RIAU ONLINE, PARAMARIBO-Kenangan saya menginjakkan kaki di tanah Suriname tidak akan terlupakan. Ketika itu, tanggal 23 Mei tahun 2015 di sore hari yang terik, saya dan keluarga mendarat di Bandara Internasional Johan Adolf Pengel Suriname untuk bertugas di sana. Penerbangan dari Indonesia ke Suriname yang terletak di Amerika Selatan sangat jauh, hingga ditempuh selama lebih dari 23 jam.
Rute yang dilalui adalah Jakarta-Amsterdam selama 14 jam untuk kemudian transit di bandara Schipol Belanda, dilanjutkan penerbangan dari Amsterdam menuju Paramaribo selama 9 jam. Setibanya di bandara Suriname, ada pemandangan unik. Di antara banyak orang di airport, nampak wajah-wajah yang tidak asing, seperti orang Indonesia khususnya dari suku Jawa, bercakap-cakap dalam bahasa Jawa ngoko tapi campur Belanda.
Sepanjang perjalanan dari airport ke kota Paramaribo, di mobil terdengar siaran berbahasa Jawa dari radio Garuda, memutarkan lagu-lagu campur sari. Pemandangan di luar kaca mobil sepanjang perjalanan nampak persis seperti di Indonesia, daerah Sumatera atau Kalimantan yang masih asri dan banyak hutan. Sehingga, saat itu saya dan keluarga sampai bercanda apakah kami sudah sampai Suriname atau pesawatnya putar balik ke Indonesia.
Pada hari-hari selanjutnya, saya berkesempatan melakukan interaksi dengan banyak masyarakat Suriname. Masyarakat Suriname adalah multi etnis. Mayoritas adalah Hindustani (keturunan India, Bangladesh dan sekitarnya) dan kulit hitam (Creole dan Maroon, keturunan Afrika).
Selanjutnya ada masyarakat Jawa, yang sebetulnya bukan mayoritas (sekitar 14 persen penduduk Suriname) namun banyak mewarnai kehidupan politik, sosial dan ekonomi Suriname. Kemudian ada etnis lain seperti China, Amerindian (Indian), kulit putih/orang Eropa, Arab, dan lainnya.
Bahasa nasional di Suriname adalah Belanda. Namun ada bahasa pergaulan yang digunakan sehari-hari di sana yaitu taki-taki (dari bahasa Inggris talk-talk) atau juga disebut Sranan Tongo (bahasa Sranan yang merupakan nama lain Suriname). Disamping itu tiap etnis dalam berkomunikasi dengan keluarga atau sesama etnis juga menggunakan bahasa masing-masing seperti Hindi, Mandarin atau bahasa Jawa.
Luas wilayah Suriname adalah sebesar 163 ribu km2. Luas daratannya sebesar 156 ribu km2 atau lebih besar dibanding Pulau Jawa, Madura dan Bali digabung. Dengan penduduk sekitar 560 ribu orang atau setara beberapa kecamatan di Jakarta saja, maka lahan yang belum ditempati masih sangat luas. Wilayah Suriname masih didominasi hutan yang asri dengan daratan yang hampir seluruhnya datar, serta sungai-sungai yang besar.
Kota di Suriname
Ibu kota Suriname adalah Paramaribo, dengan jumlah penduduk sekitar 250 ribu jiwa. Tempat-tempat yang menarik disinggahi antara lain kawasan kota tua di daerah Paramaribo Noord. Di kawasan tersebut ada jalan Henck Arronstraat yang banyak terdapat bangunan tua peninggalan Belanda, terbuat dari kayu. Di sekitar itu banyak terdapat tempat menarik yaitu museum dan benteng Fort Zeelandia di mana kita bisa melihat sejarah Suriname dan berbelanja souvenir serta lukisan-lukisan khas Suriname.
Selanjutnya ada jalan Kleine Waterstraat yang menjadi pusat kongko-kongko turis-turis asing, karena banyak hotel, kafe dan hiburan malam termasuk kasino.
Selanjutnya jika kita ingin menikmati kuliner Suriname seperti moksi alesi (nasi goreng ala Suriname), bakkeljaw (roti isi ikan suwir), atau sopropo (pare isi daging) juga dapat kita temukan di Paramaribo Noord. Bila ingin merasakan panganan Jawa Suriname, pusatnya ada di daerah Blauwgrond di mana di sana berjejer restoran Jawa Suriname yang menyajikan kuliner seperti saoto (soto), nasi berkat, bami (bakmi), teloh terie (telo teri), serta dawet Suriname.
