RIAU ONLINE - Kerap di angkat sebagai isu kontroversial, produk kelapa sawit di Indonesia tetap saja menguasai pasar dunia. Sekitar 52 persen (31,3 ton) dari 59,6 juta ton produksi minyak sawit dunia dihasilkan dari Indonesia.
Keuntungan yang didapat dari sektor ini tak bisa dibilang kecil. Tahun lalu saja, Gabungan Asosiasi Pengusahan Kelapa Sawit Indonesia GAPKI mencatat, nilai ekspor minyak sawit mencapai US$18,64 miliar atau sekitar Rp250 triliun lebih. Pengimpor terbesarnya adalah India, negara-negara Uni Eropa, serta Cina.
Namun di sisi lain muncul kekhawatiran, seberapa ramah lingkungan sebenarnya produk bisnis ini. Kekhawatiran inilah yang coba dijawab oleh sistem sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil, ISPO dan Roundtable Sustainable Palm Oil, RSPO.
Menurut mereka, pasar kelapa sawit Eropa, terutama di Amerika Serikat meminta produk kelapa sawit asal Indonesia yang akan dijual di sana memiliki sertifikasi RSPO. Sertifikasi ini memastikan agar kelapa sawit yang dijual tak berasal dari lahan yang membuka hutan lindung atau lahan konservasi dan tak melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam produksinya, sehingga konsumen merasa aman dalam menggunakan produk tersebut.
Sejak 2011, Indonesia memang mewajibkan setiap perusahaan memiliki sertifikasi ISPO. Masalahnya, sertifikasi ISPO yang merupakan inisiatif pemerintah melalui Kementerian Pertanian, tak diakui oleh banyak negara. Sehingga pengusaha kelapa sawit merasa mereka harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk melakukan dua proses sertifikasi berbeda.
Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif GAPKI mengatakan, “Kalau sistem sertifikasinya banyak, kan cost yang harus kita keluarkan semakin banyak. Concern kita gimana dua sistem sertifikasi itu, bukan digabung, tapi minimal saling merekognisi dan ada join audit, dan cukup sekali, jadi cost-nya lebih murah.”
Pada 2011 lalu, GAPKI sebagai asosiasi mengundurkan diri dari keanggotaan RSPO karena akan mendukung ISPO. Namun kini Fadhil mengatakan bahwa “untuk ikut atau keluar dari RSPO itu tergantung masing-masing anggota”.
KLIK JUGA : Inilah Ruang Publik Didirikan Astra
Meski begitu, dia menegaskan, bahwa pasar Eropa, walaupun hanya 20% dari penjualan produk kelapa sawit Indonesia, tetap merupakan pasar penting yang dituju sehingga sertifikasi RSPO penting dimiliki oleh pengusaha kelapa sawit di Indonesia.
Oleh dunia, RSPO dilihat sebagai satu-satunya mekanisme global untuk mengerem dampak lingkungan bisnis kelapa sawit. Tetapi menurut Fadhil, kedua sistem sertifikasi tersebut “hanyalah alat”. Karena yang terpenting, ia ingin agar ISPO juga dilihat sebagai bentuk komitmen pemerintah dan industri serta pelaku usaha mengelola kelapa sawit secara berkelanjutan.
BACA JUGA : Petani Sawit Jadi Target Investasi Berjangka Bodong
“Komitmen itu harus diakui oleh negara-negara lain. Sekarang kita sudah menjalankan (standar) ISPO, tapi tools (ukuran) keberlanjutannya belum diakui, masalahnya di situ,” ujar Fadhil lagi.