Kisah Ekskusi Mati Williams: Dituduh Membunuh, Jadi Mualaf, Tulis Puisi Palestina

Marcellus-Williams.jpg
(YouTube/KSDK News)

RIAU ONLINE - Marcellus "Khaliifah" Williams, pria kulit hitam yang akhirnya dieksekusi mati pada Selasa, 24 September 2024, di Missouri.

Otoritas penjara di Missouri, mengatakan Williams meninggal dunia pada pukul 18.06 waktu setempat. Williams disuntik mati, meski bukti yang digunakan dalam kasusnya masih dipertanyakan.

Pria berusia 55 tahun itu telah dipenjara selama 23 tahun, hampir setengah dari hidupnya.

Ia dihukum atas tuduhan pembunuhan Felicia Gayle, seorang jurnalis kulit putih berusia 42 tahun dari pinggiran kota St. Louis pada 1998. Namun itu merupakan kejahatan yang dia klaim tidak pernah dilakukannya.

Kasus ini menarik perhatian dunia karena adanya seruan dari berbagai pihak, termasuk keluarga korban dan kantor jaksa, yang menentang eksekusi tersebut.

Menurut pengacara Williams, DNA dari tempat kejadian tidak sesuai dengan Khaliifah dan bukti lainnya dihancurkan atau terkontaminasi oleh negara bagian Missouri.

Selain itu, juri dalam persidangan Williams didominasi oleh orang kulit putih, dengan 11 dari 12 juri berkulit putih, sementara hanya ada satu juri kulit hitam.

Jaksa menyingkirkan enam dari tujuh calon juri kulit hitam, dengan alasan salah satu dari mereka "terlihat seperti saudara" Williams.

Meski begitu, Williams telah memeluk Islam dan mengubah namanya menjadi Khaliifah ibn Rayford Daniels sebelum dieksekusi mati.

Dia juga dikenal sebagai imam di penjara dan dijuluki "Khaliifah," yang berarti "pemimpin" dalam bahasa Arab.

Salah satu karya yang dia ditinggalkannya dalam penjara adalah sebuah puisi tentang anak-anak Palestina.

Dalam puisi tersebut, Williams menggambarkan penderitaan anak-anak Palestina di tengah kekerasan, penghancuran, dan penindasan.

Ia menyebutkan drone, pesawat, bom, dan tank yang menghancurkan rumah, lingkungan, serta rumah sakit yang menjadi sasaran.

Katanya, meski hidup di bawah teror dan penindasan setiap hari, anak-anak Palestina tetap menunjukkan senyuman yang tangguh.

Dengan kata-katanya, Williams mengakui keberanian dan ketangguhan anak-anak tersebut di tengah tragedi yang terus melanda mereka.



Ini puisi selengkapnya dikutip dari kumparan, Jumat, 27 September 2024.

The Perplexing Smiles of the Children of Palestine

despite the actions of the few,

and excessive retaliation,

drones, planes, bombs, tanks, rubble, buildings demolished,

vanished houses and neighborhoods, hospitals targeted,

U.N. shelters disrespected, murder, death,

deliberate killing of noncombatants,

babies buried alive, amputations,

hunger and political starvation,

lack of or no water, strategic sanitation,

daily terror, and terrorized daily,

military maneuvering, moving here and there,

to return back again to nowhere,

trauma with all its manifestations,

international parleys and hesitation,

defiance to the realization of two nations,

global aid thwarted, global amnesia,

siblings and relatives gone forever,

parental worries -

in the face of apex arrogance

and ethnic cleansing by any definition...

still your laughter can be heard

and somehow you are able to smile

O resilient Children of Palestine!