RIAU ONLINE, BEIJING-Pemerintah China memaksa kaum wanita muslim Uighur untuk menggunakan alat kontrasepsi. Hal itu dilakukan sebagai bagian dari kampanye besar-besaran untuk membatasi populasi Muslim.
Bila muslim Uighur memiliki lebih dari 2 anak, maka hukuman akan menanti mereka. Mulai dari denda hingga puluhan juta bila dirupiahkan hingga dimasukkan ke kamp pengasingan.
Menurut hasil penelusuran kantor berita Associated Press, pemerintah China secara rutin mewajibkan perempuan dari kelompok minoritas untuk memeriksakan kehamilan, dan memaksa mereka memasang alat kontrasepsi berupa KB spiral, melakukan KB steril, bahkan aborsi terhadap ratusan ribu janin.
Pada tahun 2015, setelah Gulnar Omirzakh, warga Uighur yang kini bermukim di Kazakhstan, melahirkan anak ketiganya, pemerintah China memerintahkannya untuk memasang alat kontrasepsi berupa KB spiral di tubuhnya. Dua tahun berselang, empat pegawai pemerintah berseragam militer mendatangi rumahnya.
“Ketika saya melahirkan anak ketiga, sebelum suami saya ditahan tahun 2015, saya diberi semua dokumen yang diperlukan –akta kelahiran, izin pemerintah, nomor identitas, dan sebagainya. (Akan tetapi) setelah mereka membawa suami saya ke kamp (penahanan), mereka mengancam saya dan mengatakan bahwa kelahiran anak ketiga saya ilegal," kata Omirzakh dalam wawancara dengan Kantor Berita Associated Press.
Ancaman itu mengejutkan Omirzakh, di kala sang suami yang seorang pedagang sayur miskin sudah lebih dulu ditahan pemerintah China. Ia diberi waktu tiga hari untuk membayar denda sebesar $2,685, sekitar Rp38 juta, akibat memiliki anak lebih dari dua. Jika tidak membayar denda, Omirzakh juga akan dibawa ke kamp pengasingan, bergabung dengan sang suami dan satu juta warga etnis minoritas lainnya.
“Saya tidak punya uang sepeser pun untuk membayar denda. Jadi saya kini bersiap-siap dibawa ke kamp pengasingan.” kata Omirzakh.
Pemerintah China mengambil langkah keras untuk memangkas angka kelahiran warga Uighur dan kelompok minoritas lainnya sebagai bagian dari kampanye besar-besaran untuk membatasi populasi Muslim, ketika di saat bersamaan, warga mayoritas dari etnis Han justru didorong untuk memiliki lebih banyak anak.
Meskipun sebelumnya segelintir perempuan telah mengungkap praktik penggunaan alat kontrasepsi secara paksa, praktik tersebut nyatanya dilakukan secara lebih meluas dan sistematis. Ini diketahui dari hasil investigasi kantor berita Associated Press yang didasarkan pada data statistik pemerintah China, dokumen negara dan hasil wawancara 30 orang, di antaranya bekas tahanan, anggota keluarga dan seorang mantan instruktur kamp penahanan.
Kampanye yang dilakukan selama empat tahun terakhir di kawasan sisi barat Xinjiang itu mengarah pada apa yang disebut para pengamat sebagai bentuk “genosida demografi”.
Pemerintah secara rutin mewajibkan perempuan dari kelompok minoritas untuk memeriksakan kehamilan, dan memaksa mereka memasang alat kontrasepsi berupa KB spiral, melakukan KB steril, bahkan aborsi terhadap ratusan ribu janin, menurut hasil wawancara dan data yang ada.
“Mereka ingin menghapus keberadaan kami, tapi mereka tidak bisa menghabisi kami semua. Tidak mungkin melakukan hal itu ketika dunia terus mengawasi. Jadi mereka melakukannya secara perlahan, dengan kebijakan sterilisasi, pemenjaraan, atau pemisahan pria dan wanita, ataupun menjadikan mereka buruh paksa," kata Zumret Dawut, bekas tahanan yang dipaksa melakukan KB steril.
