RIAU ONLINE, ROMA-Wabah corona yang telah menyebar di Negara Asia hingga Eropa bikin pememrintah dan tenaga kesehatan harus bekerja estra keras. Di balik perjuangan pasien untuk sembuh, ada juga cerita haru mengenai orang-roang yang tidak mampu selamat.
Seorang dokter di Italia menceritakan kisah pilu detik-detik pasien virus corona sebelum meninggal dunia. Sang pasien tetap berjuang sampai akhir, berbicara dengan orang-orang yang ia cintai di tengah kondisi kritis sebelumnya akhirnya berpulang ke Sang Pencipta.
Francesca Cortellaro, seorang dokter di rumah sakit San Carlo Borromeo di Milan, adalah salah satu dari sekian banyak staf yang bekerja di garda terdepan memerangi virus corona yang kini mewabah di Italia. Ia menceritakan bagaimana para pasiennya berjuang melawan pandemi tersebut. Tujuannya satu, bangkit dan pulih dari COVID-19 (penyakit yang disebabkan virus corona baru).
Saat Italia dihantam wabah virus corona, kisah-kisah tentang bagaimana mengerikannya virus itu telah banyak diceritakan di berbagai media sosial. Jumlah korban yang terus bertambah membuat bencana ini seperti gempa bumi: mengguncang secepat kilat, menewaskan ratusan dalam sekejap.
“Kamu tahu apa yang paling menyakitkan? Melihat pasien sekarat, mendengarkan mereka memohon mengucapkan selamat tinggal kepada anak dan cucu-cucu mereka,” ujar Dr Cortellaro, kepada surat kabar Italia II Giornale.
Ya, Italia telah menjadi negara kedua terparah yang terpapar virus corona setelah China, dengan lebih dari 1.441 kematian dan 21.157 orang terinfeksi, per Sabtu 14 Maret 2020. Banyak dari mereka adalah pasien usia lanjut.
Dr Cortellaro menyaksikan bagaimana pasien virus corona datang sendiri ke rumah sakit, beberapa pasien seakan sadar bahwa mereka akan meninggal. “Mereka sadar, mereka tidak mengalami serangan narkolepsi. Seolah-olah mereka tenggelam, dan hanya menunggu waktunya tiba,” katanya.
Ia kemudian menceritakan bagaimana seorang nenek yang sekarat ingin melihat cucunya untuk terakhir kalinya.
“Aku menghubungi cucunya melalui panggilan video, kemudian sang nenek mengucapkan salam terakhir kepada cucunya. Setelah nenek itu meninggal. Aku jadi punya daftar panggilan telepon untuk pasien lain. Aku menyebutkan sebagai daftar panggilan telepon perpisahan,” ungkap Dr Cortellaro, seperti dikutip dari Sky News.
Para dokter dan perawat di Italia terus berpacu dengan waktu merawat dan menyembuhkan ribuan pasien yang terinfeksi virus corona. Kekhawatiran semakin memuncak kala Sistem Kesehatan Nasional Italia yang dianggap menjadi salah satu yang terbaik di dunia tidak mampu membendung laju penyebaran virus mematikan ini.
Di kota Bergamo, misalnya, para pejabat terpaksa mengubah bangunan di pemakaman menjadi kamar mayat karena membludaknya jumlah korban jiwa akibat virus corona. Bergamo diketahui menjadi salah satu kota di Italia yang paling parah terkena virus corona.
Tercatat, setidaknya di sana sudah ada 2.000 kasus COVID-19, di mana dalam kurun waktu 24 jam, jumlahnya melonjak hingga 300 kasus, 150 di antaranya meninggal dunia.
Menurut laporan Milan Corriere della Sera, Kapel All Saints yakni sebuah bangunan di dekat pemakaman kota diubah menjadi kamar mayat. Setidaknya, dalam sehari 40 peti mati disimpan di tempat tersebut, sebelum akhirnya dimakamkan dan dikremasi.
Krematorium atau tempat kremasi telah digunakan selama 24 jam penuh. Namun demikian tidak dapat mengatasi tingkat kematian yang sangat tinggi. Begitu pun dengan keluarga korban yang terpaksa menunggu selama beberapa hari sebelum kerabatnya dikremasi.
Kini, seluruh Italia telah diisolasi. Semua bentuk pertemuan dan upacara dilarang, termasuk upacara pemakaman. Artinya, keluarga korban COVID-19 bahkan tidak bisa mengucapkan selamat tinggal kepada kerabatnya yang meninggal.
Roberto Cosentini, seorang dokter yang bertugas di Rumah Sakit Papa Giovanni XXIII di Bergamo, mengatakan wabah ini seperti “bencana gempa bumi tiada akhir”. Sebagian besar pasien tiba di rumah sakit saat Matahari mulai tenggelam, dengan kondisi buruk dan membutuhkan penanganan yang lebih serius.
“Setiap sore, itu seperti gempa baru, dan rumah sakit kewalahan. Jika kita tidak memiliki lebih banyak tempat tidur di rumah sakit, lebih banyak dokter dan perawat, maka kita tidak bisa bertahan lama,” jelasnya.
Artikel ini sudah terbit di Kumparan.com