RIAU ONLINE - Dari beberapa negara tetangga Indonesia, ternyata ada satu diantaranya yang merupakan kota paling berbahaya di dunia. Yakni Kota Port Moresby, yang merupakan kota terbesar, sekaligus ibu kota Papua Niugini (PNG).
Kota dengan berpenduduk sekitar 500.000 jiwa ini memiliki status sama seperti provinsi lain di PNG dan memiliki nama resmi National Capital District (NCD). Berikut ini kisah yang dibagikan Taufik Hidayat, kontributor majalah Intisari yang dikutip dari Kompas.com, Senin 15 Januari 2018.
Saya kebetulan menginap di salah satu hotel terbaik di Port Moresby yang berada 10 kilometer atau berjarak sekitar 5 menit dari bandara. Namun, yang membedakan hotel ini dengan hotel lain adalah pada pintu gerbang yang selalu tertutup rapat dengan penjagaan ketat.
Tembok tinggi dan kawat berduri juga mengelilinginya. Wah, mirip penjara saja, komentar kolega saya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Pengamanan di hotel juga cukup ketat. Untuk masuk ke lift, kita harus punya kunci akses, demikian juga untuk pindah dari koridor ke koridor lain, tak terkecuali untuk menuju ke restoran di lantai tujuh.
Tepat di pintu lobi, selain satpam berseragam putih hitam, ada juga petugas keamanan berseragam hitam-hitam dengan senjata terhunus selalu siap siaga di tangan.
Lucunya, pengamanan superketat seperti ini ternyata bukannya membuat kita merasa aman, tetapi membuat saya bertanya-tanya, ada apa dengan kota ini?
Sebagian pertanyaan ini terjawab ketika pihak concierge melarang kami berjalan kaki keluar hotel.
Kami hanya boleh bepergian dengan mobil atau taksi resmi yang dipanggil hotel. Ketika sempat berkelana ke pusat kota alias CBD Port Moresby, suasana terlihat biasa-biasa saja.
Namun, hampir setiap bangunan, baik hotel maupun perkantoran, selalu dijaga ketat dan dikelilingi tembok tinggi dengan kawat berduri dan CCTV.
Di jalan-jalan, tampak people mover vehicle (PMV) atau angkutan umum, tetapi yang berkeliaran di jalan dengan bebas umumnya hanya ras Melanesia.
Meski PNG merupakan negara multietnis dan multiras serta banyak pekerja asing, orang-orang ini kebanyakan bepergian dengan kendaraan pribadi. Kawasan-kawasan tertentu juga dihindari pada malam hari.
"Port Moresby is one of the most dangerous capital city in the world," ujar resepsionis hotel berwajah Asia Tenggara.
Gadis manis ini ternyata berasal dari Filipina. “I am not familiar with the city because I am not from here,” katanya ketika saya minta saran tentang tempat-tempat yang wajib dikunjungi.
Jadi, meski gadis ini sudah enam bulan bekerja, selama itu pula dia cuma hidup di antara hotel dan di asrama karyawan.
Alasannya, di luar tidak aman! Memang, tingkat pengangguran yang sangat tinggi (konon mencapai sekitar 60 persen) dan maraknya penggunaan narkoba ikut memperburuk suasana keamanan Port Moresby.
Kota-kota lain dan kawasan pesisir di PNG, seperti Lae, Wewak, New Britain, dan Pulau Manus, situasinya juga mirip, tetapi tidak separah kota ini.
Gangster punya klub rugbi
"Nama saya Rajalinggam," begitu seorang pria setengah baya memperkenalkan diri.
Dengan kendaraan putihnya, dia siap mengantar kami ke tempat meeting di kawasaan Jackson International Airport.
Pria yang bisa berbahasa Indonesia ini ternyata pernah tinggal dan bekerja di Indonesia cukup lama dan kebetulan dari etnis India yang berasal dari Malaysia.
"Hampir 90 persen pekerja di kawasan bandara merupakan pendatang," demikian Rajalinggam menjelaskan ketika mobil sudah meluncur melewati pintu gerbang yang dijaga ketat.
Raja pun bercerita, dia hanya bepergian dari tempat tinggal ke kantor setiap hari dan selalu berusaha pulang kerja sebelum matahari tenggelam.
Ada beberapa tempat rawan di mana para raskol (dalam bahasa Tok Pisin berasal dari rascal alias begal) sering mengadang, merampok, kadang juga melukai korbannya.
Menurut informasi, ada beberapa kelompok raskol kenamaan di sana, seperti Bomai, Kip Koboni, Mafia, dan 585.
Kelompok Bomai termasuk yang paling ditakuti dan konon bermarkas di kawasan 4 Miles. Mereka melakukan segala bentuk kriminalitas, mulai dari mencuri, menggarong, membegal, membajak kendaraan, bahkan sampai memerkosa.
Oleh karena itulah di kota ini bukan hanya para ekspatriat, melainkan juga penduduk lokal yang sudah mapan ikut menggunakan jasa pengamanan.
Ada pula kelompok Kip Koboni yang bermarkas di Kaugere, sebelah selatan kota. Bahkan, kelompok ini memiliki klub rugbi tersendiri, yaitu Kaugere Buldog.
Anggotanya umumnya berasal dari suku Motu yang berasal dari pesisir di sekitar Port Moresby.
Pertarungan antarkelompok suku juga kadang-kadang meramaikan dunia hitam di Port Moresby. Selain suku Motu, ada juga suku dari pegunungan, yaitu suku Tari.
Mahalnya rasa aman membuat pendatang ataupun sebagian elite penduduk lokal hanya bisa menikmati keindahan kota ini dari balik kendaraan atau bangunan yang dikurung alat pengamanan.
Untuk bepergian terkadang harus beriringan dan dikawal ketat bak rombongan pejabat di Tanah Air.
Karena kondisi itu, tak heran jika bisnis yang paling menguntungkan di kota ini adalah bisnis pengamanan. Dampak lain, harga-harga dan biaya hidup menjadi jauh lebih mahal dibandingkan dengan di kota lain.
Dalam pengamatan saya, harga hotel di kota ini juga merupakan salah satu yang paling mahal di dunia, nyaris menyamai Tokyo dan New York. (1)
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE
Follow Twitter @red_riauonline
Subscribe Channel Youtube Riau Online,
Follow Instagram riauonline.co.id