Inggris jadi Favorit Penerima Beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP)

Kantor-Cambridge-Analytica.jpg
(VOAINDONESIA.COM)

RIAU ONLINE, JAKARTA-Inggris menjadi negara tujuan yang paling diminati penerima beasiswa LPDP yang melanjutkan studi di luar negeri. Hal tersebut berdasar Laporan Tahunan LPDP tahun 2018 yang disampaikan ke VOA, Rabu (27/11).

Adapun jumlah mahasiswa on going (yang sedang kuliah) penerima beasiswa LPDP di Inggris sebanyak 871 orang atau 8,81 persen dari total mahasiswa on going LPDP sebanyak 9.881 per 31 Desember 2018, disusul Australia (768 orang atau 7,77 persen) dan Belanda (544 orang atau 5,51 persen) Amerika Serikat menempati urutan nomor empat dengan jumlah 295 penerima beasiswa atau 2,99 persen. Beberapa negara lain di luar negeri yang juga diminati antara lain Jepang, Jerman, Swedia, Perancis dan Malaysia.

Universitas Gadjah Mada menjadi favorit pertama bagi mahasiswa penerima LPDP yang melanjutkan pendidikan di dalam negeri. Di perguruan tinggi itu ada 1.193 orang penerima beasiswa LPDP, disusul Universitas Indonesia dengan 884 orang dan Institut Teknologi Bandung dengan 617 orang.

Tujuh kampus dalam negeri lainya yang menjadi tujuan yaitu Institut Pertanian Bogor, Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Brawijaya, Universitas Padjadjaran, Universitas Hasanuddin, Universitas Airlangga dan Universitas Negeri Jakarta.

Sementara kampus di luar negeri yang menjadi tujuan favorit yaitu Wageningen University (145 orang), Monash University (130 orang) dan Australian National University (113 orang). Di luar ketiga universitas itu, para penerima beasiswa LPDP juga banyak yang menimba ilmu di University of Melbourne, University of Manchester, University of New South Wales, Delft University of Technology, University of Queensland, University of Leeds dan University College London.

Negara tujuan penerima beasiswa LPDP juga tidak jauh berbeda dengan penerima Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Luar Negeri (BPPLN). Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Dikti (SDID) Kemendikbud mencatat negara Inggris menjadi urutan pertama dengan 29 orang dari 100 orang penerima beasiswa, disusul kemudian Australia (16 orang), Belanda (15 orang), Jepang (9 orang) dan Perancis (6 orang). Sementara itu, yang memilih Amerika Serikat hanya satu orang.

Mengapa tidak di Amerika?
Salah satu ibu, warga Jakarta Selatan yang tidak mau disebutkan namanya, menuturkan kepada VOA, takut menyekolahkan anaknya ke Amerika Serikat karena seringnya terjadi aksi penembakan di tempat umum. Karena itu, ia lebih memilih menyekolahkan anaknya ke Jerman ketimbang ke Amerika.



"Waktu itu kan pilihannya ingin langsung automotif. Nah otomotif kan pilihannya di Jerman dan di Detroit, Amerika. Tapi lebih kondusif di Jerman dan lebih murah, walaupun pelajarannya lebih sulit," tutur Selasa (26/11).

Ia juga menuturkan ada kekhawatiran terhadap munculnya Islamophobia di Amerika. Ia khawatir nama anaknya yang menggunakan nama-nama Islam akan menjadi masalah pada masa mendatang jika kuliah di Amerika.

Soal lain, kata dia, sebagian besar universitas di dalam negeri yang menyelenggarakan double degree atau gelar ganda, bekerjasama dengan kampus di Australia dan di negara-negara dalam blok Uni Eropa. Akibatnya, pilihan orang tua Indonesia yang ingin menyekolahkan anaknya dengan program gelar ganda, bukanlah Amerika.


Tidak jauh berbeda, Renjani Sari yang kuliah di Belgia yakni Vrije Universiteit Brussels (VUB) mengatakan banyak pertimbangan untuk tidak mengambil kuliah di Amerika. Antara lain soal biaya kuliah yang tinggi, keamanan, isu anti-imigran dan rumitnya pengajuan visa

"Urusan imigrasi dan lain-lain itu menjadi faktor pertimbangan yang cukup memberatkan karena sebagai mahasiswa kita ingin konsentrasi belajar. Jadi harapannya atmosfer penunjang belajar juga harus mendukung, terutama bagi yang membawa keluarga," jelas Renjani Sari melalui pesan online, Jumat 29 November.

Ia menambahkan biaya pendidikan bagi anaknya dan jaminan kesehatan di Belgia cukup menunjang. Biaya asuransi kesehatan, contohnya,yang hanya berkisar 1-3 persen dari penghasilan setahun.

"Sekolah anak juga relatif bagus dan gratis, dan satu lagi yang penting ada pelajaran agama dan karakter di sekolah. Jadi saya nyaman belajar, anak saya juga nyaman," tambahnya.

Di samping itu, kata dia, mahasiswa yang kuliah di Belgia juga dapat beraktivitas, liburan dan bekerja di puluhan negara Eropa lainnya tanpa terkendali persoalan imigrasi. Kendati demikian, Renjani akan mempertimbangkan seandainya mendapat tawaran beasiswa untuk kuliah di Amerika, tergantung kampus dan kotanya.

"Brussel adalah ibukota Uni Eropa, lokasinya strategis, persimpangan negara-negara di seluruh Eropa. Selain Uni Eropa, parlemen dan komisi Uni Eropa, semua kantor-kantor media dan NGO di seluruh Eropa dan dunia, kantor pusatnya ada di sini. Bahkan The Guardian pernah menulis artikel bahwa Brussels adalahnya surganya diplomat dan jurnalis."

Laporan tahunan Institute of International Education IIE tahun 2019 menyebut jumlah mahasiswa asing di Amerika menunjukkan penurunan. Jumlah mahasiswa dari Korea Selatan, Arab Saudi, Jepang, Meksiko, Nepal, Iran, Inggris dan Turki misalnya, menurunantara 0,3 persen hingga 16,5 persen. Jumlah mahasiswa Indonesia di AS, menurut catatan IEE, juga merosot sebesar 3,4 persen.

Artikel ini sudah terbit di VOA Indonesia