Akademisi: Negara Telah Disandera Partai Politik

Fitra-Riau.jpg
(INTERNET)

RIAUONLINE, PEKANBARU – Akademisi Universitas Islam Riau (UIR), Dr Syaifuddin Syukur mengeluarkan kritik pedas untuk partai politik dalam diskusi publik yang digelar Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau. Menurutnya partai politik telah lama menyandera negara.

 

“Sesungguhnya secara de facto partai politik memang telah menyandera negara kita,” tukasnya, dihadapan forum diskusi yang dihadiri oleh perwakilan partai politik, media, akademisi, mahasiswa, KPU dan Bawaslu Riau. Senin (21/9/2015) siang.

 

Kata Syaifuddin, dalam realitasnya partai itu hadir dengan dua wajah yang berbeda. Sebagian orang memandang partai memang harus ada dan sangat diperlukan. "Ini biasanya pendapat para kader partai maupun petinggi partai ataupun praktisi." (LIHAT: Tata Kelola Keuangan Buruk, Ini Jawaban Partai)

 

Namun jumlahnya sangat sedikit jika dibandingkan dengan pendapat bahwa partai itu sangat membahayakan dan memecah-belah. Golongan ini didomonasi hampir seluruh elemen masyarakat yang memandang partai secara empiris sangat memicu perpecahan di masyarakat.


“Seperti contoh, ketika suatu daerah dimenangkan oleh Gubernur yang berasal dari partai Golkar, biasanya daerah yang jumlah pemilihnya paling sedikit itu dibiarkan terlantar dan tak diakomodir. Itu terjadi di daerah saya pada tahun 1980an ketika kampung saya menjadi basis PPP. Jangankan pembangunan, ngurus KTP saja tak dikasih malah disuruh pulang,” urainya kecewa. (BACA: Alexander Yandra: Parpol Pilar Korupsi)

 



Menurutnya, partai hanya melahirkan para mafia atau kartel yang kerjanya menggerogoti negara menjadi semakin terpuruk. Saifuddin kemudian mempertanyakan untuk apa partai harus dipertahankan terus jika pada substansi tugas dan fungsinya ia tak pernah dijalankan.

 

“Fungsi partai itukan menjadi infrastruktur dalam menjembatani antara rakyat dan pemerintah sebagai suprastrukturnya. Tapi apakah agen atau medium itu berjalan semestinya?” ujarnyanya. (LIHAT: Fitra Riau Minta Eksekusi Paksa Partai Pembangkang)

 

” Partai itu sebenarnya sebagai wadah ideologis tapi yang ada hanya kepentingan. Contohnya jelas kita lihat bahwa di pusat ada KIH dan KMP, tapi coba lihat di bawahnya betapa partai itu sangat inkonsestensi dan carut-marut sekali. Tidak ada lagi koalisi atas nama ideologi, karena memang sesungguhnya tak ada ideologi dalam partai kita. Yang ada hanya kepentingan,” Ia menambahkan.

 

Peraih gelar PhD dari Delhi University India ini memandang partai politik dalam kulturnya tidak pernah membangun etika politik yang santun sesuai dengan TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Dalam Tap MPR tersebut pentingnya etika politik dan pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien dan efektif serta menumbuhkan suasana demokratis.

 

“Partai Politik itu memang tidak akan pernah mau diatur meskipun jelas regulasinya. Itu karena pada dasarnya mereka tidak mengenal etika ataupun nilai dalam berpolitik. Maka dalam tata kelola keuangan yang seharusnya dilaporkan sebagai sebuah kewajiban malah secara sadar dilanggar karena merasa tidak akan ada sanksi yang berat kalau tak melakukan itu, maka semua partai bersama-sama melakukan hal tersebut,” ujarnya.

 

Saifuddin ragu keadaan ini akan berubah secara cepat kendati soal sanksi dan hukuman telah diperjelas dan dipertegas dalam undang-undang. Ia melihat kesalahannya adalah persoalan yang jauh lebih mendasar ketimbang masalah transparansi keuangan. Ia melihat bahwa tidak ada penanaman moral dalam berpolitik di negara ini.

 

“Saya berani bertaruh dengan siapapun yang ada di sini, siapa yang berani jamin keterpurukan ini dapat berubah dalam waktu 20 tahun mendatang? Saya yakin tidak ada perubahan sedikitpun,” celetuknya dengan nada skeptis kepada para hadirin yang hadir.