/2014, Perppu No 1/2014 dan UU No 1/2015, maupun materi yang saling bertabrakan karena tidak singkronnya di ketiga regulasi tersebut.
Karena waktu yang singkat, dan tergesa-gesa menyiapkan pilkada 2015, UU No 8/2015 ketika diimplementasikan ternyata tak dapat menyelesaikan permasalahan yang muncul di lapangan. Beberapa catatan selama pilkada 2015, adalah munculnya calon tunggal, dualisme parpol di tingkat DPP, politik uang, dan panjangnya waktu penyelesaian sengketa TUN di lembaga peradilan.
Akhirnya, kita sama-sama berharap kelemahan di UU pilkada cepat disikapi oleh pemerintah dan DPR. Jauh untuk bisa bicara soal kualitas hasil pilkada, jika regulasi sebagai sandaran pelaksanaan pilkada masih banyak ditemui kelemahan. Semoga. ***