Di kota Paramaribo juga ada even-even rutin tahunan yang menarik dilihat seperti perayaan Keti-Koti Day (hari perayaan pembebasan keturunan Afrika dari perbudakan), Wandelmars (lomba karnaval jalan kaki), Holi Phagwa (perayaan etnis Hindustani dengan saling melemparkan bubuk warna di kawasan palmentuin), rangkaian peringatan kedatangan orang Jawa di Suriname, serta pasar malam INDOFAIR yang diselenggarakan kedutaan besar Indonesia di Gedung Sana Budaya.
Wilayah pedesaan
Desa di Suriname disebut dengan Dorp (desa dalam bahasa Belanda). Desa-desa yang cukup besar di sana antara lain Lelydorp, Frederiksdorp, Wit Wanti Dorp dan Rust and Werk. Di samping itu ada juga desa yang dinamakan dalam bahasa Jawa seperti Poerwodadi, Tamanredjo, Sidoredjo, Koewarasan, dan sebagainya.
Secara umum, pedesaan di Suriname tidak jauh berbeda dengan di Indonesia. Masyarakat di pedesaan umumnya bercocok tanam, berkebun atau mengolah hasil bumi lain seperti ikan dan udang. Di Suriname, kondisi ekonomi masyarakat pedesaan cukup baik, mereka bisa memiliki mobil bahkan bisa lebih dari satu. Produk dari pedesaan di Suriname yang terutama adalah pertanian (beras), buah-buahan (pisang, jambu, buah naga), sayur mayur (kacang panjang, bayam, kangkung), serta bunga (anggrek).
Di Suriname, hasil pertanian dan perkebunan, khususnya di daerah Nickerie diolah dengan mekanisasi. Pemupukan dan penyiraman beras serta pisang disana dilakukan dengan menggunakan pesawat, selanjutnya panen dilakukan menggunakan traktor. Hal ini disebabkan sedikitnya jumlah penduduk sementara lahannya sangat luas.
Pada masa lalu, pedesaan di Suriname diisi oleh perkebunan tebu, kakao dan kopi yang saat ini sudah tidak ada lagi. Kebutuhan akan tenaga kerja di perkebunan-perkebunan inilah yang mendorong Pemerintah Belanda di masa lalu mendatangkan pekerja kontrak dari beberapa negara, termasuk dari Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan.
Perkebunan yang mempekerjakan tenaga kerja orang Jawa paling banyak terdapat di Distrik Commewijne. Orang Jawa pertama kali mendarat di Suriname pada tahun 1890 di distrik tersebut, tepatnya di daerah Nieuw Amsterdam. Pemerintah Suriname membangun museum di dekat lokasi itu. Di Distrik Commewijne juga terdapat salah satu tempat yang biasa dikunjungi yaitu bekas pabrik tebu Marienburg yang dahulu banyak mempekerjakan orang Jawa.
Kekayaan dan pemandangan alam
Suriname memiliki kekayaan alam yang besar berupa emas, bauksit, minyak bumi, kayu, serta ikan. Alam Suriname juga masih hijau, sehingga disebut sebagai greenest country in the world karena wilayah hutannya lebih dari 93 persen.
Dengan alam yang masih asri maka hal tersebut dimanfaatkan untuk pariwisata. Mayoritas wisata di sana adalah wisata alam (eco-tourism). Jumlah turis asing yang berkunjung ke Suriname dalam setahun mencapai lebih dari 250 ribu orang atau hampir setengah dari jumlah penduduknya, mayoritas dari Belanda.
Tempat-tempat wisata yang terkenal di sana adalah Waduk Brokopondo, rekreasi air Colakreek, Danau Bigi Pan, Pantai Galibi dan Gunung Tafelberg. Di sana, kita bisa menikmati keindahan alam Suriname, dengan tinggal di resort-resort, menyusuri sungai yang besar-besar hingga anak-anak sungai yang kecil, masuk ke hutan, hiking, dan menikmati menyatu dengan alam.
Kita juga dapat melihat hewan-hewan yang tidak ada dalam habitat asli di Indonesia seperti burung flamengo, elang harpy, anaconda, kura-kura leather back, lumba-lumba atlantik, jaguar dan masih banyak fauna lainnya.
Bagi yang suka memancing, Suriname bisa menjadi surga karena banyak sekali spot memancing di sungai, danau, pantai hingga laut. Ikan yang ada sangat beragam dari jenis dan ukurannya. Dari mulai ikan yang populer di Suriname yaitu kwie-kwie (mirip sapu-sapu namun memiliki sisik pelindung sangat keras), piranha, jenis lele yang besar-besar, hingga ikan laut seperti barakuda dan tuna.
Bagi yang suka menjelajahi negara-negara yang bukan tujuan wisata mainstream atau kebetulan berada di benua Amerika, Suriname patut dipertimbangkan sebagai negara yang dapat dikunjungi. Keeksotikan alam serta keunikan budayanya perlu anda lihat secara langsung, dan akan memberikan kenangan yang berkesan bagi anda.
Artikel ini sudah terbit di Kumparan.com