Hanya Jenderal Militer Inilah Bisa Hentikan Militer Lakukan Genosida Etnis Rohingya di Myanmar

Jendral-Min-Aung-Hlaing-dan-Suu-Kyi.jpg
(REUTERS/SOE ZEYA)

RIAU ONLINE - Di balik pembantaian etnis Rohingya, di Rakhine, oleh militer Myanmar, menyeruak nama dan sosok jenderal paling bertanggung jawab terhadap aksi tersebut. 

Jendral Min Aung Hlaing, namanya. Saat ini, ia merupakan sosok paling berkuasa di Myanmar. Panglima militer itu disebut-sebut oleh organisasi HAM sebagai hambatan terbesar bagi proses demokratisasi Myanmar dan penegakan Hak Azasi Manusia di Rakhine.

Di tengah konflik berdarah di Rakhine, seperti dilansir dari dw.com, mata internasional tertuju pada sikap Pemimpin Myanmar dan peraih Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi, lebih memilih bungkam.

Sementara Min Aung Hlaing menikmati posisinya di luar hujan kritik terhadap pemerintahan sipil di Yangon. Ketika Aung San Suu Kyi membatalkan lawatannya ke Indonesia, November 2016 silam, lantaran mengkhawatirkan aksi protes, Hlaing disambut dengan karpet merah di Brussels, Belgia, untuk menyambangi pertemuan Dewan Militer Eropa.

Padahal, ia merupakan dalang di balik gelombang kekerasan yang bergulir di sejumlah negara bagian, termasuk di Rakhine. Lahir dan dibesarkan di Tenasserim, di dekat perbatasan Thailand, Hlaing menikmati pendidikan hukum di Yangon sebelum mengabdikan diri pada militer.

Baca Juga: 



Saat Mengungsi, Tentara Myanmar Kepung Dan Serang Muslim Rohingnya

Biksu Ini Jadi Lawan Biksu Buddha Ashin Wirathu

Jeritan Muslim Rohingnya: Tentara Myanmar Memerkosa, Dan Membakar Desa Kami

Sosok pendiam itu baru dikenal luas setelah berhasil memadamkan pemberontakan Myanmar Nationalities Democratic Alliance Army di Kokang, 2009 silam. Akibat pertempuran tersebut, sekitar 37 ribu warga sipil mengungsi ke China.

Kini, Hlaing menikmati pengaruh besar tanpa menghadapi tekanan dunia internasional. "Hanya dia dapat menghentikan pembunuhan terhadap orang-orang Rohingya,” kata Mark Farmaner, Direktur Burma Campaign Inggris dalam sebuah pernyataan.

Bersama Hlaing, militer Myanmar melanjutkan taktik keji di Rakhine seperti yang juga digunakan buat mengatasi pemberontakan di lima negara bagian lain.

Selain membunuh warga sipil, militer juga tercatat mempekerjakan penduduk secara paksa, memerkosa perempuan dan membumihanguskan desa-desa.

Kepada BBC ia pernah mengatakan militer belum akan mengundurkan diri dari pemerintahan sipil Myanmar selama pemberontakan masih berkecamuk. "Bisa jadi dalam lima atau sepuluh tahun. Saya tidak tahu," ujarnya.

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline