RIAU ONLINE - B-29 Superfortress, Boeing yang menjelma sebagai algojo pamungkas menutup lembaran kelam Perang Dunia II dan dikenal sebagai Si Benteng Super.
Si Benteng Super yang mampu terbang tinggi menjangkau jarak sangat jauh ini didesain sebagi pesawat pengebom strategis. Memiliki panjang 30,18 meter, bentang sayap 43,06 meter, dan tinggi 8,45 meter, pesawat berukuran tambun ini menjadi pengebom terbesar dan tercanggih pada eranya.
Kehadiran Si Benteng Super sebagai penerus Si Benteng Terbang, B-17 Flying Fortress, semakin memberikan ketakutan terhadap negara-negara lain, khususnya musuh Amerika Serikat. Si Benteng Super mampu membawa bom B-29 tiga kali lipat dibanding B-17, sedangkan jark jangkaunya dua kali lipat lebih jauh.
Berawal dari keinginan Korps Udara AD AS (USAAF) agar Paman Sam memilki pengebom raksasa untuk menyaingi lahirnya pesawat-pesawat pengebom Jerman. Kemudian pada Januari 1940, dicetuslah rencana untuk membuat superbom B-29. Lalu, muncullah protipe XB-29 dari Boeing yang berhasil mengalahkan Model 33 (Consolidated), XB-30 (Lockheed), dan XB-31 (Douglas).
Hancurnya Pangkalan Angkatan Laut AS di Pearl Harbour, 7 Desember 1941, yang sekaligus menarik masuknya AS dan Perang Dunia II, makin memompa semangat AS mewujudkan pengebom baru yang akan menjadi raja di udara, seperti dilansir dari Angkasa Review, Rabu, 21 Februari 2018.
Protipe XB-29 pun berhasil mengudara pada 21 September 1942 dan tak lama kemudian, terjadilah penandatanganan 1.664 pesanan. Produksi B-29 sendiri total mencapai 3.970 unit atau kurang lebih sepertiga dari total produksi B-17 yang mencapai 12.731 unit.
Pada 1 Juni 1943, Wing Pengebom Barat ke-58 didirikan AS untuk mengakomodir si Benteng Super. Wing ini pula yang memulai pelatihan pilot dan teknisi B-29 sebelum siap operasional.
Untuk pertama kalinya, pengembom B-29 mendarat di Timur Jauh pada 24 April 1944. Setibanya di Kwanghan, China, pesawat tergabung dalam jajaran Pasukan Udara AS ke-20.
B-29 mulai melakukan penyerangan terhadap Bangkok, Thiland pada 5 Juli 1944. Sebanyak 50 B-29, kemudian melakukan penyerangan terhadap Yawata, Jepang selama sepuluh hari. Ini menjadi serangan lanjutan AS terhadap Jepang setelah serangan yang sebelumnya dilakukan oleh 16 B-25 Mitchell di bawah pimpinan Letkol Jimmy Doolite pada April 1942 dari geladak USS Hornet.
Adalah Mayjen Curtis E. LeMay, pada 20 Januari 1945, ditunjuk sebagai Komandan Komando Pengebom XXI USAAF berkekuatan B-29 Superfortress. LeMay pun langsung mengumumkan perubahan radikal peran pengebom B-29 dari fungsi utama sebagai pengebom strategis menjadi pengebom taktis dengan terbang rendah di bawah 10.000 kaki pada malam hari. Hal ini dilakukan guna memuntahkan bom-bom bakar (incendiary bomb).
Serangan pertama menggunakan taktik LeMay terhadap Jepang dilakukan pada 9-10 Maret 1945. Tidak tanggung-tanggung, sebanyak 302 B-29 dikerahkan untuk melumat Kota Yawata dan Tokyo. LeMay kehilangan 14 pesawat dalam aksi tersebut.
Tidak pantang surut, serangan terus dilakukan LeMay hingga 10 hari ke depan dengan tambahan sasaran yaitu Nagoya, Osaka, dan Kobe. AS menghujani Jepang dengan 10.000 ton bom ke kota-kota tersebut.
Malam tanggal 25-26 Mei 1945, serangan terhadap Tokyo dan Yokohama kembali dilakukan oleh 464 B-29. Dapat dibayangkan, langit menjadi makin gelap oleh iring-iringan ratusan pesawat pengebom itu. Dalam serangan kali ini AS kehilangan 25 pesawat, namun berhasil menewaskan 500.000 penduduk Jepang dan menyebabkan 13 juta warga kehilangan rumahnya.
Banyak yang meramalkan Jepang akan segera hancur oleh kebrutalan serangan AS yang makin menjadi-menjadi dengan B-29. Prediksi itu terbukti benar ketika dua B-29 model silverplate (didesain khsusu untuk membawa bom nuklir) diikutsertakan dalam misi pengeboman menggunakan bom atom.
Dua pesawat B-29, Enola Gay dan Bockscar melalui proyek Manhattan ditugaskan menjatuhkan bom bom paling mematikan yang baru ditemukan.
Kolonel Paul Tibbets dengan pesawat Enola Gay menjatuhkan bom atom “Little Boy” di Hiroshima pada 6 Agustus 1945. Sementara Mayor Charles W. Sweeney dengan pesawat Bockscar menjatuhkan bom atom “Fat Man” pada 9 Agustus 1945 di Nagasaki.
Pengeboman yang berbeda dari ketinggian 31.000 kaki itu berhasil menewaskan 240.000 orang seketika. Jepang bertekuk lutut, Perang Dunia II pun berakhir.
Atas perannya yang besar dalam sejarah penerbangan dan angkatan udara dan untuk mengabadikan sang pelaku Perang Dunia II, Enola Gay kini tersimpan di Museum Nasional Udara dan Ruang Angkasa Smithsonian di Washington D.C. Sementara Bockscar tersimpan di Museum Nasional Angkatan Udara AS di Wright-Patterson Air Force Base, Ohio.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE
Follow Twitter @red_riauonline
Subscribe Channel Youtube Riau Online,
Follow Instagram riauonline.co.id