"Yang bisa kami lakukan adalah bersikap patuh. Kami tidak bisa kabur meski ingin, karena mereka menahan paspor dan dokumen-dokumen kami. Itulah kenyataan yang harus kami hadapi. Tempat itu adalah sebuah penjara yang terbuka," katanya.
Langkah-langkah pengendalian populasi itu berjalan beriringan dengan praktik penahanan masal yang berfungsi sebagai ancaman sekaligus hukuman bagi mereka yang melanggar aturan.
Menurut temuan AP, memiliki terlalu banyak anak menjadi alasan utama orang-orang dibawa ke kamp penahanan, di mana orang tua dari tiga anak atau lebih akan dipisahkan dari keluarga mereka kecuali mampu membayar denda yang nilainya besar.
Polisi menggerebek rumah mereka, membuat para orang tua ketakutan ketika aparat mencari anak-anak yang mungkin disembunyikan.
China Kecam Laporan Human Rights Watch
Angka kelahiran di kawasan-kawasan yang banyak dihuni warga Uighur, seperti di Hotan dan Kashgar, jatuh hingga lebih dari 60% sejak tahun 2015 hingga 2018, data terakhir yang tersedia dari statistik pemerintah Tiongkok.
Menurut penelitian baru akademisi China, Adrian Zenz, yang diperoleh Associated Press, anggaran pemerintah bernilai ratusan juta dolar yang dialokasikan untuk program Keluarga Berencana ini telah mengubah Xinjiang, dari salah satu daerah yang paling berkembang pesat, menjadi salah satu daerah tertinggal hanya dalam waktu beberapa tahun.
“Sekarang, untuk pertama kalinya, kita memiliki bukti yang jelas dan tak terbantahkan bahwa pemerintah (China) memenuhi salah satu kriteria Konvensi PBB untuk Pencegahan dan Hukuman Aksi Genosida – khususnya penindasan keras terhadap kelahiran warga minoritas," kata Adrian Zenz.
“Upaya pemerintah (China) untuk mengurangi angka kelahiran di Xinjiang adalah tindakan yang sistematis dan keji. Ini mencakup pemaksaan pemasangan alat kontrasepsi spiral, ancaman pemenjaraan bagi mereka yang melanggar program keluarga berencana, adanya sistem informasi populasi yang terperinci, pemeriksaan fisik massal, pemeriksaan kehamilan massal, dan kini, bukti dilakukannya pemaksaan sterilisasi massal terhadap perempuan," paparnya.
Ketika dimintai komentar terkait temuan tersebut oleh Kantor Berita Associated Press, Kementerian Luar Negeri China mengarahkan permintaan wawancara kepada Pemerintah Daerah Xinjiang, namun tidak pernah ditanggapi.
Akan tetapi, sejumlah pejabat China sebelumnya menyatakan bahwa langkah-langkah baru yang diterapkan itu semata-mata demi azas keadilan, agar warga etnis Han dan etnis minoritas lain memiliki jumlah anak yang sama.
Kebijakan pemerintah China ini bertolakbelakang dengan kebijakan lama yang mereka terapkan, di mana selama puluhan tahun, China memiliki salah satu sistem hak-hak warga minoritas paling lengkap di dunia, di mana warga Uighur dan lainnya mendapat nilai lebih dalam ujian masuk perguruan tinggi, berhak atas kuota penerimaan tenaga kerja pemerintahan, hingga aturan kontrasepsi yang lebih longgar.
Akan tetapi, Associated Press melaporkan, di bawah pemerintahan Presiden Xi Jinping, pemimpin China paling otoriter dalam beberapa dekade terakhir, semua keuntungan tadi ditarik kembali. Artikel ini sudah terbit di VOA Indonesia.