RIAUONLINE - Meninggalnya perokok aktif Roby Indra Wahyuda meninggalkan pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintah dan Kementerian Kesehatan. Rokok sudah jelas mengandung racun, namun bagi perokok itu bukan masalah besar.
Penasehat Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Kartono Muhammad mengatakan, makanan atau zat yang berbahaya bagi kesehatan seperti tahu berformalin, dapat langsung disita atau ditarik dari pasaran.
Bahkan pembuatnya juga ditangkap oleh aparat kepolisian. Tapi mengapa rokok jelas-jelas berbahaya bagi kesehatan tidak mendapat perlakuan yang sama?
Menurut Kartono, belum lama ini, seperti dikutip dari kompas.com, rokok merupakan racun bagi tubuh manusia. Ibarat makanan atau minuman, tentunya mengandung racun dilarang untuk diperjualbelikan.
"Mana ada racun dijual untuk dikosumsi. Hanya rokok yang bebas dijual," tuturnya dikutip dari kompas.com.
Rokok mengandung lebih dari 4.000 zat kimia berbahaya dan lebih dari 43 zat penyebab kanker. Rokok juga terbukti sebagai produk adiktif yang dapat menimbulkan ketergantungan bagi penggunanya.
Konsumsi rokok bahkan tak hanya berbahaya bagi perokok, tetapi juga orang-orang di sekelilingnya yang terpapar asap rokok. Menjadi perokok pasif bisa meningkatkan risiko serangan jantung, stroke, kanker paru-paru, hingga tuberkulosis.
Pada ibu hamil, rokok bisa menyebabkan kematian pada bayi yang dikandung, melahirkan bayi prematur, meningkatkan risiko bayi terkena bronkitis, hingga pneumonia.
Menurut Kartono, ketidaktegasan pemerintah dalam pengendalian tembakau terlihat jelas. Bahkan, ia menduga ada kongkalikong antara oknum pejabat pemerintahan dengan produsen rokok.
Kartono mengatakan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) selama ini juga hanya mengawasi, kemudian memberikan rekomendasi atau teguran. Tidak ada sanksi tegas yang diberikan meski ada pelanggaran dari produsen rokok akibat lemahnya peraturan yang ada.
"Masalahnya enggak berani saja. Peraturannya lemah. Pemerintah sengaja melindungi insustri rokok, takut. Artinya pemerintah sengaja meracuni anak bangsa," lanjutnya.
Menurut Kartono, pemerintah seharusnya lebih mempertimbangkan dari sisi kesehatan dibanding industri.