RIAU ONLINE - Gelombang pengungsi etnis Rohingya akibat krisis kemanusiaan di Myanmar berlangsung sejak akhir Agustus 2017 lalu.
Setidaknya, lebih dari 650 ribu warga Rohingya telah lari ke Cox’s Bazaar, Bangladesh untuk menyingkir dari kekerasan dan persekusi di negara bagian Rakhine, Myanmar. Dari jumlah itu, separuh diantaranya adalah anak-anak.
Penasihat senior UNICEF, Marixie Mercado belum lama ini kembali dari kunjungan sebulan ke Myanmar. Seperti dirilis VOA Indonesia, Kamis 11 Januari 2018, ia mengatakan sulit untuk memperoleh gambaran sebenarnya mengenai anak-anak yang masih berada di sana, karena tidak adanya akses.
Baca juga:
Penderitaan Rohingya Belum Usai! Pengungsi Dilarang Meninggalkan Kamp Pengungsian
Tenda Indonesia Untuk Rohingya Sudah Berdiri
Namun, ia dapat memperoleh yang disebutnya pandangan sekilas yang merisaukan mengenai betapa menyedihkan kehidupan anak-anak yang tinggal di Rakhine Tengah. Mercado mengatakan lebih dari 60 ribu anak Rohingya masih berada di negara bagian Rakhine.
Mereka hampir terlupakan dan terjebak dalam 23 kamp tempat mereka mengungsi akibat kekerasan tahun 2012. Mercado menggambarkan kondisi di dua kamp yang dikunjunginya.
"Kedua kamp berada di wilayah yang terletak di bawah permukaan laut. Hampir tidak ada pohon sama sekali. Hal pertama yang menyambut kita di kamp adalah bau yang menyengat yang membuat kita merasa mual. Bagian-bagian kamp merupakan genangan air limbah. Kemah disangga tiang-tiang, dan di bawahnya adalah sampah dan kotoran manusia. Di satu kamp, kolam tempat orang mengambil air hanya dipisahkan dari genangan air limbah dengan tanggul dari tanah," ujar Mercado.
Ia mengatakan anak-anak berjalan tanpa alas kaki di tanah becek dan sebagian dari mereka telah meninggal karena kecelakaan atau penyakit. Ditambahkan, sangat sulit bagi warga Rohingya itu untuk meninggalkan kamp untuk mendapat perawatan medis. Karena itu, orang minta bantuan tabib tradisional, penyedia layanan kesehatan yang tidak terlatih, atau mengobati diri sendiri.
Menurut Mercado kondisi kehidupan dan akses ke layanan yang menyelamatkan jiwa sangat perlu ditingkatkan. Ditambahkan, anak-anak juga tidak dapat memperoleh pendidikan yang layak. Mercado mengatakan pembelajaran dilakukan di ruang-ruang kelas sementara yang tidak diperlengkapi dengan layak, diajar oleh guru-guru relawan yang memiliki rasa pengabdian kuat tetapi tidak memiliki pelatihan formal. (1)
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE
Follow Twitter @red_riauonline
Subscribe Channel Youtube Riau Online,
Follow Instagram riauonline.co.id